Rabu, 28 Mei 2008

"Palimanan’s Stone" Simbol Kemapanan


PEKERJA memotong bongkahan batu di Palimanan, Kab. Cirebon, beberapa waktu lalu. Batu yang berasal dari Gunung Petot dan Gunung Kuda itu dibentuk oleh warga Palimanan untuk dijadikan pelapis dinding.* TITIN/MD


KETINGGIAN Gunung Petot Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon dan Gunung Kuda yang berada di perbatasan Desa Bobos Kecamatan Dukuh Puntang Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka, melambangkan kuasa mahadahsyat dari sang pencipta. Potensi alam yang telah memberikan lahan hidup bagi masyarakat sekitar. Bahkan, lebih dari tiga kecamatan dan puluhan ribu jiwa secara nyata menggantungkan hidupnya dari ketinggian Gunung Petot dan Gunung Kuda.

Kondisi ini seakan lebih mempertegas betapa Tuhan yang Maha Kuasa telah menciptakan alam dengan segala kemudahan yang dapat dinikmati manusia. Pastinya ada dampak luar biasa bagi masyarakat sekitar khususnya dan penduduk Kabupaten Cirebon umumnya.

Di wilayah ini, aktivitas menggali, mengangkut, memahat, bahkan mengubah ke dalam bentuk yang beragam menjadi pemandangan sehari-hari. Tak hanya orang tua dan dewasa. Kerap kali anak-anak terlibat dalam aktivitas orang tua. Hasil penggalian yang semula hanya berupa bongkahan batu besar dan kasar. Tertata indah dalam berbagai ukuran, setelah berada di tangan-tangan penduduk sekitar. Lewat kekuatan tangan dan bantuan mesin pemotong, bongkahan batu itu diubah menjadi kepingan-kepingan dengan panjang x lebar 20 x 10 cm, 30 x 30 cm, 5 x 10 cm atau bentuk-bentuk lain sesuai pesanan konsumen yang fungsinya sebagai pelapis dinding.

Kepingan itulah yang kerap tertata dalam lingkungan rumah, baik eksterior maupun interior. Kepingan ini pula yang kerap digunakan para arsitek untuk mempercantik bangunan, tak hanya perumahan namun juga gedung-gedung bertingkat untuk kepentingan bisnis. Mereka kerap menyebutnya sebagai batu alam Palimanan. Warnanya yang kuning kecoklatan dengan motif menarik, menjadikan batu Palimanan sebagai alternatif di samping beragam jenis batu dari wilayah lain.

Bagaimanakah perjalanan batu Palimanan sebelum sampai ke depan gedung bertingkat? Bongkahan batu berwarna kuning kecoklatan biasanya dibeli para pengusaha batu alam dari pemegang hak gali Gunung Petot atau Gunung Kuda. Bongkahan batu Palimanan, menurut Ibu Munaji yang telah menjadi pengusaha batu sejak sepuluh tahun lalu, dibeli seharga Rp 600.000,00 per kubik. Jumlah itu sudah termasuk ongkos dan tenaga angkut.

Bongkahan batu besar inilah yang akhirnya ditangani penduduk Palimanan dan Dukuh Puntang, dikenal sebagai perajin batu. Bagi penduduk di sekitar Dukuh Puntang dan Palimanan, pekerjaan sebagai penggali dan perajin batu menjadi sebuah simbol dari padatnya aktivitas sehari-hari. Lantaran tidak akan pernah ada kata berhenti bekerja. Tidak akan ada pernah istilah kehabisan pekerjaan di tempat ini. Kecuali bagi orang-orang yang memang sangat malas.

Seperti dijelaskan Kepala Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Hj. Susana, S.H. potensi alam yang dimiliki berdampak luar biasa bagi Kecamatan Palimanan. Meskipun keberadaan gunung batu termasuk dalam Kecamatan Gempol, namun karena sebagian besar warga Palimanan bekerja sebagai perajin batu, pada akhirnya masyarakat sekitar dan dari luar Cirebon lebih mengenalnya sebagai batu Palimanan. Kawasan ini pula yang akhirnya disebut "Palimanan’s Stone".

Potensi sangat luar biasa inilah yang berdampak terhadap peningkatan sumber daya masyarakatnya. Bagaimana tidak? Nyaris semua roda kehidupan berjalan di wilayah ini, mulai penggalian batu, pertanian, perdagangan dan sektor usaha lainnya. Potensi dan keinginan keras masyarakatnya melahirkan kemapanan hidup bagi sekelilingnya.

Contoh konkretnya, dari jumlah penduduk Desa Kepuh Kecamatan Palimanan sekitar 4.767 jiwa. Sekitar 50 % bermata pencaharian pengusaha batu alam, pedagang batu, tenaga kasar di penggalian batu alam, serta perajin batu alam. Peringkat selanjutnya bermata pencaharian di bidang pertanian, dan perdagangan kebutuhan pokok.

**

Meskipun Susana mengakui potensi alam yang dimiliki berdampak pada lahirnya para pekerja dengan sebutan perajin batu. Namun sayangnya, kekuatan para perajin, baru sebagai pengubah bongkahan batu menjadi kepingan batu dengan ukuran yang telah ditentukan atau sesuai pesanan. "Sayangnya baru sebatas itu. Para perajin batu Palimanan baru memiliki kemampuan untuk mengubah batu bongkahan agar pantas dijadikan hiasan bangunan eksterior maupun interior. Para perajin belum mampu membuat batu bongkahan itu menjadi cendera mata menarik yang juga bisa dipajang di atas meja. Mungkin kondisi ini dapat terjadi apabila diberikan pelatihan dan pembinaan dari pihak terkait. Sehingga mereka bukan saja sebagai perajin batu. Namun juga menciptakan satu karya seni," ucapnya.

Keterbatasan berkreasi nyatanya bukan satu-satunya masalah yang dihadapi para perajin batu. Sebut saja pengusaha batu yang sejak awal membeli bongkahan batu dengan tunai. Satu kubik seharga Rp 450.000,00, setelah melalui proses pengangkutan angkanya sampai pada kisaran Rp 600.000,00. Dari jumlah itu bisa menghasilkan sekitar 200 meter batu siap pakai. Artinya, sudah dalam bentuk batu pipih ukuran tertentu bisa 30 x 30 cm, atau bentuk lain yang biasa beredar di pasaran. Bila dikalkulasikan dari biaya bahan baku dan angkutan Rp 600.000,00. Setelah dijual dalam bentuk siap pakai hanya berkisar Rp 40.000,00 sampai Rp 50.000,00 per meter. Artinya, bila beruntung, pengusaha mendapat selisih sekitar Rp 400.000,00 setelah laku terjual. Itu pun belum dihitung adanya upah untuk perajin.

"Usaha seperti ini sebenarnya memiliki keuntungan yang tipis. Apalagi jika pasarnya hanya pasar lokal. Tetapi, karena saya penduduk sini dan usaha yang bisa dilakukan hanya batu, ya sudah dilakoni saja," tutur Ibu Munaji pengusaha batu Palimanan dari Desa Punduan Kecamatan Dukuh Puntang.

Sementara Susana sebagai Kepala Desa Kepuh, justru tidak hanya melihat minimnya selisih yang diterima pengusaha. Ia malah membidik persoalan lain. Ternyata, urusannya bukan sekadar selisih yang minim. Saat membeli bongkohan batu pengusaha lokal harus membelinya dengan cara tunai. Nyatanya setelah melalui proses menjadi lempengan batu Palimanan pipih, para pembeli tidak membayar secara tunai dengan alasan mereka bertindak sebagai distributor. Barang baru dibayar setelah laku terjual. Menyedihkannya lagi bila pembelinya dari luar kota Cirebon--sebut saja buyer. "Mereka mau membayar setelah barang tiba di tempat, itu pun kalau tidak ada masalah dan benar-benar sesuai dengan pesanan. Kondisi permainan marketing seperti ini sangat merugikan pengusaha batu," tutur Susana.

Sebagai kepala desa ia justru berharap adanya bimbingan bagi para pengusaha untuk bisa bermain di pasaran, dan tidak melulu para pengusaha lokal yang dipermainkan oleh pasar. Diakui Susana, ia melihat masyarakat yang melakukan usaha di bidang batu alam, lebih banyak yang mempergunakan cara pemasaran tradisional. Meskipun ada beberapa mengusaha yang mampu meraih pasar di luar pulau Jawa.

Seperti dilakukan Harna, pengusaha batu dari Desa Bobos Kecamatan Dukuh Puntang, ia mengaku sengaja membuat batu Palimanan dalam berbagai ukuran. Bahkan, ukuran yang terpajang di tempatnya tidak lazim dan jarang dijajakan pengusaha lain. "Saya memenuhi permintaan dari Bali. Semua batu yang telah disiapkan dikirim ke Bali. Di sana harganya lebih bagus, daripada saya bermain di pasar lokal," tutur Harna.

Menurut Harna, meskipun ia telah memiliki pasar tersendiri, bukan berarti ia bisa semaunya memenuhi pesanan mereka. "Lantaran dikirim ke Bali, biasanya mereka mengubah bentuk bukan sekadar batu pipih, namun diukir lagi menurut selera yang mereka inginkan. Karena adanya perubahan itu saya harus memilihkan batu yang lebih keras. Biasanya saya pasok dari Gunung Batu Kuda, karena lebih kuat daripada bebatuan dari Gunung Petot. Hanya untuk corak memang lebih bagus dari Gunung Petot," tutur Harna.

Pengusaha batu yang bermain di pasar lokal, atau pengusaha yang mampu meraih pasar di luar Pulau Jawa, tetap saja mengakui keberadaan Gunung Kuda dan Gunung Petot menjadi lahan yang memberikan rezeki berlimpah bagi masyarakat sekitar. "Luar biasa meskipun kita tergolong orang desa, namun diberi anugerah yang berlimpah dengan potensi alam yang kami miliki," ucapnya. Ini memang sebuah anugerah. Anugerah yang tidak dimiliki daerah lain, termasuk tidak dimiliki Kecamatan lain sekalipun dalam lingkup Kabupaten Cirebon. Setidaknya "Palimanan’s Stone" ibarat simbol dari kemapanan masyarakatnya. (Suherlan/"PR"/Titin/"MD")***

2 komentar:

  1. Assalamualaikum Kang......... salam kenal. Mohon ijin tulisan lama anda untuk saya share kan di blog saya http://ajipurwo.blogspot.com
    Ngomong-ngomong wis balik ning cherbon ta masih ning bandung?.
    Salam Aji

    BalasHapus