Kompas Sabtu,
03 Mei 2014
ANDRÉ MÖLLER
Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia
Beberapa
bulan yang lalu saya ikut sebuah lomba lari marathon untuk kali pertama. Lomba
ini berlangsung pada malam hari pada
musim gugur di Swedia. Jadi, teman paling setia selama 42,2 kilometer adalah kegelapan,
kesunyian, dan kedinginan. Selain sempat meragukan kesehatan mental saya
berulang kali selama lebih dari 3,5 jam, saya juga sempat memikirkan kata maraton
sendiri.
Menurut
legenda, seorang pembawa kabar bernama Pheidippides ditugasi lari dari medan
perang di Kota Marathon ke Athena(ibu kota Yunani) untuk menyampaikan kabar
bahwa pasukan Yunani berhasil mengalahkan pasukan Persia. Ia mesti menyampaikan
kabar ini dengan segera supaya pemimpin Athena tidak membiarkan pasukan Persia
memasuki Kota Athena. Pertempuran Marathon ini berlangsung pada 490 Sebelum
Masehi. Ceritanya, Pheidippides lari tanpa berhenti (walaupun habis ikut
berjuang dalam pertempuran tadi) dan, ketika sampai di Athena, ia berteriak, “Nikomen!”
atau “Kita menang!” Setelah itu, menurut legenda, ia langsung meninggal
kecapaian.
Tentu
akurasi cerita itu diperdebatkan. Yang pasti, ada beberapa jalan dari Marathon
ke Athena yang bisa dipilih seorang pembawa kabar. Jika Pheidippides memilih
lewat jalur selatan (di sebelah selatan Gunung Penteli), ia lari kira-kira 40
kilometer (kalau tidak kesasar). Kalau dia lewat jalur utara, jaraknya hanya
sekitar 35 kilometer, tetapi ada kenaikan curam yang hampir 5 kilometer
panjangna. Pada Olimpiade 1896, lomba lari maraton dimasukkan sebagai acara
untuk mengingat kemuliaan Yunani kuno, dan pada Olimpiade London tahun 1908,
jarak sebuah maraton ditetapkan menjadi 42,195 meter.
Kata maraton
atau marathon sudah jadi kosakata dala hamper setiap bahasa di dunia
ini. Bahasa Indonesia bukan sebuah kekecualian. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mencantumkan maraton (tanpa “h”) baik sebagai data benda dengan arti
‘perlombaan lari jarak jauh (10 km atau lebih)’ maupun sebagai kata sifat
dengan arti ‘terus-menerus (tanpa berhenti)’. Untuk arti pertama, saya mesti
memprotes karena KBBI seolah-olah setuju bahwa lomba lari (atau perlombaan
lari) 10 km bisa disebut maraton. Bagi setiap orang yang pernah lari
dalam sebuah maraton yang sebenarnya, ini sebuah penghinaan. Terus, sebuah
jarak yang juga sangat lumrah dijadikan jarak untuk lomba adalah 21,095 meter,
yakni setengah maraton, tetapi gabungan kata ini tidak masuk KBBI sama
sekali. Mungkin karena setiap jarak di atas 10 km adalah maraton
menurutnya.
Pemakaian kata marton dalam art kedua (sebagai kata sifat) juga
sudah jadi hal yang lumrah dalam beberapa bahasa. Maka, jangan heran kalau ada
politikus yang”diperiksa secara maraton” setelah ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus korupsi, atau kalau sejumlah pusat perbelanjaan di Ibu Kota
mengadakan shopping marathon (lengkap dengan “h” karena selalu berbahasa
Inggris dan, karena, “belanja maraton” akan terasa kampungan). Jangan heran
kalau DPRD Yogyakarta membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
“secara maraton” ketika waktunya sudah menyempit.
Membahas ekonomi, belanja, ataupun diperiksa KPK tentu saja bikin setiap
orang berkeringatan. Namun, bagi kami, kaum pelari maraton, penggunaan ini
tetap juga terasa tidak enak di hati.
Masalahnya, tidak satu pun kegiatan di atas memerlukan pelatihan selama
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Ya, sudahlah. Sekarang fokus saya selanjutnya pada Copenhagen Marathon
yang akan berlangsung pada 18 Mei mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar