Rabu, 31 Oktober 2012

Ini PR untuk Para Guru Bahasa Indonesia

Penulis : Riana Afifah | Rabu, 31 Oktober 2012 | 12:08 WIB


M.LATIEF Ilustrasi: 
Pada kesempatan itu, Frans juga menuturkan, sekitar 77, 25 persen guru sekolah dasar (SD) di NTT juga tak layak menjadi guru karena pendidikannya tidak memenuhi persyaratan.  




JAKARTA, KOMPAS.com — Tentu ironis saat melihat kalangan generasi muda saat ini lebih antusias mempelajari bahasa asing daripada memperdalam bahasa Indonesia dan melestarikannya. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para tenaga pendidik untuk kembali menyulut semangat anak didiknya mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar dengan pergeseran paradigma yang digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia saat ini.

Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI), Untung Yuwono, mengatakan, telah terjadi perubahan paradigma pengajaran bahasa Indonesia saat ini. Dulu paradigma yang digunakan adalah paradigma struktural yang mengedepankan kaidah bahasa. Sementara saat ini  paradigma yang digunakan adalah paradigma komunikatif .

“Paradigma komunikatif ini bertujuan untuk membuat pembelajar mengetahui benar bahasa yang dipelajari dengan segala variannya sehingga lebih difokuskan untuk berbahasa sesuai dengan situasi,” kata Untung yang juga bergabung sebagai anggota Departemen Linguistik FIB UI ini kepada Kompas.com, Selasa (30/10/2012).

Karena itu, tenaga pendidik dituntut memiliki semangat dan energi yang besar dalam mengajar bahasa Indonesia berbasis paradigma komunikatif ini. Selain itu, tenaga pendidik tentunya diharuskan kreatif dalam menyiapkan bahan ajar dan cara pengajaran yang menyenangkan sehingga para siswa dapat belajar bahasa tanpa merasa diajari dan digurui.

“Energi yang diperlukan guru untuk mengajar harus lebih besar karena ia harus memulai dengan banyak contoh atau ilustrasi, lalu siswa mencoba menyimpulkan pola-pola kebahasaan,” jelas Untung.

Dia memberikan contoh tenaga pendidik harus mulai kreatif menerapkan varian bahasa sesuai dengan situasi pemakaiannya untuk membiasakan anak-anak berbahasa dengan baik. Selanjutnya, cara-cara seperti memberikan tugas menulis, memahami bacaan, membuat drama pendek, membuat musikalisasi puisi, menciptakan permainan atau bercerita dengan menggunakan imajinasi dapat dilakukan untuk meningkatkan semangat belajar anak.

“Yang terpenting adalah mengoreksi, mengembalikan tugas dengan coretan-coretan dari guru, dan mengevaluasi tugas. Sekarang pertanyaannya, yang juga menjadi evaluasi diri bagi pengajar, apakah selalu semua tugas yang diberikan kepada siswa diperiksa oleh guru dengan detail, diterakan koreksian, dan didiskusikan?” tandasnya.


Simak berita dan opini tentang dinamika perkembangan bahasa Indonesia dalam topik "Bahasa dan Generasi Muda Indonesia"
Editor :Caroline Damanik

Jumat, 12 Oktober 2012

Astronom Temukan Planet Berlian "55 Cancri e"







LONDON, (PRLM).- Para ahli astronomi menemukan satu planet sebesar Bumi yang kebanyakan terdiri atas berlian dan mengorbit satu bintang yang bisa dilihat dengan mata telanjang.

Planet berbatu itu, yang dinamakan "55 Cancri e", mengorbit bintang mirip Matahari sejauh 40 tahun cahaya di konstelasi Cancer dan bergerak sangat cepat sehingga satu tahun di Bumi, di sana hanya 18 jam.

Radiusnya, yang ditemukan oleh satu tim peneliti Prancis-AS, memiliki ukuran dua kali radius Bumi tapi jauh lebih padat dengan massa delapan kali lebih besar. Planet itu juga panas luar biasa, dengan temperatur permukaan mencapai 1.648 derajat Celsius (3.900 derajat Fahrenheit).

"Permukaan planet ini tampaknya ditutupi grafit dan berlian dan bukan air serta granit," kata Nikku Madhusudhan, peneliti Yale yang temuannya akan diterbitkan di Astrophysical Journal Letters.

Studi tersebut, yang dilakukan bersama Olivier Mousis di Institut de Recherche en Astrophysyique et Planetologie di Toulose, Prancis, memperkirakan sedikitnya sepertiga massa planet itu, atau sama dengan sebanyak tiga massa Bumi, mungkin adalah berlian.

Planet berlian telah dilihat sebelumnya tapi sekali ini adalah untuk pertama kali satu planet telah terlihat mengorbit bintang mirip Matahari dan dipelajari sampai terperinci.

"Ini adalah pemandangan sekilas pertama mengenai dunia berbatu dengan kemistri yang sangat berbeda dari Bumi," kata Madhusudhan sebagaimana dikutip Reuters --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Kamis malam. Ia menambahkan temuan mengenai planet yang kaya akan karbon berarti planet berbatu yang berada jauh tak lagi bisa diperkirakan memiliki kandungan kimia, bagian dalam, atmosfir, atau biologi yang sama dengan di Bumi.

David Spergel, seorang ahli astronomi di Princeton University, mengatakan relatif sederhana untuk mempelajari susunan dasar dan sejarah satu bintang segera setelah orang mengetahui usia dan massanya.

"Planet jauh lebih rumit. 'Bumi-super yang kaya akan berlian' ini tampaknya cuma satu contoh mengenai rangkaian temuan yang berlimpah yang menanti kita saat kita mulai menjelajahi planet di sekitar bintang yang berdekatan (dengan Bumi)," katanya. (A-26/rtr).***

Mendikbud: UN Tak Bertentangan dengan UU

Riana Afifah | Jumat, 12 Oktober 2012 | 07:02 WIB


 KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh.  




JAKARTA, KOMPAS.com — Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan terus berlanjut. Kali ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berhadapan dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menilai bahwa UN bertentangan dengan undang-undang.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh membenarkan adanya kontroversi terkait penyelenggaraan UN pada 2013 mendatang. Menurut DPD, UN dianggap bertentangan dengan undang-undang secara legal yuridis.

"Tapi, menurut Kemendikbud, UN ini tidak bertentangan dengan undang-undang. Landasan legalitasnya jelas pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas," kata Nuh, saat jumpa pers mengenai Penyelenggaraan UN 2013 di Gedung A Kemendikbud, Jakarta, Kamis (11/10/2012).

Ia menjelaskan bahwa dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas terdapat pasal-pasal. Dalam hal ini, DPD hanya mengambil Pasal 58 ayat 1 saja yang berbunyi Pendidik berperan mengevaluasi hasil belajar untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Ia melanjutkan, jika hanya merujuk Pasal 58 ayat 1, pihak luar tidak bisa mengevaluasi. Namun, ada pasal lanjutannya, yaitu Pasal 58 ayat 2 bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

"Dari ayat 2, itu eksternal juga perlu. Yang kami lakukan sekarang kan mengombinasikan dua ayat itu," jelas Nuh.

Menurutnya, UN ini berfungsi untuk menguji masalah kognitif siswa. Sementara untuk masalah afektif dan psikomotorik dilakukan oleh pendidik atau guru sekolah yang bersangkutan. Untuk mencapai penilaian yang optimal, ketiga hal ini harus terpenuhi dan disimpulkan bahwa yang menentukan kelulusan peserta didik adalah sekolah.

Ia juga menjelaskan bahwa pelaksanaan UN di Indonesia sudah ada setelah proklamasi kemerdekaan. Memang seiring berjalannya waktu, UN berganti nama beberapa kali dengan rumusan angka penentu kelulusan yang juga ikut berubah.

"Dari dulu juga sudah ada, dari namanya Ujian Negara, Ebtanas, UAN, sampai UN. Yang belakangan, penilaiannya sudah dibagi antara sekolah dan pemerintah," tandasnya.

