Sabtu, 09 Agustus 2008

Bisnis Abadi Momentum Sakral

Oleh Gregorius Magnus Finesso

Usaha di bidang dokumentasi pernikahan merupakan bisnis abadi. Setiap pasangan menginginkan momen pernikahannya berkesan. Undangan pun dibuat seunik mungkin.

Sejak awal, Novita (28) berharap pernikahannya menjadi sesuatu yang unik dan berbeda dari yang lain. Jauh sebelum prosesi pernikahan, karyawati swasta sebuah televisi nasional ini telah merencanakan konsep pernikahan bersama calon pasangannya, Yohannes Adji Nugroho (29).

"Saya ingin konsep berbeda. Saya dan calon suami sepakat membuat undangan berupa majalah berukuran setengah A4 berjudul The Wedding. Isinya memuat artikel romantis dan kisah perjalanan hidup kami selama pacaran tiga tahun," tutur Novita, Jumat (8/8).

Meski harus mengeluarkan biaya Rp 8 juta untuk 600 cetak-an undangan, ia tidak merasa rugi. Baginya, momen pernikahan itu sekali seumur hidup. Untuk dokumentasi foto prapernikahan, Novita dan Adji mengeluarkan dana sekitar Rp 12 juta. Jika ditambah biaya foto prosesi pernikahan, mereka harus merogok kocek hingga Rp 20 juta. "Booming"

Pemilik Farrel Desain, Nugi Mohammad Nugraha, mengatakan, bisnis cetak undangan pernikahan mulai booming sekitar tahun 2004. Sebelumnya, cetak undangan terbatas pada bentuk-bentuk konvensional.

"Sudah tiga tahun terakhir, banyak orang mulai ingin mengabadikan kartu undangan seunik mungkin. Kami sengaja memberikan fasilitas dan kebebasan bagi klien supaya mereka dapat mengekspresikan karakter mereka," kata pria yang memulai bisnis percetakan sejak tahun 2001 ini.

Nugi terjun ke bisnis cetak undangan karena coba-coba. Pada awalnya, mesin cetak yang dimilikinya dipergunakan untuk mencetak keperluan kantor. Semula ia membuat undangan untuk pernikahan saudara. "Iseng-iseng, kami membuat sendiri undangan untuk pernikahan mereka sekreatif mungkin. Ternyata, respons masyarakat sangat bagus. Akhirnya, saya memutuskan beralih ke bisnis undangan kreatif," tutur Nugi.

Harga yang ditawarkan Farrel Desain beragam, dari Rp 3.500 hingga Rp 30.000 per buah. Nominal harga bergantung dari tingkat kesulitan pembuatan kartu, bahan dasar kartu, dan jumlah cetakan. Semakin banyak jumlah undangan, biaya cetak semakin murah.

Menurut Nugi, bisnis cetak sangat mengandalkan kreativitas. Oleh karena itu, ia selalu mendorong calon pengantin untuk membuat undangan pernikahan yang berbeda.

Setiap bulan, rata-rata ia menerima 30-50 order. Ia membatasi jumlah order per bulan hingga 50 pesanan untuk mengoptimalkan hasil. Usahanya kini beromzet rata-rata Rp 100 juta per bulan.

Lain lagi dengan Yustina (39), pemilik Golden Art, salah satu bisnis undangan blangko di sentra cetak undangan di kompleks Astana Anyar-Pagersih. Usaha yang dikembangkannya punya pasar tersendiri. "Pangsa pasar kami dari kalangan menengah ke bawah. Jadi, meskipun dari sisi nominal tidak seberapa, ordernya banyak," kata Yustina yang memulai bisnis sejak 2007.

Undangan jenis blangko lebih sederhana dari sisi pengerjaan. Pelanggan hanya perlu memilih model dan jenis undangan yang telah disediakan. Harga yang dipatok untuk undangan blangko berkisar Rp 1.000-Rp 10.000 per buah.

Yustina mengaku, bisnis yang dijalaninya memang tidak semewah usaha undangan kreatif. Omzet usaha Yustina per bulan bahkan belum mencapai Rp 15 juta. Namun, ia optimistis usahanya prospektif. "Kebanyakan orang pasti menikah. Dan, tidak semua orang memiliki uang untuk membuat undangan pernikahan yang mahal," katanya.

Foto prapernikahan

Selaras dengan bisnis cetak undangan, usaha foto pernikahan juga semakin semarak saat kemasan-kemasan foto prapernikahan (prewedding) banyak dilirik calon pasangan yang akan menikah. Sugeng, salah satu fotografer Ilalang Fotografi, mengatakan, paket yang ditawarkan untuk prewedding berkisar Rp 9 juta-Rp 35 juta. "Fasilitas yang kami tawarkan juga bermacam-macam, tergantung paket yang dipilih pelanggan," katanya.

Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung Setiawan Sabana mengungkapkan, perkembangan tren undangan dan foto pernikahan menunjukkan budaya eksistensialisme di tengah masyarakat Indonesia.

"Orang ingin menunjukkan ciri khas yang unik dan berbeda dari yang lain," katanya. Hal ini, menurut Setiawan, harus diapresiasi pula sebagai perkembangan kreativitas masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar