Sabtu, 19 Juli 2014

Ekstrak Pektin dari Kulit Pisang untuk Turunkan Kolesterol

Penulis : Lusia Kus Anna | Kamis, 17 Juli 2014 | 14:34 WIB 
 
 
shutterstock
 Pisang
 
 
 
KOMPAS.com - Manfaat buah pisang untuk kesehatan mungkin sudah lama kita kenal. Namun, tak banyak orang yang mengetahui bahwa kulit pisang ternyata juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kadar kolesterol tinggi.

Tiga mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang, yakni Lukman Azis, Nisa Alfilasari dan Clara Arha, melakukan penelitian mengenai manfaat kulit pisang. Ternyata, pektin yang diekstrak dari kulit pisang  memiliki manfaat antikolesterol.

Zat pektin tersebut kemudian dibuat menjadi permen kenyal atau marshmallow yang lezat. "Pektin memiliki sifat mampu mengikat air, misalnya saja gel. Nah, marshmallow membutuhkan gel sehingga kami memilih bentuk permen ini. Lagi pula, sekarang ini marshmallow sedang disukai orang," kata Lukman, ketua tim penelitian, ketika dihubungi KOMPASHealth (17/7/14).

Ia menjelaskan, proses pembuatan pektin ini cukup mudah dan dapat dilakukan menggunakan peralatan rumah tangga biasa. Limbah kulit pisang yang telah disortasi cukup diiris kecil kemudian dikukus selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah pengeringan dan penepungan. Tepung inilah yang kemudian diekstraksi dengan metode padat-cair pada suhu 90 celcius menggunakan pelarut asam. Hasil ekstraksinya kemudian menjadi bahan dasar pembuatan marhmallow.

"Bahan-bahan marshmallow semuanya alami. Untuk pewarna pink, saya menggunakan ekstrak buah naga. Gula yang dipakai juga yang rendah kalori," ujarnya.

Lukman yang kini masih duduk di semester 8 ini menjelaskan, pektin yang diekstrak dari kulit pisang ternyata bisa menurunkan kolesterol. Penelitian yang ia lakukan terhadap tikus selama dua minggu menunjukkan penurunan kolesterol hingga 52 persen.

"Saya menguji ke tikus yang kondisinya tinggi kolesterol. Selama dua minggu tikus ini diinjeksi dengan pektin yang dosisnya sudah dikonversi. Ternyata terjadi penurunan kadar kolesterol sampai 52 persen," kata dia.

Ia menambahkan, umumnya pektin yang digunakan dalam industri makanan berasal dari apel dan jeruk yang merupakan buah mahal. Setiap tahunnya, Indonesia mengimpor pektin hingga berton-ton.

"Pektin dari limbah kulit pisang ini lebih menguntungkan karena murah. Selain itu ada khasiat menurunkan kadar kolesterol," paparnya.

Penelitian yang ia lakukan merupakan bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian yang diadakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Penelitian tersebut ia lakukan di bawah bimbingan dosennya Nur Ida Panca STP.

Lukman menilai, selama ini limbah kulit pisang hanya dimanfaatkan sebagai makanan ternak, padahal ada kandungan yang bermanfaat di dalamnya. "Ibaratnya kini sekali mendayung dua pulau terlampaui. Pertama bisa memanfaatkan kulit pisang secara ekonomis sehingga menambah  nilai jual pisang. Yang kedua adalah menginovasi pembuatan marshmallow sebagai permen antikolesterol," katanya.

Ia juga berencana melanjutkan penelitiannya untuk mengetahui efektivitas pektin dari kulit pisang pada manusia dan juga penyakit lainnya. Proses paten juga sedang dilakukannya. 

Rabu, 16 Juli 2014

Hidrogen Sulfida Mencegah Kerusakan Mitokondria

Kentut Bisa Menyembuhkan Penyakit

 

GETTY/"PRLM"
 KENTUT ditengarai bisa menyembuhkan berbagai penyakit.*


DEVON, (PRLM).- Pekan lalu sebuah studi yang dilakukan Universitas Exeter, Inggris mengungkapkan bahwa kentut yang bau bisa menyembuhkan segala macam penyakit fatal, kontan saja banyak liputan media membahas tentang sifat-sifat penyembuhan tidak lazim ini, dan banyak para pakar mengkritiknya.

Tentu saja, studi yang sebenarnya jauh lebih kompleks, dan tidak secara khusus mereferensikan kentut, hanya hidrogen sulfida, gas yang dihasilkan oleh proses alami tubuh yang menyebabkan perut kembung dengan bau yang tidak menyenangkan.