Editor :Caroline Damanik

Rabu, 10 Oktober 2012

Amra Babic, Wali Kota Berjilbab Pertama di Eropa

Politik

 
Rabu, 10 Oktober 2012 | 11:41 WIB



  ELVIS BARUKCIC / AFP Wali kota Visoko, Bosnia, Amra Babic menjadi perempuan berjilbab pertama yang menjadi wali kota di Bosnia dan Eropa. 


SARAJEVO, KOMPAS.com — Kota Visoko di Bosnia akhirnya memiliki wali kota baru. Dalam pemilihan wali kota yang digelar Minggu (7/10/2012), warga kota akhirnya memilih Amra Babic, seorang perempuan berjilbab, menjadi pemimpin mereka. Babic menjadi perempuan berjilbab pertama yang menjadi wali kota di Bosnia dan Eropa.

"Ini adalah kemenangan demokrasi. Warga kota menunjukkan kedewasaan mereka karena memilih saya yang tak hanya seorang perempuan, tetapi perempuan yang mengenakan jilbab," kata Amra Babic.

"Pemilihan ini bisa menjadi model untuk Eropa, khususnya bagi Bosnia, di mana budaya Barat dan Timur bertemu di negeri ini," tambah dia.

Babic (43) meraup 30 persen suara dalam pemilihan di kota kecil berpenduduk 40.000 orang itu.

"Ajaran Islam terhadap perempuan sangat jelas. Islam memberikan tempat bagi perempuan dalam sistem pelayanan publik dan bagi mereka yang menafsirkannya dengan benar bahwa seperti itulah perempuan di mata Islam," tambah Babic, yang tergabung dalam Partai Aksi Demokratik (SDA), partai Muslim terbesar di Bosnia.

Babic juga yakin bahwa perempuan seperti dirinya tetap memiliki tempat di antara negara-negara Eropa modern.

"Saya yakin jilbab saya tidak akan menjadi penghalang. Eropa akan memahami bahwa jilbab terkait identitas seseorang yang juga memiliki toleransi terhadap hak orang lain," paparnya.

Sebelum menjadi wali kota, ibu dari tiga anak ini menjabat sebagai menteri keuangan di Kanton—semacam provinsi—Zenica, Bosnia tengah.

Sekitar 40 persen dari 3,8 juta penduduk Bosnia beragama Islam. Sedangkan etnis Serbia yang memeluk Kristen Ortodox berjumlah 31 persen dan 10 persen lainnya adalah etnis Kroasia yang memeluk Katolik Roma.

Saat Bosnia masih menjadi wilayah Yugoslavia yang komunis, penggunaan jilbab dan penutup kepala lainnya dilarang. Namun, setelah Yugoslavia bubar dan Bosnia menjadi negeri independen, sebagian perempuan Bosnia mengenakan jilbab.

"Saya tak akan pernah mencampurkan politik dan agama. Jika saya memiliki kekuatan untuk melindungi hak saya maka saya akan mencari kekuatan untuk melindungi hak orang lain," janji Babic.

Babic yang kehilangan suaminya dalam perang Bosnia 1992-1995 membuat dirinya memahami peliknya situasi jika politik bercampur sentimen agama. Dan, selama beberapa tahun dia memimpin asosiasi keluarga Muslim yang menjadi korban perang.

Sumber :AFP
Editor :Ervan Hardoko

Pemenang Grammy Award Berkolaborasi dengan Arumba

Rabu, 10/10/2012 - 05:31


USEP USMAN NASRULLOH/"PRLM"

ORAN Etkin memainkan klarinet dan berkolaborasi dengan Arumba Saung Angklung Udjo pada konser "Bridging Brookyln and Bandung" di Saung Angklung Udjo, Jln. Padasuka, Kota Bandung, Selasa (9/10) malam.*


BANDUNG, (PRLM).- Digelar secara gratis alias tanpa dipungut uang tanda masuk di Saung Angklung Udjo, Selasa (9/10) malam, pergelaran musisi asal New York, Oran Etkin berlangsung hangat dan bersahabat. Musisi pemenang Grammy Award asal New York, Oran Etkin, hadir di Bandung dalam rangkaian tur Indonesia keduanya bertajuk “Oran Etkin: Bridging Brooklyn and Bandung”.

Membuka penampilannya, Oran Etkin memainkan sebuah komposisi instrumental. Ditemani Endan Ramdan yang bermain kendang, permainan alat tiup Clarinet Oran berlangsung penuh keakraban yang mempertemukan alat musik tradisional (Sunda) dengan modern.

Memainkan komposisi kedua, giliran bassis jazz asal Bandung Zoltan Renaldi bergabung. Lagi-lagi pecinta jazz dari komunitas jazz Klab Jazz dibuai ketenangan lewat irama lembut mendayu.

Pada komposisi ketiga, pianis jazz muda berbakat, David Manuhutu turut bergabung. Lagi-lagi kehangatan disuguhkan Oran lewat permainan klarinetnya.

Baru dipenghujung acara, kelompok arumba Saung Angklung Udjo turut bergabung. Instrumental “Gambang Sulung” dan disambung “Corazon Espinado” lagu milik Carlos Santana. Meski hanya tampil dua jam kurang, penampilan Oran Etkin mampu menciptakan kehangatan dan keakraban. (A-87/A-147)***

Sejarah Baru, Presiden Lantik Gubernur

Yogyakarta

Rabu, 10 Oktober 2012 | 09:04 WIB



KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X (kedua dari kanan) menerima naskah UU Keistimewaan DI Yogyakarta dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan (paling tengah) disaksikan Ketua DPRD DI Yogyakarta Yoeke Indra Agung Laksana (paling kanan), Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa (kedua dari kiri), dan Ketua Komite I DPD Alirman Sori (paling kiri), Selasa (4/9/2012) di Kepatihan, Yogyakarta. Proses penyusunan UU Keistimewaan DI Yogyakarta memakan waktu panjang karena berlangsung selama 9 tahun dan melalui lima kali masa persidangan.



YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung melantik seorang kepala daerah. Hal itu akan terjadi hari ini, Rabu (10/10/2012), di Yogyakarta, saat Sultan Hamengku Buwono X dilantik menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Ya istimewa karena beliau belum pernah melantik gubernur," kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi di Gedung Agung Yogyakarta, di Yogyakarta, pagi ini.

Sudi mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY akan dilantik oleh Presiden, yang apabila berhalangan dapat diwakilkan kepada Wakil Presiden atau Menteri Dalam Negeri. Mensesneg berharap, dengan disahkannya UU Keistimewaan DIY, program-program yang telah dibuat sebelumnya dapat berjalan lebih baik.

"Solusi sudah tercapai. UU Keistimewaan Yogyakarta sudah disahkan, sekarang ya ke depan, dari sini ke depan bagaimana sebaik-baiknya," katanya.

Saat ditanya mengenai alasan pelantikan yang digelar di Istana Presiden Gedung Agung dan bukan di Keraton Yogyakarta sebagaimana permintaan beberapa pihak, Sudi mengatakan, penggunaan tempat lain merupakan pemborosan yang tidak perlu. "Pemerintah mempunyai istana di sini, punya Gedung Agung di sini, kenapa mesti mencari-cari tempat," kilah Sudi.

Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX akan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY pada pukul 09.00 WIB.

Sumber :Antara
Editor :Glori K. Wadrianto


Sabtu, 06 Oktober 2012

Tradisi "Ngaseuk Pare" di Kasepuhan Banten Kidul

Sabtu, 06/10/2012 - 01:32



RETNO HY/"PRLM"
TRADISI "Ngaseuk Pare" yang menandai dimulainya musim tanam padi huma di alun-alun Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar.*



PRLM -- Usai kumandang adzan subuh, ribuan warga adat dari 568 kampung adat Kasepuhan Banten Kidul sudah memenuhi alun-alun Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar yang menjadi Kasepuhan Girang Adat (kampung adat utama. Masing-masing Barisan Olot (sesepuh kampung adat) sibuk mengatur warganya yang terdiri dari kaum lelaki untuk turut serta melakukan tradisi Ngaseuk Pare yang berdasarkan hitungan kalender Sunda maupun Islam jatuh pada hari Jumat (5/10/12).

