Senin, 12 Januari 2015

Inilah Foto-foto Komet Lovejoy Hasil Jepretan Astronom Amatir Indonesia

Senin, 12 Januari 2015 | 13:59 WIB

Danang D. Saputra

Komet Lovejoy yang diabadikan Danang D Saputra dari markas Jogja Astro Club di Yogyakarta pada sabtu (10/1/2014).


KOMPAS.com — Polusi cahaya dan tutupan awan menjadi kendala utama saat harus mengabadikan obyek antariksa yang relatif redup seperti komet Lovejoy. Sejumlah astronom amatir Tanah Air beruntung bisa mengabadikan lawatan sekali seumur hidup komet tersebut.

Salah satu yang berhasil mengabadikan adalah Muhammad Rayhan dari Himpunan Astronom Amatir Jakarta. Ia membidik Lovejoy pada Rabu (7/1/2015) lalu dari Planetarium Jakarta sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Lovejoy tampak sebagai titik dengan pendaran hijau.

Muhammad Reyhan

Komet Lovejoy diabadikan dari Planetarium Jakarta pada Rbu (7/1/2015) lalu. Nikon D5100, AF Nikkor 70-300mm f/4-5.6G, Vixen Polarie. 16x30sec, ISO 500, 300mm f/5.6. Darks, Flat, Bias applied in DSS, LR & PS6.


Dari Yogyakarta, astronom amatir Danang D Saputra dari Jogja Astro Club berhasil mengabadikan Lovejoy dua kali. Satu foto dihasilkan dengan kamera dan teleskop, sementara yang lain dihasilkan hanya dengan kamera.

Foto hasil jepretan dengan teleskop adalah hasil pengamatan di markas Jogja Astro Club pada Sabtu (10/1/2015). Sementara foto hasil jepretan kamera saja dihasilkan lewat pengamatan dari rumah Danang di Polowidi, Yogyakarta, pada hari yang sama.

Danang D. Saputra

Komet Lovejoy yang diabadikan Danang D Saputra dari wilayah Polowidi, Yogyakarta, pada Sabtu (10/1/2014).

Di Bandung, Muflih Arisa Adnan mengabadikan komet Lovejoy dari observatorium Imah Noong di Lembang, Bandung, pada 14 Desember 2014 lalu. Muflih memotret dengan kamera Nikon D5100 yang dipasang ke teleskop Explore Scientific Triplet Appo.

Muflih Arisa Adnan

Komet Lovejoy yang diabadikan Muflih Arisa Adnan dari Imah Noong, Lembang, Bandung, pada 14 Desember 2014 lalu.

Terakhir, astronom amatir Juned mengabadikan Lovejoy dari Tangerang Selatan pada Sabtu minggu lalu. Juned mengabadikan Lovejoy yang tampak sebagai titik hijau bersamaan dengan bintang Aldebaran yang menyala merah. Lovejoy diabadikan hanya dengan kamera DSLR.

Juned

Penampakan komet Lovejoy yang diabadikan pada Sabtu (10/1/2015) dari Imah Noong, Lembang, Bandung.

Seluruh warga Indonesia berpeluang untuk menyaksikan dan mengabadikan komet Lovejoy. Hingga 4 hari ke depan, Lovejoy akan berada di rasi Taurus. Lovejoy akan menyala hijau, lebih terang dari benda langit lain di rasi itu.

Cara paling mudah mencari Lovejoy adalah menghadapkan kamera ke utara, kemudian mengarahkannya ke atas sekitar 85 derajat. Lovejoy akan berada dalam pandangan mata ketika melihat ke arah tersebut.

Komet Lovejoy ditemukan astronom amatir Australia, Terry Lovejoy, pada 17 Agustus 2014 lewat pengamatan dengan teleskop 0,2 meter Schmidt–Cassegrain. Lovejoy punya nama asli C/2014 Q2, tetapi lebih sering disebut Lovejoy, sesuai nama penemunya.

Terry Lovejoy sendiri sudah menemukan lima komet, salah satunya C/2011 W3, yang juga disebut komet Lovejoy. Penampakan C/2014 Q2 Lovejoy adalah fenomena sekali seumur hidup. Setelah saat ini, komet itu baru akan tampak 8.000 tahun lagi. Jangan lewatkan!

Editor: Yunanto Wiji Utomo

Jumat, 09 Januari 2015

Djoko Tjahjono Iskandar, Ahli Katak Indonesia yang Bikin Geger Dunia

Kamis, 8 Januari 2015 | 20:00 WIB


Zootaxa/PLOSONE/KOMPAS

Djoko Tjahjono Iskandar bersama dua spesies temuannya yang menggegerkan dunia, Barbourula kalimantanensis (kiri atas) dan Limnonectes larvaepartus (kiri bawah)

KOMPAS.com — Ketika publikasi berjudul "A Novel Reproductive Mode in Frogs: A New Species of Fanged Frog with Internal Fertilization and Birth of Tadpoles" muncul di jurnal PLOS ONEpada 31 Desember 2014 lalu, dunia terkejut.

Media sains dan umum di dunia internasional ramai mengutip publikasi tersebut. Sejumlah pakar reptil dan amfibi dunia menyatakan bahwa publikasi tersebut mengagumkan sekaligus sangat berharga.

Makalah memuat penemuan spesies baru katak bertaring Sulawesi, Limnonectes larvaepartus. Bukan cuma kebaruan jenis yang membuat dunia terkejut, melainkan juga kebaruan reproduksinya. Katak itu merupakan satu-satunya katak di dunia yang melahirkan kecebong.

Dunia bertanya-tanya, bagaimana bisa katak yang tak memiliki penis melakukan pembuahan di dalam tubuh? Bagaimana caranya menyetor sperma ke betina? Lalu, bagaimana mungkin katak tak bertelur, tetapi langsung melahirkan kecebong?

Djoko Tjahjono Iskandar adalah herpetolog (pakar amfibi dan reptil) di balik penemuan katak itu. Dia adalah ilmuwan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berkali-kali membuat geger dunia sains lewat temuan-temuannya.

Pria kelahiran Bandung, 23 Agustus 1950, tersebut memulai karier sebagai herpetolog pada tahun 1978. Pilihannya menekuni katak dan reptil sangat tidak populer. "Waktu itu belum ada ahli katak di Indonesia. Saya satu-satunya. Bisa dibilang saya pioneer," katanya.

Untuk menekuni katak-katak Indonesia, dia harus belajar dari ahli dari luar negeri. Ia berkorespondensi lewat surat, salah satunya dengan Robert Frederick Inger, ahli katak dan reptil dari Field Museum yang juga banyak mempelajari keanekaragaman hayati Indonesia.

Ketekunan Djoko membuahkan hasil. Hanya tiga tahun setelah memulai kariernya, pria yang meraih gelar doktor dari Université Montpellier 2 di Montpellier Perancis ini menemukan Barbourula kalimantanensis, katak famili Discoglossidae pertama yang ditemukan di Borneo.

Tahun 2008, ia kembali meneliti Barbourula kalimantanensis. Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Current Biology pada 6 Mei 2008 mengungkap fakta baru. Katak kepala pipih itu ternyata tidak punya paru-paru.

"Waktu itu geger juga. Jenis itu adalah satu-satunya katak di dunia yang tidak memiliki paru-paru, bernapasnya dengan kulit," ungkap Djoko yang mengaku menemukan jenis katak itu di Sungai Pinoh, bagian dari Kapuas, Kalimantan Barat.

Studi kemudian mengungkap bahwa populasi Barbourula kalimantanensis sangat minim. International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan bahwa spesies tersebut terancam punah pada 3 Juni 2013.

Selain Barbourula kalimantanensis, penemuan spektakuler Djoko lain adalah Cyrtodactylus batik. Spesies itu adalah cicak jari bengkok yang ditemukan di Gunung Tompotika, wilayah Sulawesi Tengah.

"Coraknya memang seperti batik," kata Djoko. Ia menyebutnya sebagai spesies cicak tercantik yang pernah ditemukan. Penemuan ini dipublikasikan di jurnal Zootaxa pada 29 April 2011. 

Malang melintang dalam dunia ilmu katak dan reptil, Djoko telah menjelajahi hutan di sebagian besar wilayah Indonesia. "Saya sudah ke 30 provinsi, tinggal dua yang belum, Bangka Belitung dan Maluku Utara," ujarnya.

Sepanjang kariernya, ia telah menemukan 30 spesies katak dan reptil. Beberapa spesies menggunakan namanya, sepertiLuperosaurus iskandari, Fejervarya iskandari, Collocasiomya iskandari, dan Draco iskandari.

Djoko mengungkapkan, sebenarnya banyak spesimen yang belum bisa diidentifikasi. "Saya sudah temukan 30, tetapi masih ada sekitar 150 yang belum bisa saya ungkap," katanya yang pernah menerima penghargaan Habibie Awards ini.

Alasan belum bisa terungkap, kata Djoko, adalah spesimen yang belum lengkap jantan dan betinanya serta adanya spesimen yang rusak. Jika spesimen minim, pernyataan kebaruan jenis dapat dengan mudah dibantah sebagai hanya variasi.

Usia Djoko kini sudah menginjak 64 tahun. Penjelajahan ke hutan-hutan baginya tetap merupakan kegiatan paling menyenangkan, tetapi tak lagi semudah sewaktu dia masih muda dahulu. 

Meski demikian, ia mengatakan bahwa menjadi tua bukan alasan untuk tidak masuk ke hutan. Tahun lalu, saat penjelajahan ke Sulawesi mengungkap spesies Limnonectes larvaepartus, ia tinggal satu bulan di hutan.

Menjelajah hutan saat usia tua, lutut Djoko sering bengkak dan butuh waktu lama untuk pulih. Secara bercanda, dia mengungkapkan, "Mungkin nanti kalau ke hutan tidak perlu satu bulan lagi, cukup satu minggu."

Dengan banyaknya spesies yang belum terungkap, baik dalam koleksi maupun di alam, Djoko berharap ada lebih banyak orang yang menaruh perhatian pada katak dan reptil. Walaupun, mempelajarinya tak akan banyak mendatangkan manfaat ekonomi segera.

Menurut dia, saat ini sudah muncul beberapa pakar katak dan repril berpotensi. Namun, ia mengatakan, perlu lebih banyak remaja yang tertarik untuk menjadi penerusnya. "Saya kan tidak mau jadi raja sendiri, perlu musuh, butuh orang yang bisa membantah saya," ucapnya.

Mempelajari keanekaragaman hayati, kata Djoko, akan membuat siapa pun sebagai warga negara merasa puas karena diakui sekaligus bangga karena telah peduli pada alam Indonesia yang mahakaya.


Apa sebenarnya yang dimaksud dengan katak yang melahirkan? Apakah pengertiannya sama dengan manusia yang melahirkan bayi? Seperti apa pula kekhasan Limnonectes larvaepartus?
Baca di tautan berikut:

Katak Baru dari Sulawesi Mengejutkan Dunia karena Bisa Melahirkan
Penemuan Limnonectes larvaepartus bukan lewat proses satu dua hari. Butuh ketekunan mengamati dan ketangguhan ketika menjelajahi  hutan selama hampir dua dekade untuk mengonfirmasinya sebagai spesies baru. Baca kisahnya di tautan berikut.


Editor: Yunanto Wiji Utomo