Sabtu, 02 Agustus 2008

Paraji, Pilar Kesehatan dan Benteng Budaya Sunda

Oleh Djasepudin

Dalam ranah kebudayaan tradisional Sunda, orang yang membantu pada masa pra dan pascapersalinan disebut indung beurang, ema beurang, atau paraji. Dalam dunia kesehatan modern, tugas yang diemban paraji diambil alih bidan.

Peralihan peranan ini kerap menyebabkan perang dingin, bahkan tak jarang hingga menimbulkan pertikaian. Ketika bidan datang di suatu tempat, serta-merta indung beurang atau paraji yang telah bertahun-tahun bergumul dengan ibu-ibu hamil merasa mempunyai saingan. Akhirnya, upaya saling menyingkirkan tak terbantahkan.

Paraji umumnya merupakan kaum sepuh, urat kian berkerut, kulit makin keriput, dan jumlahnya terus menyusut. Bidan yang lebih muda tentunya cantik rupawan.

Padahal, baik paraji maupun bidan memiliki fungsi yang sama. Tentu jasa mereka paling dirasakan ibu dan calon ibu pada masa persalinan. Pada masa itu paraji dan bidan harus bergelut dengan maut.

Meski ada dokter, bidan, perawat, atau apoteker, keberadaan paraji hingga kini tetap dibutuhkan. Sayang, karena metode yang digunakan paraji sangat tradisional, kaderisasi profesi paraji pun terhambat.

Padahal, jumlah wanita hamil makin tak terbendung. Di lain pihak, jarang ada bidan atau dokter yang mau turun ke daerah-daerah terpencil.

Di tengah melambungnya jumlah penduduk Jawa Barat, jumlah ibu hamil pun makin tak terbendung. Sebagai catatan, di Bogor hingga akhir tahun 2007, ibu hamil tercatat 118.032 jiwa. Dari jumlah tersebut, ibu hamil yang meninggal dunia mencapai 75 jiwa.

Jumlah bidan di Jawa Barat sendiri sangat tak seimbang dibandingkan dengan jumlah ibu hamil. Di Bogor, hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Bogor hanya memiliki 224 bidan desa dari 426 desa yang ada. Tak hanya kandungan

Lebih dari bidan, tugas paraji tak hanya menggeluti seputar kandungan. Lebih dari itu, tugasnya termasuk mengurus jabang bayi dan ibunya serta mencari dan meracik bahan jamu-jamuan.

Selain ahli farmasi tradisional, seperti membuat jamu-jamuan dari bahan dedaunan, batang, akar-akaran, hingga umbi-umbian, paraji pun merupakan salah satu bagian dari kokohnya benteng budaya Sunda.

Sebab, ihwal kapamalian, jampe, jangjawokan, asihan, ajian, serta jenis mantra Sunda lainnya, paraji selain memang ahlinya juga melarapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka disebut juga dukun lepus paraji sakti. Di samping itu, paraji juga menguasai kearifan Sunda lainnya.

Untuk masyarakat kota, terlepas dari persoalan biaya, menghadapi ibu-ibu hamil tidak terlalu hariwang. Sebab, di kota terbilang banyak dokter atau bidan yang siap sedia membantu pada masa pra dan pascapersalinan.

Akan tetapi, di desa, apalagi di desa terpencil, untuk mencari tenaga kesehatan sangat susah. Sumuhun, memang ada paraji, tetapi jumlahnya amat tidak mencukupi. Selain jumlahnya sedikit dan tenaganya sudah tidak prima, pengetahuan mereka tentang kesehatan dan penyakit terkini terbilang seadanya. Cap "nuhun"

Ironisnya, jarang ada yang memerhatikan nasib paraji, terutama mengenai kesejahteraannya. Mustahil paraji memasang tarif layaknya bidan atau dokter. Malah, umumnya setelah mengurus ibu hamil, bukannya lembaran rupiah yang mereka terima, melainkan hanya ucapan cap nuhun.

Namun, paraji bukan manusia suci. Tidak sedikit paraji yang mengotori profesinya. Mereka tergoda lembaran rupiah yang sebenarnya tak seberapa. Contohnya, ada paraji yang membuka praktik aborsi ilegal.

Jika didata, tingkat kesejahteraan paraji amat memprihatinkan. Logikanya, bidan saja yang mendapatkan gaji atau memasang tarif banyak yang humandeuar alias berkeluh kesah, apalagi paraji yang mengandalkan imbalan cap nuhun.

Padahal, seperti dokter atau bidan, salah satu fungsi paraji adalah turut meningkatkan kesehatan masyarakat. Bicara kesehatan, bukankah itu merupakan salah satu ciri sukses atau tidaknya indeks pembangunan manusia (IPM)?

Celakanya, seperti pendidikan dan kebudayaan, bidang kesehatan pun masih dianggap sebelah mata. Salah satu dampaknya, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia Tenggara. Dari 100.000 kelahiran, 307 ibu meninggal dunia karena komplikasi kelahiran.

Menurut para ahli kesehatan dan kependudukan, penyebab tingginya AKI dan angka kematian bayi antara lain pendarahan, eklamsia, dan infeksi. Tentu sebab lainnya adalah kesalahan manusia.

Tentang pendarahan, eklamsia, infeksi, serta beragam penyakit yang baru bermunculan dan belum ditemukan obat dan cara penyembuhannya, paraji kita masih ketinggalan zaman. Bahkan, bidan dan dokter pun kerap melakukan malapraktik. Pasien hanya dijadikan kelinci percobaan.

Oleh karena itu, selain bidan, paraji juga mesti mendapatkan penyuluhan dan pelatihan intensif dari ahli kesehatan dan kependudukan. Hubungan antara paraji dan tenaga kesehatan modern mesti harmonis.

Agar paraji bersedia mengikuti pelatihan, sebelumnya mereka mesti "dihargai", terutama dalam kesejahteraan ekonominya. Saya yakin, negara tidak akan bangkrut jika paraji mendapatkan gaji bulanan.

Ini bukan berarti saya ngab?jaan bulu tuur. Tentu pemerintah lebih tahu apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan IPM kesehatan. Hurip paraji, waras abdi. DJASEPUDIN Alumnus Program Studi Sastra Sunda Universitas Padjadjaran, Tinggal di Bogor dan Jatinangor

2 komentar:

  1. hapunten..abdi milarian definisi " Paraji " kangge proposal skripsi..
    'sikap pus terhadap paraji 'kaitanna AKI /AKB

    BalasHapus
  2. Salam kenal teman,
    silahkan mampir di lapak saya ;)

    BalasHapus