Studi ini, seperti diberitakan The Guardian Senin (14/7/2014), menyatakan bahwa pengiriman senyawa yang disebut AP39 menyebabkan lebih banyak hidrogen sulfida diproduksi oleh sel yang sakit, dan hidrogen sulfida dalam dosis kecil terbukti melindungi mitokondria sel, yang memasok energi sel dan sering rusak oleh penyakit.

Hidrogen sulfida mencegah kerusakan mitokondria ini karena itu dapat membantu sel-sel melawan perkembangan banyak penyakit. (Dede Suhaya/A-107)***

Tahu, Kenapa Perusahaan Jepang "Kepincut" dengan Lulusan Indonesia?


Sabtu, 5 Juli 2014 | 15:31 WIB

M Latief/KOMPAS.com
Masih berdasarkan data Career Office APU, pada 2013 lalu tercatat sebanyak 355 perusahaan Jepang mendatangi APU untuk menggelar rekrutmen tenaga kerja first graduate.


 KOMPAS.com — Kantor Karier (Career Office) Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) di Beppu, Jepang, menempatkan para pelajar Indonesia sebagai pelajar paling diincar perusahaan-perusahaan multinasional Jepang. Kemampuan bahasa Jepang dan Inggris para pelajar Indonesia dinilai sangat baik, sebaik kemampuan studi di bidang masing-masing. (Baca: Hebat... Pelajar Indonesia Paling Diincar Perusahaan Jepang!).

Berdasarkan data Career Office Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang, tahun 2013, menunjukkan bahwa job placement rate untuk anak-anak Indonesia pada 2012 mencapai angka 100 persen, sementara pada 2013 lalu turun sedikit hanya 96,7 persen. Pada 2013, sebanyak 73 persen dari total pelajar asal Indonesia di APU pun tercatat paling aktif mencari pekerjaan.

"Jadi, persentase anak Indonesia yang mendapatkan pekerjaan di Jepang itu 65 persen, yang bekerja di Indonesia 17 persen, sedangkan sisanya yang 17,5 persen itu di negara lain atau melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi," kata Masako Posselius, Manager Career Office Ritsumeikan APU, di kantornya di Kampus APU, akhir Juni lalu.

Masih berdasarkan data Career Office APU, pada 2013 lalu, tercatat sebanyak 355 perusahaan Jepang mendatangi APU untuk menggelar rekrutmen tenaga kerja bagi mereka yang baru lulus. Kunjungan dan rekrutmen yang disebut dengan "On Campus Recruiting" itu kerap dijadikan kesempatan bagi para mahasiswa Ritsumeikan APU, khususnya mahasiswa tingkat III dan IV, untuk mulai merancang job hunting.

"Karena pada saat itu para mahasiswa hanya mulai fokus pada akhir masa studinya dan serius dengan aktivitas riset mereka untuk menyelesaikan studi. Sejauh ini, para alumnus dan perusahaan selalu puas dengan capaian anak-anak Indonesia yang mereka rekrut," kata Masako.

Menanggapi hal itu, alumnus Ritsumeikan APU, Ahmad Hadi Royani atau Royan, mengakui bahwa pengalaman berkomunikasi dengan mahasiswa dari berbagai negara di "kampus internasional" Ritsumeikan APU merupakan pengalaman sangat berharga. Dia sepakat bahwa karena bergaul itulah dia menjadi orang yang sangat percaya diri ketika masuk ke dunia kerja di Jepang.

"Pertama dari kemampuan bahasanya, orang Indonesia itu lebih unggul. Kedua, sebagai orang Indonesia, saya dianggap bisa masuk ke budaya orang-orang Jepang itu. Ketiga, kemampuan berkomunikasi orang-orang Indonesia sangat baik, mungkin bisa dibilang sangat luwes. Kita dianggap lebih mengerti perbedaan," ujar Royan, Sales dan Marketing Consultant di Michael Page International Japan, di Tokyo.  




M Latief/KOMPAS.com


Berdasarkan data Career Office Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang, tahun 2013, job placement rate untuk anak-anak Indonesia pada 2012 mencapai angka 100 persen, sementara pada 2013 lalu turun sedikit hanya 96,7 persen.





Royan mengakui, semasa kuliah, pencapaian prestasi akademiknya terbilang biasa saja. Namun, dia termasuk anak yang aktif berorganisasi, menjadi volunter untuk bermacam kegiatan kampus, dan kerja sambilan. Dari situlah keluwesan bergaul, kemampuan berkomunikasi, dan kefasihan berbahasa terasah secara alami. (Baca: Saatnya... Kampus Jadi Ajang "Trial and Error" Bergaul di Dunia Internasional!).

"Secara langsung kita memang tidak dididik menjadi seperti itu karena semuanya berjalan alami ketika menuntut ilmu dan bergiat di kampus. Lingkungan kampus membuat kita seperti itu. Jadi, kalau ke sini cuma belajar, enggak akan dapat apa-apa," ujar Royan.

Track yang benar

Berdasarkan survei Carrier Office Ritsumeikan APU pada 2013 lalu, spesifikasi kebutuhan sumber daya manusia yang diinginkan perusahaan-perusahaan internasional Jepang tidak hanya menitikberatkan pada kemampuan teknis (skill) dan potensi akademik. Lebih dari itu, beberapa variabel non-teknis (non-skill) sangat mereka butuhkan dari para sarjana lulusan perguruan tinggi (Sekali Lagi... Jangan Lupakan "Non-Skill"!).

"Kepemimpinan, kemampuan menemukan masalah, kemampuan mengeksekusi rencana, memberi inspirasi orang di sekitarnya, suka belajar dan memperbaiki diri, serta punya semangat kerja sama yang tinggi. Kriteria itulah yang utama," kata Dahlan Nariman, Vice Dean of Admission-Associate Professor Ritsumeikan Asia Pacific University (APU).

"Untuk akademik rata-rata GPA atau IPK anak Indonesia itu 3,00. Sementara itu, yang dianggap paling menonjol dari anak-anak Indonesia itu khususnya dari sisi non-akademik. Para mahasiswa Indonesia dinilai paling kreatif untuk urusan non-akademik dan selalu unggul dibanding anak lain," kata Dahlan.

Melihat kenyataan itu, Director Ritsumeikan Tokyo Office, Shiota Kuninari, mengaku sebelumnya tidak pernah terbayangkan bahwa lulusan Indonesia di APU akan seperti saat ini. Pada masa awal berdiri tahun 2000, banyak orang memandang sebelah mata pada APU dengan konsepnya yang dikenal dengan "konsep 50". Kini, ketika industri Jepang maju dan sangat membutuhkan SDM asing, salah satunya dari Indonesia, ia merasa APU sudah berada di track yang benar.

"Saya yakin bahwa APU sudah dijadikan model untuk internasionalisasi pendidikan tinggi di Jepang sehingga pemerintah pun kini mendukung banyak perguruan tinggi di sini untuk go international. Jepang agak terlambat dari segi persaingan global di bidang pendidikan, saya akui itu," ujar Shiota.

Ucapan jujur Shiota itu ternyata diperkuat oleh pernyataan alumnus Ritsumeikan APU lainnya, Taufan Hadi Pandusegoro. Semasa kuliah, Taufan mengaku dirinya tergolong mahasiswa "tukang main". Istilah "tukang main" adalah mahasiswa yang rajin berorganisasi atau melakukan bermacam kegiatan kampus dan biasa saja dalam prestasi akademik.

"Orang Jepang mengakui bahwa anak-anak Indonesia itu sosok yang rajin, stigma itulah yang sering muncul. Padahal, sejak kuliah kita memang sudah terbiasa bekerja, punya inisiatif ketika ada sebuah masalah di keorganisasian. Jadi, kita memang sudah terbiasa, dan ketika masuk ke dunia kerja, itu bukan masalah lagi," kata Taufan, Production Planner di Fujitsu Ltd di Kawasaki, Jepang.


 
M Latief/KOMPAS.com
 Istilah tukang main adalah mahasiswa yang rajin berorganisasi atau melakukan bermacam kegiatan kampus dan biasa saja dalam prestasi akademiknya.


 Taufan menuturkan bahwa sebetulnya banyak perusahaan di Jepang yang secara budaya perusahaan belum terhitung sebagai perusahaan global. Bisa dikatakan, perusahaan-perusahaan itu masih dalam tingkat menuju global, meskipun termasuk perusahaan berskala besar.

"Orang Jepang itu kalau mau melakukan sesuatu yang baru sangat lama berpikirnya, itu karakter mereka. Itulah sebabnya, banyak perusahaan Jepang memilih merekrut lulusan asing atau mahasiswa internasional seperti anak Indonesia untuk bekerja di perusahaan mereka, ketimbang lulusan Jepang. Kita diharapkan bisa mengubah budaya kerja di perusahaan mereka. Jadi, banyak kesempatan terbuka luas untuk anak-anak Indonesia yang ingin berkarya," kata Taufan.



Penulis: Latief
Editor : Latief


Maraton



Kompas Sabtu, 03 Mei 2014

ANDRÉ MÖLLER
 Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia




Beberapa bulan yang lalu saya ikut sebuah lomba lari marathon untuk kali pertama. Lomba ini berlangsung  pada malam hari pada musim gugur di Swedia. Jadi, teman paling setia selama 42,2 kilometer adalah kegelapan, kesunyian, dan kedinginan. Selain sempat meragukan kesehatan mental saya berulang kali selama lebih dari 3,5 jam, saya juga sempat memikirkan kata maraton sendiri.

Menurut legenda, seorang pembawa kabar bernama Pheidippides ditugasi lari dari medan perang di Kota Marathon ke Athena(ibu kota Yunani) untuk menyampaikan kabar bahwa pasukan Yunani berhasil mengalahkan pasukan Persia. Ia mesti menyampaikan kabar ini dengan segera supaya pemimpin Athena tidak membiarkan pasukan Persia memasuki Kota Athena. Pertempuran Marathon ini berlangsung pada 490 Sebelum Masehi. Ceritanya, Pheidippides lari tanpa berhenti (walaupun habis ikut berjuang dalam pertempuran tadi) dan, ketika sampai di Athena, ia berteriak, “Nikomen!” atau “Kita menang!” Setelah itu, menurut legenda, ia langsung meninggal kecapaian.

Tentu akurasi cerita itu diperdebatkan. Yang pasti, ada beberapa jalan dari Marathon ke Athena yang bisa dipilih seorang pembawa kabar. Jika Pheidippides memilih lewat jalur selatan (di sebelah selatan Gunung Penteli), ia lari kira-kira 40 kilometer (kalau tidak kesasar). Kalau dia lewat jalur utara, jaraknya hanya sekitar 35 kilometer, tetapi ada kenaikan curam yang hampir 5 kilometer panjangna. Pada Olimpiade 1896, lomba lari maraton dimasukkan sebagai acara untuk mengingat kemuliaan Yunani kuno, dan pada Olimpiade London tahun 1908, jarak sebuah maraton ditetapkan menjadi 42,195 meter.

Kata maraton atau marathon sudah jadi kosakata dala hamper setiap bahasa di dunia ini. Bahasa Indonesia bukan sebuah kekecualian. Kamus Besar Bahasa Indonesia mencantumkan maraton (tanpa “h”) baik sebagai data benda dengan arti ‘perlombaan lari jarak jauh (10 km atau lebih)’ maupun sebagai kata sifat dengan arti ‘terus-menerus (tanpa berhenti)’. Untuk arti pertama, saya mesti memprotes karena KBBI seolah-olah setuju bahwa lomba lari (atau perlombaan lari) 10 km bisa disebut maraton. Bagi setiap orang yang pernah lari dalam sebuah maraton yang sebenarnya, ini sebuah penghinaan. Terus, sebuah jarak yang juga sangat lumrah dijadikan jarak untuk lomba adalah 21,095 meter, yakni setengah maraton, tetapi gabungan kata ini tidak masuk KBBI sama sekali. Mungkin karena setiap jarak di atas 10 km adalah maraton menurutnya.

Pemakaian kata marton dalam art kedua (sebagai kata sifat) juga sudah jadi hal yang lumrah dalam beberapa bahasa. Maka, jangan heran kalau ada politikus yang”diperiksa secara maraton” setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi, atau kalau sejumlah pusat perbelanjaan di Ibu Kota mengadakan shopping marathon (lengkap dengan “h” karena selalu berbahasa Inggris dan, karena, “belanja maraton” akan terasa kampungan). Jangan heran kalau DPRD Yogyakarta membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah “secara maraton” ketika waktunya sudah menyempit.

Membahas ekonomi, belanja, ataupun diperiksa KPK tentu saja bikin setiap orang berkeringatan. Namun, bagi kami, kaum pelari maraton, penggunaan ini tetap juga terasa  tidak enak di hati. Masalahnya, tidak satu pun kegiatan di atas memerlukan pelatihan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Ya, sudahlah. Sekarang fokus saya selanjutnya pada Copenhagen Marathon yang akan berlangsung pada 18 Mei mendatang.