Sementara Pamingpin Olot memenuhi Imah Gede untuk menunggu keluarnya Abah Ugi Sugriana Rakasiwi selaku Sesepuh Girang yang akan memimpin langsung penyelenggaraan tradisi Ngaseuk Pare. Tradisi yang menandai dimulainya musim tanam padi huma di Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar.

Suasana hikmat terasa saat Abah Ugi Sugriana Rakasiwi keluar dari Imah Gede dan menuju alun alun untuk kemudian memulai perjalanan menuju tanah adat di lereng pegunungan Kendeng salah satu pegunungan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Tanah adat yang berjarak sekitar 2 kilometer lebih ditempuh Abah Ugi serta Pamingping Olot, Barisan Olot dan warga adat ditempuh dengan berjalan kaki dalam waktu 45 menit diiringi tetabuhan kesenian Jipeng (Tanji dan Topeng) menciptakan debu tanah beterbangan.

Tanah ada seluas hampir 7 hektar dalam waktu singkat telah berpagar masyarakat adat. Setelah ada aba-aba, tradisi Ngaseuk Pare pun dilakukan secara serentak dan bersama-sama hingga hanya dalam tempo tidak kurang dari 30 menit acara menanam buah pare (buah padi ditanah huma berlangsung dan masyarakat adat kembali ke Kasepuhan Ciptagelar disambut dengan kesenian Jipeng, Topeng Buhun, dan Dogdog Lojor.

Menurut Aki Karma, salah seorang Baris Kolot, berdasarkan penanggalan tradisi Ngaseuk Pare adalah tradisi yang sudah dilakukan oleh kakek nenek moyang mereka 644 tahun lalu (1368 M). Tradisi Ngaseuk Pare berupa memulai menanam padi jenis beras merah ditanah pangapungan (diatas bukit) dilakukan setiap tahunnya menjadi penanda siklus kehidupan masyarakat adat di Kasepuhan Banten Kidul yang sangat bergantung pada kemurahan Nyi Pohaci Sanghyang Asri.

Tradisi yang dilakukan 20 hari setelah tradisi Seren Taun, merupakan salah satu sisi filosofis masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dimana seluruh sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. Mulai dari tradisi Ngaseuk Pare diikuti Sapang Jadian Pare, Selamatan Pare Ngidam, Mapag Pare Beukah, Upacara Sawenan, Syukuran Mipit Pare, Nganjaran atau Ngabukti dan Ponggokan, dijalani masyarakat adat selama tujuh bulan lamanya.
Berbeda dengan pola pertanian intensifikasi, maka siklus panen padi di Kasepuhan hanya dilakukan satu kali setahunnya selama 6 hingga 7 bulan untuk selebihnya di istirahatkan. Masyarakat adat percaya bahwa tanah perlu dipulihkan, dikembalikan untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan alam.

Lahan pertanian padi tidak boleh menggunakan bahan kimia, kecuali menggunakan bahan yang tersedia di alam. Tradisi bercocok tamam yang bersahabat dengan alam dan lingkungan telah menunjukan bahwa kearifan lokal mampu mengalahkan modernisasi dimana tanah pertanian masyarakat adat tidak pernah di serang hama seperti sering terjadi di tempat lain yang mempraktekkan pertanian intensif.

Hebatnya lagi, kearifan lokal yang masih terjaga mampu melahirkan varietas bibit padi yang jumlahnya kini mencapai 140 jenis tersebar di setiap kasepuhan. Untuk varietas khusus disimpan di Leuit si Jimat atau leuit (lumbung padi) utama yang terdapat di tengah-tengah Kampung Adat Ciptagelar.

Leuit si Jimat setiap tahunnya mampu menampung hingga 8.700 pocong (ikat) padi. “Leuit si Jimat sekaligus berfungsi seperti “bulog” yang diperuntukkan bagi masyarakat ketika mereka membutuhkan pinjaman padi,” Yoyo Yogaswara yang menjadi penghubung masyarakat adat dengan dunia luar.

Diungkapkan Yoyo, dari akumulasi pengetahuan berabad-abad, lumbung-lumbung masyarakat kasepuhan merupakan bank genetik dari berbagai varietas padi. Seluruh varietas padi ini terawetkan dalam lebih dari 8.000 leuit atau lumbung yang ada di seluruh wilayah kasepuhan.
Setiap keluarga di Kasepuhan Banten Kidul memiliki beberapa lumbung padi kecil, dimana satu lumbung dapat menampung 500 hingga 1.000 pocong padi. Umumnya 1.000-2.000 pocong padi ekuivalen untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan untuk satu keluarga selama setahun.

Ilmu pengetahuan yang sudah dijalankan secara turun temurun selama 644 tahun sudah banyak dipelajari oleh peneliti dalam maupun luar negeri. Kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dinilai mampu bertahan dan relevan dengan kondisi perekonomian yang menerapkan ilmu modern yang dihasilkan para pakar terpelajar. (Retno HY/”PRLM”/A-108)***



Substansi Pendidikan

Opini 



LTF
Ilustrasi:


Oleh Mohammad Abduhzen

Tulisan Boediono di harian ini, 29 Agustus 2012, sangat menarik disimak.

Pertama, karena posisi penulisnya Wakil Presiden RI yang (konon) juga pemimpin Komite Pendidikan sehingga besar kemungkinan gagasan yang disampaikan tak berhenti semata dalam wacana. Kedua, tulisan itu menyoal substansi pendidikan yang—menurut penulisnya, dan saya sependapat—hingga kini belum jelas konsepsinya.

Namun, tulisan itu—biarpun mengakui pendidikan sebagai kunci pembangunan— secara keseluruhan mengesankan bahwa pembangunan ekonomi dan politik lebih utama. Usulan mengenai pendidikan umum dan pendidikan khusus guna membekali murid soft skill dan hard skill terasa simplistis. Kurang mendasar dibandingkan ide Boediono ketika jadi Menteri Keuangan. Saat itu ia menekankan ”revolusi pendidikan” dalam strategi pembangunan baru (Kompas, 23 Oktober 2003).

Perubahan fundamental, total, dan gradual ke arah pemenuhan janji kemerdekaan sangat perlu. Hal itu akan terjadi jika pendidikan diutamakan dalam pembangunan. Selama ini, dalam pembangunan yang pro-pertumbuhan ekonomi dan kemapanan politik, pendidikan hanyalah perifer. Akibatnya, aspirasi dan substansi pendidikan terbengkalai.

Secara filosofis, pendidikan adalah upaya memenuhi aspirasi masyarakat pendukungnya. Pertama, aspirasi pragmatis. Pendidikan diselenggarakan dalam rangka mempertahankan dan mempermudah kehidupan. Aspek terpentingnya, membekali generasi muda seperangkat kemampuan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Di sini, institusi pendidikan jadi wahana pemberdayaan dan mobilitas sosial untuk keselamatan dan kesejahteraan.

Kedua, aspirasi nasionalistik. Melalui pendidikan, sebuah bangsa/negara menggalang ketahanan nasionalnya. Identitas dan spirit kebangsaan ditanamkan lewat berbagai kegiatan dengan harapan murid jadi warga negara yang baik. Di sini, proses pendidikan merupakan upaya membangun watak bangsa.

Ketiga, aspirasi kulturalistik. Pendidikan dijadikan jalan transmisi dan transformasi budaya yang bertujuan tak sebatas bertahan hidup atau jadi warga negara yang baik—karena humanitas kita bukan sekadar eksis—tetapi juga berkebudayaan. Ide kebudayaan, menurut Daoed Joesoef, menetapkan supremasi manusia di atas kewargaan atau citizenship (Kompas, 17 April 2012). Maka, pendidikan sering disebut upaya memanusiakan manusia: menjadikan manusia seutuhnya, insan kamil: manusia yang baik.

Upaya menyelaraskan sistem pendidikan/persekolahan dengan aspirasi bangsa semestinya telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Sayangnya, menurut Beeby (1975), hal itu tak terjadi. Pendidikan kita jadi penuh anomali. Daoed Joesoef sewaktu jadi Mendikbud hendak menormalkannya lewat konsep normalisasi kehidupan kampus (NKK), tetapi gagal.

Lima masalah pendidikan
Kaburnya substansi pendidikan merupakan bagian dari akumulasi problem berlarut-larut yang kini perlu penyelesaian secara tepat. Pertama, masalah fundamental yang mencakup alasan dasar dan arah pendidikan. Kita memiliki tujuan negara, dasar negara, dan tujuan pendidikan nasional sebagai landasan normatif pendidikan. Persoalannya bagaimana perangkat-perangkat normatif itu diobyektivikasi jadi panduan operasional pendidikan dalam konteks ruang-waktu.

Misalnya, soal kesejahteraan. Bukankah negeri ini mengaku sebagai negara agraris. Lebih 60 persen rakyatnya hidup dari pertanian, dan 80 persen di antaranya miskin. Kita memiliki sekolah menengah, fakultas/jurusan/program studi hingga institut pertanian. Namun, pertanian tak mengalami kemajuan berarti dan tak jadi basis perekonomian bangsa. Lebih ironis lagi, mayoritas petani menyekolahkan anaknya ke level tinggi agar tak jadi petani seperti orangtuanya.

Juga soal kebudayaan. Takdir pluralitas kita—melalui pendidikan—seharusnya dijadikan kekuatan konstruktif, bukan sebaliknya. Maraknya konflik belakangan adalah pertanda kendurnya ikatan operasional pendidikan dengan realitas kebangsaan kita. Oleh karena itu, konkretisasi korelasi antara strategi pembangunan ekonomi dan kebudayaan dengan arah pendidikan nasional penting dilakukan.

Kedua, masalah struktural atau politik pendidikan. Kekacauan pendidikan kita kebanyakan bersumber dari cara pemerintah menjalankan politik pendidikan. Kebijakan pendidikan sering tak berbasis pengetahuan: coba-coba tanpa studi, teori, dan pengalaman. Respons pemerintah terhadap perkembangan acap kali reaktif dan program-program disusun sebagai proyek koruptif. Alhasil, pendidikan secara operasional tak punya efektivitas, relevansi, dan signifikansi terhadap kemajuan.

Ketiga, masalah operasional. Apa yang seyogianya diajarkan agar manusia Indonesia berkontribusi maksimal bagi kemajuan berada pada wilayah ini. Masalahnya, praktik pendidikan kita sering kali dimasuki bermacam kepentingan non-pencerdasan. Banyak kompetensi dan materi masuk kurikulum tanpa dikaji relevansi dan signifikansinya dengan filosofi dan situasi kita sendiri. Raibnya Pendidikan Moral Pancasila, masuknya (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, dan saratnya kurikulum adalah akibat politik menggampangkan pendidikan. Sikap itu pula yang melahirkan sertifikasi portofolio guru dan ujian nasional (UN).

Kualitas pendidikan sangat bergantung pada pengoperasian sistem, dan ditentukan politik pendidikan. Komite Pendidikan yang dipimpin Wapres sebaiknya jadi brain-trust untuk atasi masalah ini.

Keempat, masalah finansial. Sejak 2009 anggaran pendidikan melampaui 20 persen dari APBN. Akan tetapi, dana sangat besar itu meliputi gaji pendidik, tunjangan profesi, biaya birokrasi, dan anggaran pendidikan di 18 kementerian/lembaga lain. Kemdikbud mengelola kurang dari 30 persen dari total anggaran pendidikan. Itu pun kerepotan menyediakan program-program berkualitas.

Pendidikan kita menghadapi hambatan yang sifatnya nonmaterial semata. Tahun fiskal 1974/1975 anggaran pendidikan naik 12 kali; sebelumnya Rp 36,6 miliar jadi Rp 436 miliar. Namun, kelimpahan uang itu sepertinya tak menyentuh substansi pendidikan sehingga kini bermasalah. Kearifan membelanjakan uang dengan program yang berkualitas adalah tantangan berat yang harus dijawab pemerintah.

Kelima, masalah kultural. Ivan Illich dalam Deschooling Society-nya menggugat budaya sekolah yang melegitimasi seseorang lewat ijazah. Di Indonesia, tradisi bersekolah untuk ijazah telah berkembang jadi ”penyakit” diploma, yang melahirkan perilaku pseudo ilmiah seperti plagiarisme. Membangun budaya akademik merupakan tugas pokok yang perlu ditekuni agar persekolahan menjadi institusi pendidikan yang benar-benar mencerdaskan.

Substansi pendidikan dapat ditemukan dari tanggapan atas masalah di atas, lalu dijabarkan jadi pelajaran yang bermakna secara ekonomis, politis, juga humanis.

Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Caroline Damanik

Selasa, 02 Oktober 2012

IPB Kembangkan "Database" Jamu

Selasa, 2 Oktober 2012 | 09:26 WIB



KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pegawai di tempat penyembuhan alternatif di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, meracik obat herbal, Sabtu (3/12). Tanaman obat ini berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, termasuk sarang semut dari Papua.


BOGOR, KOMPAS.com - Dalam upaya memperkuat peran jamu dan tanaman herbal dalam pengobatan medis di Indonesia, Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (IPB) mengembangkan database jamu berbasis teknologi informasi.

Kepala Pusat Studi Biofarmaka (PSB) IPB Prof Latifah K Darusman menjelaskan, saat ini tidak kurang dari 15.000 tanaman herbal yang dapat tumbuh di Indonesia. Penyusunan database ini akan dilakukan IPB bekerjasama dengan para ilmuwan dari Nara Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang.

"Saat ini, Pusat Studi Biofarmaka IPB tengah mengembangkan database jamu dan tanaman herbal berbasis teknologi informasi untuk penguatan peran jamu di Indonesia," katanya pada acara lokakarya "Jamu-Informatics" yang mengusung tema "Menggali Pengetahuan dari Database Jamu Menggunakan Teknik Bioinformatika" di IPB International Convention Center Bogor, Senin (1/10/2012) kemarin.

Latifah menjelaskan, "Jamu Informatics" atau database jamu ini masih dalam tahap pengembangan dengan rincian database berjumlah sekitar 5.310 jamu, 797 produsen dan 654 tanaman atau 1.133 herbal. Data jamu yang disediakan merupakan data yang sudah terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Selain database berbagai jamu yang ada di Indonesia, melalui "Jamu Informatics" juga akan ditampilkan referensi hasil-hasil penelitian terhadap jamu yang terdapat dalam database.

Dalam lokakarya yang juga menghadirkan narasumber dari NAIST Jepang Dr Shigehiko Kanaya dan berbagai kalangan dari akademisi, instansi dan para wiraswasta itu, salah satu peserta bernama Wawan dari Kampung Jamu Organik, Cikarang, Kabupaten Bekasi menyampaikan pembuatan database jamu itu akan sangat berguna jika diaplikasikan di perusahaannya.

Menurut dia, saat ini ada sekitar 300 jenis tanaman herbal yang dikembangkan di perusahaannya yang juga tercatat di BPOM. Wawan mengatakan, meski perusahaannya bergerak dalam hal budi daya, tapi "Jamu Informatics" dianggapnya penting untuk diimplementasikan.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Bisnis dan Komunikasi IPB Dr Arif Imam Soeroso mengimbau masyarakat untuk senantiasa membiasakan minum jamu. Ia berharap produk jamu dapat berhasil mengangkat Indonesia di mata Internasional, karena saat ini ada sekitar 300 tanaman sedang dilakukan upaya pengembangan untuk menjadi obat dan sekitar 10 produk yang sudah ada di pasar.




Sumber :Antara
Editor : Asep Candra