Senin, 22 September 2008

Permodalan dan Pengalaman Jadi Kendala

TV Lokal Masih "Terlokalkan"

 
SUASANA pengambilan gambar berita berbahasa Sunda di studio Bandung TV, salah satu stasiun TV lokal Bandung, di Jln. Pacuan Kuda Arcamanik Kota Bandung, Kamis (11/9). Stasiun TV lokal banyak menghadirkan acara khas daerah asal sehingga melalui program tersebut budaya daerah lebih tergali dan diharapkan mampu bersaing dengan stasiun nasional..* ADE BAYU INDRA


Hadir dengan semangat dan nilai-nilai daerah, stasiun televisi (TV) swasta lokal sekarang ini masih juga "terlokalkan". Meski secara psikologis stasiun TV lokal lebih akrab dengan pemirsanya, pamornya masih kalah saing dengan stasiun televisi nasional. Lihat saja, walau jumlah TV lokal di Jawa Barat (Jabar), misalnya, lebih banyak daripada jumlah TV nasional yang sekitar 11 saluran, masyarakat lebih memilih salah satu dari 11 itu. 

Jika ditelusuri, penyebabnya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, daya saing TV lokal dan nasional. Kedua, kebijakan pemerintah yang masih berpihak kepada TV nasional. 

Wakil Kelompok Kerja Infokom Pusat sekaligus anggota Komisi I DPR RI Dedy Jamaludin Malik mengatakan, kehadiran TV lokal sangat dinanti karena pada dasarnya prinsip penyiaran harus sesuai dengan nilai-nilai dan tren setempat. Namun, TV lokal sekarang ini masih kurang bisa memberikan tayangan yang lebih menarik. Tayangannya terkesan monoton dan sedikit sentuhan kreativitas sehingga pemirsa lebih memilih TV nasional yang tayangannya variatif. 

Pengalaman dan modal, mau tak mau, harus diakui sebagai indikator daya saing yang menentukan kualitas dan kuantitas tayangan TV. Stasiun TV nasional dengan segudang pengalaman dan didukung faktor keberadaannya yang lebih awal, mampu mencium isu dan menyuguhkannya dengan gaya penyajian yang baik. Sementara dengan keterbatasannya, TV lokal masih berusaha membangun pengalaman itu. 

Sebenarnya, tak perlu pesimistis melihat kondisi itu. Pasalnya, SDM Kota Bandung khususnya dan Jabar umumnya merupakan insan kreatif yang mampu mengubah sesuatu yang awalnya terkesan tidak menarik menjadi dilirik orang. 

Guru Besar Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) Deddy Mulyana mengatakan, dari sisi tayangan yang dibutuhkan TV lokal adalah pencarian dan pengemasan ide yang baik meski dengan pengalaman terbatas. 

Sesuatu yang kecil, menurut Deddy, bisa menjadi tayangan menarik jika dikemas dengan baik. "Bidang pariwisata misalnya, buat tentang proses panen atau terjadinya beras. Atau juga pembuatan payung Tasikmalaya. McDonalds itu sebenarnya kan biasa saja. Tetapi karena dikonstruksikan oleh media, maka memiliki makna simbolik," tuturnya. 

**

Berkaitan erat dengan pengalaman, ketersediaan modal juga merupakan faktor penentu. Masalah modal sering menjadi kendala terbesar TV lokal terutama pada masa uji coba (satu tahun) setelah mendapat izin untuk siaran, baik dalam bentuk izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) atau rekomendasi kelayakan. 

Selama setahun itu, TV lokal tak boleh beriklan komersial. Hal tersebut tertuang dalam pasal 7 ayat (5) Peraturan Pemerintah (PP) No. 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta yang berbunyi sebagai berikut: "Selama masa uji coba siaran Lembaga Penyiaran Swasta tidak boleh: a. menyelenggarakan siaran iklan, kecuali siaran iklan layanan masyarakat; b. memungut biaya yang berkenaan dengan penyelenggaraan penyiaran."

Perlindungan yang kuat atas TV nasional terasa kental dengan PP tersebut. Sudah mempunyai modal dan pemasukan besar, TV nasional dipayungi PP yang "melemahkan" TV lokal. TV nasional tak sempat mengecap aturan tersebut karena kehadirannya yang lebih dahulu daripada berlakunya aturan tersebut. 

Sekretaris Direksi Manajemen Qalbu TV (MQTV) Ade Wartono mengungkapkan, meski MQTV sudah melalui masa uji coba, masalah keuangan masih membelit manajemen stasiun TV itu. Hal itu berimbas pada waktu siaran MQTV yang hanya 12 jam dalam sehari. Komposisi siarannya pun "terganggu" karena MQTV hanya mampu menyajikan 20% tayangan baru, sementara 80%-nya merupakan tayangan lama. 

"Memang harus didukung dengan modal yang kuat. Paling tidak harus tersedia Rp 25 miliar. Angka itu belum termasuk gedung," tutur Ade. 

Sebenarnya selama setahun itu, iklan dapat membantu menyokong keuangan perusahaan. Ade mengatakan, pemasukan dari iklan bisa mencapai Rp 10 juta-12 juta/bulan. Oleh karena itu, stasiun TV lokal mengaku berat atas aturan itu. Pemimpin Redaksi Bandung TV Ustiarsa pun mengatakan tak setuju atas aturan tersebut. 

Dengan aturan tersebut, tak heran jika ada stasiun televisi lokal yang harus "mati sebelum berkembang". Deddy Mulyana mengatakan, pemerintah tak seharusnya melarang beriklan bagi stasiun TV. "Yang seharusnya diatur adalah iklan seperti apa yang boleh ditayangkan," ujar dia.

Sementara itu, posisi TV lokal yang saat ini masih termarginalkan juga didukung kekurangberpihakan pemerintah pusat. Selama TV nasional masih diperbolehkan mengudara, TV lokal masih harus berjuang keras menghadapi gempuran TV nasional. 

Selama ini pemerintah pusat dinilai memberikan privillage (keistimewaan) kepada TV nasional berupa jaringan luas ke pelosok Nusantara. Hal itu menyebabkan iklan nasional maupun lokal tersedot ke TV nasional. 

"Hal itu sangat berat bagi TV lokal. Harus ada political will untuk memayungi TV lokal agar dapat bersaing sehat," ujar Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jabar Dadang Rahmat Hidayat. 

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mencapai prinsip Undang-Undang No. 32/ 2002 tentang Penyiaran yaitu diversity of content (keberagaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan), konsep TV lokal berjaring akan segera diberlakukan mulai 28 Desember 2009 setelah ditunda sejak dua tahun sebelumnya.

**

JAKARTA sentris, seperti itulah kebanyakan tayangan di televisi swasta nasional. Tak banyak budaya dan gaya hidup daerah yang tergali melalui televisi nasional. 

Dengan adanya TV lokal, sebenarnya masyarakat dae-rah diuntungkan. Pertama, TV lokal berperan sebagai filter atas budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai daerah. Pada saat bersamaan, budaya daerah juga memperoleh ruang untuk dilestarikan.

Sayangnya, masyarakat kita sendiri juga cenderung sudah terkontaminasi oleh tayangan yang Jakartasentris itu. (Amaliya)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar