Senin, 09 Mei 2011

Kebaya: Kembali ke Pakem Sederhana

Dini | Senin, 9 Mei 2011 | 12:12 WIB

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO/HENDRA A SETYAWAN
Identitas kemodernan dalam berkebaya, bertumpu pada satu pedoman kunci: kesederhanaan.


KOMPAS.com - Ratusan perempuan hadir Minggu (24/4/2011) lalu di Sasono Utomo, Taman Mini Indonesia Indah, menyajikan pemandangan nyaris seragam. Mereka berkebaya dengan potongan sederhana. Selendang polos berwarna senada, lengkap dengan kain batik yang diwiron sempurna.

Tentu saja, ingatan melayang ke masa lampau ketika gaya busana seperti itu lekat dengan aktivitas perempuan di berbagai lapisan. Mulai dari ibu negara, istri menteri, ibu-ibu Dharma Wanita, sampai ke para perempuan pedagang di pasar-pasar.

Kenangan itu terbangkitkan kembali malam itu. Perancang kebaya Andre Frankie menggelar karyanya dalam acara bertajuk ”Pesona Untaian Melati Ibu Pertiwi, Mengenang Ibu Tien Soeharto dalam Busana dan Kebaya”.

”Saya terinspirasi dengan Ibu Tien karena beliau itu konsisten dengan kebaya. Misalnya saja, kalau untuk jamuan kenegaraan memang sudah harus memakai kebaya. Tapi banyak juga kegiatan di lapangan seperti acara swasembada pangan, ternyata Ibu Tien tetap mengenakan kebaya sekalipun di sawah. Jadi kebaya itu tidak selalu untuk acara formal, bisa juga untuk sehari-hari,” kata Andre.

Namun, lebih dari itu, acara ini juga ingin menekankan betapa pentingnya menghormati ”pakem” dalam berkebaya. Berdasarkan tradisi berkebaya yang sudah turun-temurun di Indonesia, ada ciri khas yang menjadi ”jiwa” kebaya, yaitu kesederhanaannya.

”Intinya sederhana. Tidak perlu pakai payet dan macam-macam. Bahannya juga sederhana. Saya juga penganut modernisasi kebaya, kok, tapi saya melihat saat ini kesederhanaan kebaya mulai hilang. Padahal kesederhanaan itu mencerminkan keindonesiaannya,” kata Andre pada Kompas.

Sebanyak 15 peragawati kehormatan, di antaranya Andang Gunawan, Anita Chairul Tandjung, Etty Djodi, Miana Sudwikatmono, dan Titiek Soeharto, membawakan busana kebaya dengan rancangan khas, berupa kebaya kutubaru (buka depan dan tutup depan) dengan bef, dilengkapi selendang polos berwarna senada, setagen hitam, dan jarik yang diwiron. Motif kebaya bisa polos atau bercorak, dengan bahan dari beludru, brokat, maupun sifon.

Semua peragawati juga mengenakan sanggul jawa lengkap dengan tusuk kondenya, tas tangan yang diletakkan di dekat siku, kipas tangan, dan selop yang terbuka di bagian jari kaki.

Andre juga menganjurkan kalung tidak dipadankan dengan kebaya, tetapi cukup dengan menyematkan bros yang besarnya sedang di bagian bef, atau bros yang berukuran lebih kecil di bagian selendang. Meski demikian, pengguna kebaya dianjurkan mengenakan giwang, bukan anting.

Ciri modern
Di tempat terpisah, perancang Edward Hutabarat juga melontarkan pandangan senada. Berkebaya modern pada hakikatnya justru harus memperlihatkan kesederhanaan.

”Modern bukan berarti kebayanya harus diobrak-abrik. Untuk menjadi modern, justru si pemakai kebayanya yang harus berpikir modern, kreatif, serta berkualitas. Semua identitas itu kemudian dibungkus dalam penampilan yang sederhana,” tuturnya.

Perancang yang biasa disapa Edo ini berbicara tentang kebaya dalam acara ”“Kebaya Modern, The Less is More” di Museum Tekstil, Jakarta, Kamis (28/4/2011) lalu. Acara tersebut menjadi salah satu rangkaian acara Pameran Koleksi Batik dan Songket Warisan Rahmi Hatta dan Raharty Subijakto yang berlangsung pada 11 April-1 Mei.

Kesederhanaan dua tokoh perempuan inilah yang kemudian menjadi inspirasi Edo sewaktu memperlihatkan lima set padu padan kebaya modifikasi di hadapan undangan yang didominasi ibu-ibu pencinta kain tradisional. Rahmi Hatta, istri wakil presiden pertama Bung Hatta, dan adiknya, Raharty (istri Laksamana Pertama Angkatan Laut Republik Indonesia R Subijakto), dikenal sebagai perempuan yang pandai menjaga citra mereka dengan berpenampilan sederhana namun elegan.

Rahmi dan Raharty termasuk pelopor pemakaian kebaya dan kain sebagai pakaian resmi dan pakaian sehari-hari perempuan Indonesia. Mereka juga turut memopulerkan kebaya kutubaru sebagai pelengkap model yang sudah populer sebelumnya, yaitu kebaya kartini.

Raharty bahkan sempat dikenal sebagai perempuan berbusana terbaik saat suaminya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Turki. Sementara Rahmi termasuk perempuan yang berani memadukan warna dan motif kebaya dan kain dalam nuansa yang kontras.

”Penampilan Ibu Rahmi selalu simpel, tetapi elegan. Sementara Tante Titi (Raharty) selalu memukau di antara istri-istri duta besar lainnya tanpa perlu rambut disasak dan lain sebagainya,” tutur Edo.

Terinspirasi dari kesederhanaan dua tokoh perempuan inilah, Edo memperlihatkan padu padan kebaya modifikasi dengan berbagai gaya. Pada penampilan pertama, misalnya, Edo membuat kebaya dengan inspirasi kimono. Kebaya bergaya kimono dari kain cina peranakan bermotif bunga pagi sore dipadukan Edo dengan batik madura dari Pamekasan. Meski berupa kebaya, padu padan ini tidak terkesan busana resmi.

Selain kimono dari Jepang, baju tradisional Indonesia, seperti baju bodo dari Makassar, juga menjadi inspirasi Edo untuk membuat kebaya modifikasi. Edo mendesain kebaya kurung dengan potongan sederhana dari lurik bergaris horizontal yang dipadukan dengan kain sarung dari Pekalongan. Pada padu padan lainnya, lurik yang dibuat model jaket dikombinasikan dengan kain bermotif bunga padma karya Iwan Tirta.

”Ketika mindset orangnya modern, seleranya bagus, pasti akan berpengaruh pada penampilan. Jadi ketika ingin terlihat modern, bukan berarti kebayanya harus diubah dan diberi macam-macam,” kata Edo, yang berencana menyosialisasikan berkebaya sederhana ke kota-kota di Indonesia pada tahun ini.

(Myrna Ratna/Yulia Sapthiani)


Sumber: Kompas Cetak

Ujian, "Penyakit" Pendidikan Nasional

SISTEM PENDIDIKAN
Ary Wibowo | Latief | Senin, 9 Mei 2011 | 11:00 WIB


RODERICK ADRIAN MOZES/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Assessment terhadap siswa seharusnya tak didominasi lagi oleh ujian-ujian tertulis. Syaratnya, para guru harus mendapatkan proses pelatihan, pengawasan, serta bimbingan


JAKARTA, KOMPAS.com — Saat ini assessment (penilaian) selain melalui pola-pola ujian harus terus didengungkan. Hal itu agar proses pembelajaran tidak lagi berfokus pada bentuk tes-tes tertulis untuk mengukur kemampuan siswa.

Demikian diungkapkan pakar pendidikan Itje Chodidjah di Jakarta, Senin (9/5/2011). Menurut Itje, guru juga perlu diberi pemahaman dan pelatihan agar pelaksanaan assessment menjadi jelas. Pasalnya, sebesar apa pun pemerintah ingin menjalankan assessment, jika guru-guru tidak memiliki pemahaman yang baik, proses itu hanya akan menjadi sia-sia.

"Paradigma guru juga perlu diubah karena biasanya saat ini guru tidak sreg kalau tidak ada testing," kata Itje.

Sementara itu, pakar pendidikan Agung Wibowo mengatakan, satu dari sekian banyak yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan Indonesia adalah penerapan assessment untuk menentukan penilaian siswa. Assessment terhadap siswa seharusnya tidak didominasi lagi oleh ujian tertulis. Namun, syaratnya, guru harus mendapatkan pelatihan, pengawasan, dan bimbingan.

"Kalaupun ada pelatihan, biasa hanya sekadarnya, tidak sampai pada how to. Assessment dapat dikembalikan ke dalam kelas sebagai kegiatan berkesinambungan untuk memantau perkembangan siswa," ujarnya.

Selain itu, metode assessment yang beragam juga harus dilakukan sepenuhnya secara jelas. Misalnya, dalam portofolio hasil kerja siswa sebagai bagian penting dalam assessment terhadap siswa. Hal itu dapat menjadi bukti berkelanjutan dari perkembangan siswa selama setahun pembelajaran, yaitu seperti apa yang diperoleh dan apa saja yang perlu diperdalam dari materi di kelas.

"Sebenarnya, dalam standar proses kurikulum itu sudah ada. Namun, pemerintah harus menjalankan kurikulum tersebut dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sepenuhnya, yang menjadikan assessment sebagai tanggung jawab guru dan sekolah," kata Agung.

Agung menilai, saat ini pendidikan terlalu berpatokan bahwa ujian nasional adalah faktor utama keberhasilan siswa. Bahkan, saat ini juga sudah muncul wacana untuk diterapkannya ujian nasional di tingkat sekolah dasar.

"Saya tidak anti-tes tertulis, tetapi tes itu bukan segalanya. Assessment penting untuk melihat kemampuan secara umum dan apakah materi yang diberikan masuk ke dalam pemahaman siswa," tukasnya.
 
.

Bendandi Sudah Ramalkan Gempa Jepang Sejak 30 Tahun Lalu?


Raffaele Bendandi
cdn.esoterya.com 

Sunday, 08 May 2011 10:54 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,ROMA - Raffaele Bendandi, ilmuwan Italia yang lahir pada 17 Oktober 1893, sudah meninggal sejak 30 tahun lalu pada 3 November 1979 dalam usia 86 tahun. Namun, catatan ilmiahnya tentang prediksi gempa kini membuat warga Roma merasa gelisah.

Selama periode Fasis Bendandi diangkat menjadi Knight of the Order of the Crown of Italy. Namun, dia kemudian dilarang oleh Benito Mussolini untuk mempublikasikan prakiraan gempa buminya. Jika tidak, maka Bendandi diancam akan dibuang ke pengasingan.

Teori prediksi gempanya didasarkan pada hasil gerakan gabungan beberapa planet, bulan dan Matahari. Gerakan gabungan itu yang menyebabkan pergerakan kerak bumi. Dan, menurut Bendandi, gerakan gabungan tersebut dapat diramalkan dengan baik.

Beberapa tulisan Bendandi memprediksikan gempa yang akan terjadi pada masa depan. Setelah kematiannya pada 1979, seseorang mencoba untuk membakar tulisannya tersebut. Tetapi, beberapa fragmen dari tulisan yang telah dibakar itu masih tetap utuh.

Pada fragmen tersebut, tertulis tahun 2011 dan 2012. Tidak ada tanggalnya. Tidak ada nama tempat di mana gempa akan terjadi.

Namun, sebagian kalangan yakin prediksi gempa tahun 2011 itu adalah gempa Jepang yang baru-baru ini terjadi. Jika memang demikian, maka gempa dahsyat akan kembali terjadi pada 2012. Namun sayang, Bendandi tidak menyebut lokasi gempanya.

Terlepas dari benar atau tidaknya prediksi Bendandi tersebut, isu bahwa Roma bakal diguncang gempa pada 11 Mei mendatang sudah merebak di dunia maya. Warga Italia pantas mewaspadainya karena prediksi Bendandi selama ini terbukti kebenarannya.

Pada 1923, Bendandi meramalkan gempa akan mengguncang wilayah Adriatik tengah di Marches pada 2 Januari. Ia hanya meleset dua hari karena gempa benar-benar terjadi pada tanggal 4 Januari 1924 di Senigallia.

Dia juga memprediksikan gempa bumi Friuli pada 6 Mei 1976. Bendandi juga memperkirakan gempa Marsica pada 13 Januari 1915. Gempa bumi benar-benar terjadi dan menghancurkan kota Marsica yang berpenduduk 13 ribu orang. Hanya 3.000 orang yang selamat.

Bendandi saat itu mencoba untuk memperingatkan penguasa. Tetapi, dia justru diperlakukan seperti seorang dukun gila.

Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: Antara/scienceray.com

Tanda Tanya di Sungai Citarum...

Lingkungan
Didit Putra Erlangga Rahardjo | Glori K. Wadrianto | Selasa, 3 Mei 2011 | 10:47 WIB



  KOMPAS/ DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Aktivis Greenpeace membentangkan bendera berisi tuntutan perbaikan lingkungan untuk Sungai Citarum, Selasa (3/5). Greenpeace resmi berkampanye untuk Sungai Citarum.


BANDUNG, KOMPAS.com - Selasa (3/5/2011) pagi, di tepian Sungai Citarum, tepatnya di Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, bendera berwarna kuning dengan logo tanda tanya berwarna hitam dibentangkan orang berseragam oranye.

Ada pula bendera raksasa yang lebarnya hampir menutupi Sungai Citarum dibentangkan dan dibiarkan terbawa arus sungai. Kegiatan tersebut bukanlah promosi film tanda tanya besutan Hanung Bramantyo yang sedang banyak dibicarakan.

Hari ini menandai partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat internasional Greenpeace untuk turut serta mengadvokasi isu kelestarian sungai yang membentang sejauh 300 kilometer lebih.

Juru Kampanye Air Greenpeace Asia Tenggara, Ashov Birry, mengungkapkan, pihaknya mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan untuk menangani pencemaran sumber air bersih dengan kampanya perlindungan Sungai Citarum.

Tajuk kampanye, sesuai bendera yang dibentangkan di tengah sungai yaitu "Citarum Nadiku, Mari Rebut Kembali." Pada saat yang sama, Greenpeace juga merilis hasil survei yang menyatakan 79,8 persen responden yakni masyarakat di Daerah Aliran Sungai Citarum meyakini bahwa penyumbang terbesar polusi adalah industri.

Hasil lainnya, 80,3 persen responden meminta agar pemerintah harus menegakkan peraturan lebih kuat untuk mencegah industri untuk membuang limbah. Ashov menerangkan, jajak pendapat dilakukan April 2011 dengan 400 responden dari 20 desa di sekitar Citarum dari hulu sampai hilir.