Sabtu, 02 Agustus 2008

Kopo, Kawasan Macet Menahun


KEMACETAN yang menjadi "warna" sehari-hari di Jln. Kopo Kab. Bandung. Banyaknya permukiman baru di kawasan Bandung selatan sementara jalan akses tidak berubah membuat kepadatan lalu lintas kian parah terutama saat jam masuk dan pulang kerja.* DUDI SUGANDI/"PR"

Apa yang terpikir ketika mendengar kata Kopo? Seorang ibu rumah tangga dan seorang mahasiswi yang ditanya dengan spontan menjawab, "macet." 

Ya, ruas Jalan Kopo saat ini indentik dengan kemacetan yang sudah menahun, tanpa upaya solusi yang segera. Padahal, di selatan Bandung ini merupakan pusat kegiatan ekonomi, seperti Bihbul, Cibolerang, Margahayu, Soreang, dan Ciwidey. 

Nama kawasan Kopo, kemudian dipakai untuk menamai jalan mulai ruas jalan di sekitar Jln. Pasirkoja di utara hingga Jalan Soekarno-Hatta di selatan. Dan masyarakat menamai jalan terusannya ke selatan dengan nama Terusan Kopo hingga Sayati. Jalan ini boleh berganti nama, nama siapa pun yang dipakainya, namun masyarakat tetap saja menyebutnya Jalan Kopo atau Jalan Terusan Kopo, Kopo Caringin, Kopo Cirangrang, Kopo Sayati dan seterusnya.

Kehendak yang dibendo kadang ahistoris, sehingga kebijakannya tak mengakar di masyarakat. Salah satu buktinya dalam pemberian nama jalan. Kop surat atau papan nama lembaga boleh berubah. Penyebutan oleh masyarakat tetap saja menggunakan nama lama. Akhirnya dalam kop surat dan papan nama ditambahkan alamat lama di bawah nama jalan baru, daripada tak dikenali oleh pelanggannya. Misalnya: (Kopo Sayati KM 4 No. xxx).

Anak-anak tahun 1960-an, suka berguyon dengan nyanyian yang mirip teriakan. Apa maksud nyanyian itu dan kepada siapa ditujukan, kadang tak jelas. Boleh jadi saat ini penyakit congek masih banyak diderita masyarakat, sehingga kalau berdekatan akan tercium bau busuk yang menyengat. Itulah sebabnya yang kopok atau congek tak perlu diundang, sehingga ada dampak bagi si penderita untuk segera pergi ke klinik (sekarang puskesmas). Anak-anak berteriak-teriak dengan melagukan: 

Kopo kondang
Kopo kondang
Nu kopok
Ulah di undang.
Kopo kondang
Kopo kondang
Yang congek
Jangan diundang.

**

Tahu apa arti Kopo? 
"Hahaha. Maceeet, ya?"

Bukan. Kopo adalah pohon jambu kopo yang tinggi pohonnya dapat mencapai 20 meter, dengan cabang-cabangnya yang kuat berwarna cokelat kemerahan. Daunnya sepintas seperti jambu aer (jambu air). Bunganya terletak di ranting, tetapi kadang tumbuh di ketiak daun paling atas dan bunganya bercabang. Tabung kelopaknya berwarna merah, tajuknya putih agak merah. Tangkai sari sebelah bawah berwarna merah dan sebelah atas berwarna putih. Bunganya muncul sepanjang tahun, demikian pula buahnya. Sayang, buahnya tidak enak dimakan.

Batangnya besar, namun bengkok-bengkok, sehingga tidak dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Kulit kayunya dapat digunakan sebagai bahan pewarna hitam atau cokelat. 

Secara umum dikenal empat jenis kopo, yaitu:

1. Eugenia cymosa LAMK. Di Jawa Barat dikenal dengan nama kopo atau ki sireum. Sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut manting. Tanaman ini tersebar di seluruh Pulau Jawa pada ketinggian di bawah 1.200 m dpl., yaitu di hutan campuran. Tinggi pohon bisa mencapai 20 meter dengan gemang 85 cm. Pada tahun 1920-an, di Palabuanratu, kulit kayunya digunakan untuk menyelup kain atau benang menjadi warna hitam.

2. Eugenia subglauca. Tanaman ini asli Pulau Jawa yang tumbuh di bawah ketinggian 300 meter dpl. Di Jawa Barat tanaman ini disebut kopo, kopo laut; di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal sebagai jembluk, jembluk krikil, klampok watu. Sedangkan di Madura disebut klampok. Tanaman ini tersebar di Pulau Jawa, tumbuh di hutan-hutan, terutama di sepanjang aliran sungai. Bila daunnya diremas-remas akan mengeluarkan aroma wangi. Buahnya berwarna hijau kekuningan, rasanya manis sepet, tetapi biasa dimakan walau kurang enak. Masih dapat ditemui di pinggir Cisukawayana - Cikakak - Palabuanratu, Kab. Sukabumi, atau di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.

3. Eugenia jamboloides. Di Pulau Jawa tanaman ini disebut kopo mangud, resep, atau risep. Sedangkan di Madura disebut klampok bato, resek. Tumbuhan ini tersebar di seluruh Pulau Jawa, paling umum terdapat di Jawa Tengah. Kulitnya banyak digunakan untuk menyelup kain atau benang menjadi warna hitam. Tahun 1920-an diketahui banyak pohon ini yang kulitnya dikelupas untuk bahan celup, namun luka-luka di kulitnya itu cepat pulih.

4. Eugenia densiflora. Di Tatar Sunda, jambu ini disebut kopo, kopo kalay, kopo badak atau petag. Kopo jenis ini tumbuh di Pulau Jawa, namun sebagian besar tersebar di Jawa Barat, tepatnya di hutan-hutan dengan ketinggian di bawah 1.500 m dpl. Pohon ini tingginya bisa mencapai 20 meter dengan gemang 30 cm. Pada tahun 1920-an diketahui, di Bogor, bunganya dijadikan lalapan, dimakan dengan sambal. Walau kurang enak, buahnya yang matang bisa dimakan. Kulitnya digunakan untuk menyelup kain atau benang menjadi warna cokelat. Di Taman Nasional Ujung Kulon terdapat kopo jenis ini.

Disadari, bahwa karena buahnya kurang enak dimakan, serta bahan penyelup kimiawi dengan berbagai macam warna merajai pasaran, maka pohon kopo semakin kurang diminati untuk sengaja dibudidayakan. Saat ini pohon kopo tumbuh alami di hutan-hutan campuran, atau di pinggir-pinggir sungai. 

Belum pernah terdengar ada penelitian tentang kandungan manfaat lainnya dari jambu kopo ini, sehingga menambah lengkap syarat-syarat kemusnahannya.

Di cekungan Bandung, nama kopo sudah sangat populer karena kemacetannya. Di Jawa Barat banyak sekali daerah yang menggunakan kata kopo, seperti Cikopo. Oleh karena itu, jangan dilihat dari sisi enak dan tidak enak rasa buahnya, namun nama buah jambu hutan itu telah menjadi nama tempat, maka kewajiban kitalah untuk menanam kembali pohon kopo.

Tampaknya Bandung sudah pantas memiliki taman hutan raya khusus tanaman langka yang namanya diabadikan menjadi nama tempat. Bila itu terwujud, akan menjadi pusat wisata pendidikan dan sumber belajar yang akan banyak dikunjungi wisatawan dan pelajar bila dikelola dengan baik. Tentu, pemasukan ke kas daerah pun akan jauh lebih banyak ketimbang membangun satu buah mal!***

T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar