Rabu, 24 Desember 2014

Rhenald Kasali: Mengapa Tak Ada Nasi Goreng Enak di Hotel?

Rabu, 24 Desember 2014 09:11 WIB

Warta Kota/Celestinus Trias HP
Ilustrasi : Nasi goreng spesial. 

Rhenald Kasali
 
WARTA KOTA, JAKARTA - Tentang hal ini saya punya lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Dan saya ingin para chef-lah yang menjawab. Mahasiswa studi perhotelan dan pemilik hotel juga boleh mereka-reka jawabannya.

Tapi poin-nya jelas. Sulit kita mendapatkan kuliner Nusantara yang benar-benar lezat di berbagai hotel. Jangankan rasanya, tampilannya saja seringkali membuat saya malu pada tamu saya. Kadang saya berpikir, kalau kita saja merasa janggal dengan tampilan dan rasanya, bagaimana pikiran wisatawan asing ya?

Sewaktu saya protes, sejumlah orang membantah hal itu terjadi di hotel miliknya. Tetapi begitu saya mencicipi hidangannya, ternyata sama saja. Kurang pas!

Untuk menyajikan kuliner Nusantara, mungkin mereka perlu mengubah haluan. Dari mencari chef yang berpengalaman memasak di kapal pesiar atau di restoran luar negeri kepada para chef lokal yang ada di berbagai warung di Nusantara ini.

Di sebuah hotel bintang lima di dekat Bundaran HI Jakarta pekan lalu, saya mengambil emping goreng yang baru dimasak. Bayangkan, goreng emping saja, mereka tidak tahu caranya. Masih keras sudah diangkat.

Soto Madura di Luar Lebih Enak
Saya baru saja menuliskan masukan di VIP Lounge Garuda Indonesia di Bandara Juanda. Entah mengapa, sejak menempati ruangan baru yang lebih luas, rasa makanan di ruang VIP ini tak karuan. Pecel sayuran yang disajikan layu. Gorengan tempe terlihat tidak fresh. Rasanya tidak senikmat tempe goreng yang biasa kita nikmati.

Saya lalu mengambil rempeyek yang ada di dalam toples kaca. Selain plastiknya yang agak kumal, saya tak melihat kacangnya. Kata penjaganya, itu peyek kacang dan teri. Tapi begitu saya rasakan, ikan terinya juga tidak saya temukan.

Andaikan saya tak terburu-buru masuk ke dalam, saya pasti lebih memilih untuk menikmati soto Bangkalan yang ada di teras luar bandara. Rasanya jauh lebih nikmat dari makanan yang disajikan pengelola VIP Lounge. Padahal VIP Lounge adalah bisnis yang sangat menguntungkan dan menjadi incaran banyak orang. Tetapi mengapa tak ada satupun VIP Lounge yang menyajikan kuliner nusantara dengan penuh semangat?

Itu tak hanya tampak di Bandara Juanda, melainkan merata di hampir semua Bandara Nusantara, apakah itu di Cengkareng, Bali, Batam, ataupun di Makasar. Tak tampak keinginan pengelola menampilkan keunggulan kuliner kita dengan penuh suka cita.

Ini berbeda benar dengan kesungguhan bangsa Thailand. Hal serupa juga tak terlihat pada VIP lounge yang dikelola perusahaan-perusahaan telekomunikasi maupun perbankan. Saya lebih memilih makan bakso di warung Oasis yang berbayar ketimbang menikmati kuliner di ruang VIP.

Roti-rotinya bukanlah roti yang berkualitas bagus, isinya tidak menarik. Rebusannya juga tak enak, tak memenuhi selera. Mie gorengnya terlalu berminyak. Pisang yang ada di dalam penganan tradisionalnya tidak manis. Keras dan belum masak.


Sop Buntut Hotel Borobudur
Bagaimana di hotel-hotel kita? Saya tak menutup mata bahwa dulu kita sangat memuji sop buntut yang disajikan di Bogor Café Hotel Borobudur. Tetapi selebihnya, saya kira Anda sepakat dengan saya. Kalau kita mau menikmati ikan bakar, lebih baik pergi ke warung ikan bakar bertenda di tepi jalan ketimbang makan di lobi-lobi hotel di kota Makasar sekalipun. Jangan heran kalau kebanyakan hotel di daerah hanya ramai dipenuhi pagi hari karena breakfastnya sudah dipaket dengan tarif hotel.

Jangankan ikan bakar yang masaknya super mudah itu, pisang goreng dan nasi goreng saja tak ada yang benar-benar bisa kita nikmati di hotel-hotel berbintang kita. Minimnya spirit kewirausahaan telah membuat banyak juru masak hanya bekerja sesuai SOP tanpa menyadari bahwa mereka "menjual" brand Indonesia.

Kadang saya berpikir, hotel telah merekrut orang-orang yang tidak tepat. Tetapi kadang saya mendengar jawaban bahwa rata-rata chef yang dipekerjakan hotel berbintang empat – lima bukanlah chef yang mengerti selera kita. Kalau tidak orang Prancis, pasti bangsa lain. Tetapi bukankah di situ juga bekerja orang-orang Indonesia yang mengerti selera kita. Masa iya membuat nasi goreng yang enak saja tidak bisa?

Kadang juga saya mendengar terjadi ketidaksinkronan antara yang memasak dengan bagian pengadaan. Jadilah bagian pembelian mengadakan pisang  yang belum masak, yang meski disimpan tiga hari belum layak dibuat menjadi pisang goreng. Pisang keras itu disamarkan dengan tepung, keju dan coklat agar lebih terlihat berselera.

Buah-buahan Nusantara pun digantikan oleh buah-buahan standar yang ada di seluruh dunia: apel, anggur, pepaya, nanas dan melon. Melonnya pun, bagian manisnya sudah dipotong, ditinggalkan bagian dasar yang masih padat. Padahal kita punya buah-buahan tropis yang kaya dan selalu ada pada musimnya: duku, mangga, manggis, srikaya, jamblang, kecapi, nangka, cempedak dan sebagainya. Mengapa takut dengan baunya kalau di Thailand saja bisa?

Minimnya protes konsumen, lemahnya perhatian aparatur pembuat kebijakan, serta kemalasan para chef untuk mempelajari kuliner Nusantara telah mengakibatkan kita lebih banyak makan roti dengan selai dan cokelat ketimbang bubur ayam atau nasi goreng. Anak-anak kita pun memilih makan spageti, omelet atau cereal ketimbang jajanan pasar buatan lokal.

Maka saya gembira ketika salah seorang gubernur di Sulawesi memberi kewajiban agar hotel-hotel setempat  menyajikan kuliner lokal. Kalau tak mau juga, katanya ijinnya akan dicabut. Boleh juga lah. Tetapi saya kira kita tak bisa membangun kuliner nusantara dengan sekadar ada saja.

Kalau chef-chef kita mau belajar, maka mereka harus keluar dari kampusnya. Di kampus mereka cuma belajar penyajian, tekstur dan tampilan. Soal rasa, hanya ada di pemilik rumah makan yang rasanya sudah teruji. Jadi mungkin Kementerian Pariwisata bisa membina nasi jamblang mang Dul di Cirebon agar mendapatkan kontrak di hotel-hotel berbintang. Hal serupa juga pada kuliner-kuliner Nusantara lainnya.

Saya kira lebih baik beri tempat pada mereka yang sudah teruji oleh pasar untuk dinaikkan kelasnya. Hotel wajib membantu penampilan dan kebersihannya sehingga semakin banyak orang yang dapat menikmati kuliner nusantara ini. Selamat berwisata kuliner.

Prof Rhenald Kasali dalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers

Rabu, 17 Desember 2014

Mobil Listrik tidak Benar-benar Ramah Lingkungan




WASHINGTON, DC, (PRLM).- Orang-orang yang memiliki mobil listrik di mana batubara sebagai bahan bakarnya mungkin berpikir mereka telah berkontribusi pada kelestarian lingkungan.
Namun, sebuah studi baru menemukan bahwa kendaraan seperti itu benar-benar membuat udara kotor, dan memperburuk pemanasan global.

Penelitian kontroversial tersebut telah menimbulkan pertanyaan besar atas masa depan mobil-mobil 'hijau'.

"Sayangnya, saat kawat terhubung ke sebuah kendaraan listrik di salah satu ujungnya dan pembangkit listrik tenaga batu bara di ujung lainnya, ada konsekuensi lingkungan yang lebih buruk daripada mengendarai mobil bertenaga bensin normal," kata Ken Caldeira dari Carnegie Institution for Science, yang tidak terlibat dalam penelitian itu tetapi mengapresiasinya.

"Banyak teknologi yang kita anggap sebagai bersih ... tidak lebih baik daripada bensin," kata peneliti Julian Marshall, seorang profesor di Universitas Minnesota.

Kuncinya adalah dari mana sumber listrik mobil 'hijau' tersebut. Jika itu berasal dari batu bara, mobil listrik menghasilkan 3,6 kali lebih banyak jelaga dan asap kematian daripada bensin, menurut studi yang diterbitkan Proceedings of the National Academy of Sciences, baru-baru ini. (Dede Suhaya/A-147)***

Siap-siap, Wisata Gerhana Matahari Total di Indonesia

Selasa, 16 Desember 2014 | 13:38 WIB 


AP PHOTO / The Oklahoman, Sarah Phipps
 Seekor burung terbang dengan latar belakang gerhana matahari parsial di Danau Hefner, Oklahoma City, 23 Oktober 2014.


JAKARTA, KOMPAS.com - Pemburu gerhana bersiap-siap menyambut Gerhana Matahari Total (GMT) yang akan terjadi pada 9 Maret 2016 di Indonesia. Fenomena alam ini sangat jarang terjadi. Sehingga tak heran diburu oleh ilmuwan maupun masyarakat umum.

Wisata gerhana menjadi hal lazim di dunia pariwisata, terutama luar negeri. Ada banyak agen perjalanan wisata yang menawarkan tur gerhana matahari, walaupun masih didominasi agen perjalanan asing.

"Kami mengajak orang Indonesia aware dengan Gerhana Matahari Total 2016. Kami mengundang beberapa daerah yang dilalui seperti Palu, Balikpapan, Bengkulu, Ternate, dan juga Kementerian Pariwisata," ungkap CEO PATA Indonesia Chapter (PIC) Poernomo Siswoprasetijo, pada konferensi pers dan seminar “Discover Indonesia’s Solar Eclipse 2016”, di Jakarta, Selasa (16/12/2014).

GMT diperkirakan dapat disaksikan di sejumlah kota seperti Palembang, Palangkaraya, Palu, dan Halmahera. Kejadian GMT ini diprediksi akan menarik minat bukan saja masyarakat umum melainkan juga masyarakat imilah dari dalam dan luar negeri. Sebab, seperti diungkapkan Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Prof Dr Thomas Djamaluddin pada 24 April 2014 saat mengumumkan GMT yang akan terjadi tersebut, peristiwa langka ini belum dapat disaksikan kembali dalam 40 tahun ke depan. 

KOMPAS.COM/NI LUH MADE PERTIWI F
Seminar nasional 'Discover Indonesia's Solar Eclipse 2016' di Jakarta, Selasa (16/12/2014).



Oleh karena itu, PIC sebagai bagian dari badan pariwisata dunia, melihat GMT sebagai salah satu fenomena yang dapat membantu meningkatkan potensi wisata daerah yang dilalui GMT. PIC bekerja sama dengan pemerintah daerah, industri pariwisata, dan Kementerian Pariwisata untuk mempromosikan wisata GMT tersebut.

"Terakhir GMT tahun 1983. Persiapan pemerintah saat itu tidak siap. Bahkan ada yang dilarang melihat karena nanti takut buta. Jangan sampai itu terjadi lagi tahun ini," kata Direktur Bosscha Observatory Dr Mahasena Putra di kesempatan yang sama.

Mahasena menuturkan sudah banyak agen perjalanan wisata yang menawarkan paket tur GMT 2016 di Indonesia. Tetapi, lanjut Mahasena, agen perjalanan ini umumnya bukan berasal dari Indonesia. Paket tur yang disediakan misalnya kapal pesiar menuju daerah yang dilintasi GMT.

Sebagai gambaran, kembali disebutkan bahwa GMT akan melintas di Palu, Bengkulu, Palembang, Maluku Utara/Ternate, dan Bangka Belitung. Sementara gerhana matahari parsial akan melintasi kota-kota  Pekanbaru, Medan, Padang, Batam, Jakarta, Kupang, dan Manado.

 
AP PHOTO / Seattlepi.com, Joshua Trujillo
Warga menggunakan kacamata pengaman menyaksikan gerhana matahari parsial di High Point Branch, Seattle Public Library, 23 Oktober 2014.




Salah satu daerah yang antusias menyambut GMT adalah Palu. Seperti diungkapkan Poernomo, hotel-hotel di Kota Palu mulai penuh untuk pemesanan saat GMT. Hal ini dikarenakan GMT di Palu diperkirakan dapat disaksikan lebih lama dan lebih total.

"Seperti Jepang booking 55 kamar, dari Amerika booking 260 kamar. Inggris sekitar 75-100 kamar," ungkap Sekretaris Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Palu, Bambang Nugraha.

Pihak lain yang dilibatkan juga PT Pelni yang diharapkan dapat meningkatkan wisata maritim melalui momen GMT ini. Misalnya, kapal bisa dimanfaatkan untuk mengangkut wisatawan menuju daerah yang dilintasi GMT. Juga bisa menjadi hotel terapung. 

Penulis: Ni Luh Made Pertiwi F
Editor : I Made Asdhiana

Sepeda Pintar Bisa Bergetar Sendiri


 
 
 
TNO via BangkokPost
 
Sepeda Pintar yang dikembangkan Toegepast Natuurwetenschappelijk Onderzoek.
 
 
 KOMPAS.com - Sebuah sepeda pintar baru-baru ini diperkenalkan di Belanda. Embel-embel pintar disematkan bukan karena kemampuannya terhubung ke internet, melainkan karena sepeda tersebut bisa mengingatkan pengguna agar waspada terhadap halangan di depannya.

Sepeda pintar tersebut masih berupa purwarupa yang sedang dalam pengembangan. Bentuknya berupa sepeda yang memiliki sensor pada bagian bawah setang dan kamera di mudguard bagian spatbor belakangnya.

Sensor dan kamera tersebut berfungsi sebagai alat pendeteksi yang terhubung ke sebuah komputer. Komputer ini memiliki dua unit sistem getar, pertama diletakkan pada sadel sepeda sementara yang kedua diletakkan pada setang sepeda.

Ketika sensor mendeteksi ada pengendara lain yang mendekat dari belakang, maka sadel akan bergetar. Begitu pula ketika sensor mendeteksi ada penghalang di bagian depan, maka setang yang akan bergetar.

Selain itu, sepeda pintar ini pun dibekali tempat untuk meletakkan tablet di setangnya. Penggunanya pun bukan sekedar bisa meletakkan dan menggunakan tabletnya saat bersepeda.

Tablet itu bisa dihubungkan secara nirkabel lalu berkomunikasi dengan sepeda pintar. Misalnya, tablet yang terhubung dengan sepeda akan mengeluarkan sinyal berupa cahaya terang ketika ada pengendara lain yang mencoba mendahului dari belakang.

Peringatan-peringatan berupa getaran dan cahaya itu bertujuan mengurangi potensi kecelakaan di kalangan pengendara sepeda.

“Kecelakaan kerap terjadi ketika pengendara sepeda menoleh ke belakang atau terkejut saat ada yang mendahului dengan kecepatan tinggi,” papar Maurice Kwakkernaat, salah satu peneliti yang terlibat dalam proyek tersebut, seperti dilansir KompasTekno dari Bangkokpost, Selasa (16/12/2014).

Sepeda pintar ini dikembangkan untuk pemerintah Belanda oleh organisasi riset Toegepast Natuurwetenschappelijk Onderzoek (TNO). Bila dijual secara komersil, kurang lebih dua tahun mendatang, harganya diperkirakan sekira 1.700-3.200 Euro per unit atau sekira Rp 27 juta -Rp 51 juta (dengan nilai tukar 1 Euro = Rp 16.000).
 
Editor: Wicak Hidayat
 

Warga AS Bentuk "The Indonesianist Community"

Rabu, 17 Desember 2014 | 08:45 WIB 


VOA
Warga AS, Chris Crow, pendiri 'the Indonesianist Community' di Washington, D.C.


WASHINGTON, KOMPAS.COM - Tinggal di Indonesia telah menjadi sebuah pengalaman yang tidak terlupakan bagi kebanyakan warga Amerika Serikat. Salah satunya adalah Chris Crow yang saat ini tinggal di Washington DC dan bekerja di universitas John Hopkins.

Tinggal di Indonesia selama tiga tahun dan pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Amerika untuk mengajar bahasa Inggris selama satu tahun di sebuah SMA negeri di desa Paperu, Maluku telah memperkuat ikatan warga AS, Chris Crow, dengan Indonesia.

Inilah yang membuatnya tertarik untuk bergabung dengan 'the Indonesianist Community' dan akhirnya menjadi ketua dari klub perkumpulan warga internasional yang memiliki ketertarikan terhadap Indonesia ini. Hingga kini anggota dari milis the Indonesianist Community sudah mencapai sekitar 160 orang.

“(Organisasi) itu dibangun oleh teman saya, namanya Brian Kraft. Dia sekarang sudah pindah ke Jakarta lagi. Dia kerja di sana sebagai konsultan,” papar Chris kepada VOA Indonesia dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih.

Klub ini berdiri karena banyaknya warga di sekitar Washington DC, baik warga AS mau pun internasional yang tertarik dengan Indonesia, baik dari segi politik, bahasa, atau pun hal lainnya. “Jadi (Brian) membuat klub ini supaya mereka bisa berkumpul, ngobrol, dan saling kenal. Juga untuk menyebar kesadaran tentang Indonesia di Washington DC dan di Amerika,” ujar Chris.

Kegiatan dari the Indonesianist Community ini juga sangat beragam. Namun yang paling populer adalah klub bahasa. “Itu sekitar 15 orang yang tertarik belajar bahasa Indonesia dan mereka berkumpul setiap minggu,” jelas Chris.

Pertemuan untuk klub bahasa ini biasanya dilakukan di restoran di daerah Washington, DC di mana para anggota yang hadir datang untuk melatih kemampuan bahasa Indonesia mereka. “Baik orang yang baru mulai, mau pun yang sudah cukup lancar,” lanjut Chris.

Selain klub bahasa, the Indonesianist Community juga kerap kali mengadakan seminar yang menghadirkan pembicara yang memiliki hubungan dengan Indonesia. Biasanya para tamu yang hadir adalah profesional yang memiliki hubungan kerja dengan Indonesia. “Misalnya dari kementerian luar negeri Amerika atau dari Think Thank, NGO (Non-Governmental Organizations), kan di Indonesia ada banyak,” jelas Chris.

Pengalaman Tinggal di Indonesia

Mengenai pengalamannya tinggal di Indonesia, khususnya di Maluku, Chris mengaku sangat senang. “Pantainya sangat indah dan airnya bersih dan jernih. Bisa lihat jauh (ke) dalam air, bisa snorkeling, berenang dan juga ada goa yang bisa dijelajahi,” papar pria penggemar soto betawi dan minuman bandrek ini. “Banyak kegiatan yang menarik, khususnya kegiatan yang berkaitan dengan alam,” lanjutnya.

Chris juga sangat menikmati interaksinya dengan warga setempat, bahkan selama mengajar di Maluku, ia tinggal bersama keluarga lokal. “Di sana orangnya juga sangat ramah. Saya senang sekali tinggal setahun di sana,” kenang mantan kontestan Asing Star di Indonesia ini.

Selama di Indonesia, Chris sudah pernah berkunjung ke berbagai tempat seperti Yogyakarta, Lombok, Makassar, Surabaya, Bandung, Bogor, dan Jakarta. Sedikit mengherankan ketika mengetahui bahwa Chris belum pernah berkunjung ke Bali, yang sering menjadi tujuan wisata pertama warga internasional. “Tiga tahun di Indonesia belum ke Bali,” kata Chris sambil tertawa. “Saya kurang tertarik sama tempat yang turis banget kayak gitu ya. Rasanya mungkin kayak Australia kadang-kadang,” lanjutnya.

Di antara semua tempat, ibu kota Jakarta menjadi favoritnya. “Di Jakarta saya betah sekali. Itu gara-gara komunitasnya. Orang-orang di Jakarta sangat ramah kayak di seluruh Indonesia, tapi di Jakarta lebih banyak orangnya dan lebih bermacam-macam,” papar pria yang hobi naik ojek untuk menghindari kemacetan Jakarta bersama Gebong, tukang ojek langganannya.

Lagi-lagi Chris mengungkapkan kekagumannya terhadap orang-orang Indonesia. “Orang Indonesia menurut saya paling ramah di dunia. Benar-benar luar biasa,” kata Chris.

Kepada teman-teman di Indonesia, Chris sempat berbagi tips kepada mereka yang ingin belajar Bahasa Inggris. “Kalau kalian ingin belajar bahasa Inggris coba aja datang ke tempat yang banyak bule supaya bisa latihan, karena kalo nggak berani latihan pasti nggak belajar,” papar Chris menutup wawancara dengan VOA.



Editor : Egidius Patnistik
Sumber: VOAINDONESIA