Kamis, 30 Agustus 2012

Menjaring Turis dengan Kopi

Penulis : Ni Luh Made Pertiwi F | Kamis, 30 Agustus 2012 | 09:27 WIB


KOMPAS/DEDI MUHTADI Sejumlah turis Jerman diantar pemandu wisata berpakaian khas adat Naga berjalan-jalan di Kampung Adat Naga awal Mei 2012.  


JAKARTA, KOMPAS.com - Kopi menjadi minuman yang berkaitan erat dengan wisata kuliner sebagai bagian dari wisata minat khusus yang tengah dikembangkan pemerintah Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki beragam cita rasa kopi.

"Kopi kita memang berorientasi untuk ekspor. Kita punya kopi dari potensi Aceh, Sidakalang, Lampung, Jawa, Bali, Flores, Toraja, Wamena," tutur Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Selasa (28/8/2012) lalu.

Apalagi, luas areal perkebunan kopi di Indonesia mencapai 1,3 juta hektare. Sebagian besar kebun kopi tersebut dikembangkan sebagai agrowisata kopi yang diminati wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus).

Sapta memberikan contoh pasar wisman asal Eropa. Berdasarkan data kunjungan wisman ke Indonesia dari BPS, ada sekitar 1 juta wisman asal Eropa yang datang ke Indonesia. Sapta menjelaskan kebiasaan orang Eropa yang senang minum kopi.

Sepengetahuan saya, orang Eropa minum kopi minimal 3 kali, minum di pagi, siang, dan sore hari. Bahkan di sela-sela waktu seperti saat coffee break. Di Perancis, saya pernah tinggal di sana, orang Perancis dalam sehari bahkan bisa minum lima kali," ungkap Sapta.

Hal tersebut tentu menjadi pasar besar bagi para petani kopi, produsen kopi, maupun restoran dan kedai yang menyajikan kopi di Indonesia jika para wisman tersebut meminum kopi dari biji kopi asli Indonesia maupun dengan penyajian khas Indonesia.

Sapta menuturkan keunikan kopi Indonesia tak hanya cita rasanya, tetapi juga cara pengolahannya dan penyajiannya. Oleh karena itu, pihaknya gencar mempromosikan Kopi Luwak yang berasal dari Indonesia serta Kopi Tubruk yang merupakan penyajian kopi khas Indonesia. Ia berharap keduanya lebih dikenal masyarakat dunia.

"Di dunia, juga ada perubahan dari peminum teh berat sekarang mulai minum kopi juga. China dan Korea dulu semuanya, 99 persen minum teh. Sekarang mulai gerak minum kopi," ungkapnya.

Hal tersebut, lanjutnya, tercermin pula dengan kedai kopi luwak yang berlokasi di Korea Selatan. Kedai asal Indonesia tersebut bisa menjual satu juta cangkir kopi sehari. Sapta pun berharap dengan promosi mengenai kopi Indonesia, dapat meningkatkan minat wisman untuk datang ke Indonesia mencoba kopi sebagai wisata kuliner.

Editor :I Made Asdhiana

Rabu, 15 Agustus 2012

Jejak Wallace di Ternate yang Dilupakan

Senin, 13 Agustus 2012 | 11:26 WIB


  

 Oleh Ahmad Arif dan M Zaid Wahyudi
KOMPAS.com - Pada Febuari 1858 itu, Alfred Russel Wallace tergeletak di kamar tidurnya, terserang demam, kemungkinan karena malaria. Dari kamarnya di sebuah rumah di Ternate, Maluku Utara, yang disebutkannya tak jauh dari pasar dan benteng, dia menulis surat kepada Charles Darwin. Saat itu, Darwin berada nun jauh di Kepulauan Galapagos.

"Surat dari Ternate" inilah yang kemudian menjadi tonggak penting bagi Darwin untuk menerbitkan bukunya, Origin of Species, pada 1859. Buku ini berisi proses seleksi alam yang memicu evolusi. Dari sini, Darwin dikenal sebagai Bapak Evolusi.

Surat yang dikirim Wallace itu memberi jawaban bagi Darwin tentang fenomena keberagaman hayati: the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan).

Surat berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” itu membuka dialektika tentang siapa yang layak menyandang gelar sebagai penemu teori evolusi. Apakah Wallace lebih dulu atau Darwin? Bukankah Darwin baru menerbitkan teorinya setahun kemudian setelah surat Wallace?

Belakangan, dunia pengetahuan mengakui Wallace adalah penemu teori evolusi bersama-sama dengan Darwin. Sebelumnya, hanya Darwin yang menikmati popularitas sebagai penemu teori evolusi.

Ternate, yang menjadi tempat tinggal Wallace selama empat tahun dalam bertahun-tahun pengembaraannya di Nusantara, menjadi sangat populer. Ternate bukan lagi cengkeh dan pala semata, melainkan juga tempat Wallace menuliskan gagasan cemerlang. ”Surat dari Ternate” adalah khazanah berharga perjalanan pengetahuan modern.

Selama di Ternate, Wallace juga melahirkan karya hebat, di antaranya menemukan perbedaan karakteristik flora dan fauna berdasarkan lempeng bumi.

Sebuah garis maya dibuatnya untuk memisahkan antara flora-fauna di Indonesia bagian timur yang ada di Lempeng Australia dan Indonesia bagian barat yang berada di Lempeng Eurasia. Garis yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallace ini terentang sepanjang Selat Makassar dan memanjang ke Selat Lombok.

Garis ini tak hanya mengisahkan jalan hidup flora-fauna antarlempeng yang terpisah laut dalam, tapi juga perbedaan karakteristik manusia yang dapat diamati. Wallace mengelompokkan manusia di Indonesia barat dalam ras Melayu dan ras Papua untuk manusia di Indonesia timur.

Di Maluku-lah kedua ras itu bertemu. Wallace menyebut penduduk di Pulau Obi, Bacan, dan Halmahera sebagai perpaduan ras Melayu dan Papua. Perpaduan inilah yang dibuktikan secara genetik pada 2011 oleh sejumlah ahli genetika Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dalam ”Genetic Continuity Across a Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia.

Jejak Wallace
Walllace menjadikan Ternate sebagai tempat singgah dari pengembaraannya ke Halmahera, yang dulu disebutnya Gilolo (mengacu pada nama Kesultanan Jailolo), hingga ke New Guinea (Papua) dan pulau-pulau gunung api di sekitar Maluku untuk mengumpulkan beragam flora-fauna.

Dengan bersemangat Wallace berkisah tentang kota Ternate, yang dinaungi Gunung Gamalama. ”Letaknya sangat strategis sehingga pemandangan di segala penjuru tampak jelas.... Di balik kota, berdiri gunung api yang lerengnya landai dan tertutup pohon buah-buahan lebat,” tulis Wallace saat baru tiba di Ternate pada 8 Januari 1858.

Wallace juga membanggakan rumah di Ternate yang disewa empat tahun. ”Di samping untuk menyusun koleksi (flora-fauna), rumah itu saya perlukan guna memulihkan kesehatan dan mempersiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya,” tulisnya.

Dia pun menggambar denah dan mendeskripsikan rumah yang ditinggalinya di Ternate itu. ”...sehingga memungkinkan pembaca untuk mengenal struktur bangunan di Ternate,” tulis Wallace. Di rumah inilah Wallace menulis ”Surat dari Ternate”.

Sekitar 154 tahun kemudian, jejak pengembaraan Wallace di Ternate nyaris tak meninggalkan jejak, selain gang kecil di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang diberi nama Lorong Alfred Russel Wallace.

Persis di samping gang itu, sebuah rumah yang kini dihuni keluarga Paunga Tjandra (63), diduga sebagai rumah tinggal Wallace selama di Ternate. ”Rumah ini dibeli ayah saya dari almarhum H Ucu Bai, warga di sini. Kami awalnya tidak tahu-menahu ini rumah Wallace,” kata Verjon Tjandra (35).

Verjon menunjukkan satu tiang tembok dan bekas sumur yang telah ditutup di pekarangan belakang rumah. ”Bekasnya, ya, hanya ini,” katanya. ”Banyak peneliti, sebagian bule, yang datang akhirnya kecewa karena memang hanya ini yang tersisa.”

Tiadanya jejak Wallace itu juga dikeluhkan Prof Sangkot Marzuki, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia. Ahli genetika ini menulis komentar dalam buku The Malay Archipelago edisi Indonesia, Kepulauan Nusantara (2009).

"Alfred Russel Wallace adalah nama besar dalam jagat ilmu pengetahuan dunia. Namun, melalui bukti-bukti, peninggalan Wallace dengan nyata teraba dan dengan mudah teridentifikasi bahwa dia adalah bagian sejarah bangsa Indonesia...," tutur Sangkot. ”Ternate—tempat ia lama bekerja dan tempat sesungguhnya teori akbar mengenai evolusi lahir—sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan penemuan paling besar pada abad ke-19 itu. Sayang sekali.”

Pada tahun 2008, Yayasan Wallacea dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pernah berinisiatif mendirikan monumen Wallace di halaman rumah Paunga. Tujuannya untuk mengangkat kembali nama Wallace di Ternate. Namun, monumen itu hingga kini tak terwujud. Tiadanya kesepakatan harga tanah antara pemilik rumah saat ini dan pemerintah membuat situs sejarah itu terbengkalai.

Nama jalan di depan rumah itu pun sudah diubah. Nama jalan itu diubah menjadi Jalan AR Wallace pada 2008 dari sebelumnya bernama Jalan Nuri. Namun, tahun 2010, namanya diubah lagi menjadi Jalan Juma Puasa hingga sekarang.(Prasetyo Eko P/A Ponco Anggoro)
Ikuti perjalanan ekspedisi Cincin Api Kompas di www.cincinapi.com
Sumber :Kompas Cetak
Editor :Tri Wahono

Mangga Terbaik

KORPORASI

Rabu, 15 Agustus 2012 | 07:56 WIB



Shutterstock 
Ilustrasi  


”Maaf, itu mangga Thailand. Silakan membeli. Namun, setengah jam lagi, istri saya akan membawa mangga terbaik Pakistan. Enaknya tiada tara,” ujar Mohammad Fawzan (34), pedagang buah asal Somalia, di pasar kaget tak jauh dari Stasiun Kereta Api Woolwich Arsenal, London, 9 Agustus lalu.

Begitu istrinya muncul dengan mangga Pakistan, Fawzan langsung berteriak lantang. ”Mangga Pakistan sudah datang. Silakan beli,” ujarnya.

Fawzan tidak hendak menyepelekan mangga dari negara tertentu. Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa mangga Pakistan lebih disukai, menyusul Thailand, Vietnam, China, dan Malaysia. Mangga dari Indonesia tidak disebut-sebut. Warga Inggris juga menyukai buah asal benua Asia, seperti semangka, pisang, nanas, pepaya, dan buah naga.

”Buah Indonesia? Pisang dan mangga asal Jawa Timur pernah masuk beberapa waktu lalu, tetapi kemudian lesap. Entah mengapa,” ujar Eliot Emmamuel, rekan Fawzan.

Ilustrasi di atas sekadar menggambarkan keadaan riil. Bicara buah mangga, nilai nominal yang muncul adalah angka-angka yang kecil. Tidak akan mengangkat nilai ekspor sebuah negara.

Namun kalau ekspor buah itu dilakukan secara massal, misalnya menembus sepuluh negara Eropa, angkanya tentu lain. Apalagi kalau disertai buah-buah yang lain, misalnya pisang dan pepaya, tentu angkanya fantastis.

Sekadar gambaran, Belanda yang jadi eksportir bunga tulip mampu meraup miliaran euro tiap tahun. Padahal, yang diekspor hanya bunga tulip. Belanda pun dijuluki ”Negeri Tulip”.

Indonesia kiranya perlu memikirkan mengekspor lebih banyak buah dan sayuran segar ke mancanegara. Ekspor tersebut hendaknya tidak hanya dipandang dari aspek finansial.

Akan tetapi, sebutlah semacam ”awareness” tentang eksistensi Indonesia. Kita suka kalau nama negeri ini diucapkan dengan penuh kekaguman oleh warga dunia karena buah kita enak. Entah itu mangga, pisang, atau nanas.

Begitulah pikiran sederhana yang muncul saat berlangsung Olimpiade 2012 London. Buah yang dijual umumnya buah dari negara lain. Umumnya dari negara-negara Asia, di antaranya Malaysia, Vietnam, Kamboja, Thailand, Pakistan, bahkan India, Banglades, dan Singapura. Bayangkanlah, Singapura juga berjualan buah di Eropa. Hebat.

Di kafe-kafe di sekitar gelanggang Olimpiade London, dijual aneka minuman ringan dengan merek terkenal yang menjadi favorit. Minuman lain, misalnya jus buah dari beberapa negara, juga menjadi minuman yang disukai. Untuk minuman air mineral, evian dari Perancis dan beberapa minuman alami Inggris disukai. Ada minuman alami lain, yakni dari Fiji. Selain kemasannya atraktif, rasanya pun sangat segar.

Fiji, negara kepulauan kecil di Pasifik, mampu menyuguhkan minuman mineral. Memang hanyalah minuman mineral, tetapi ia menjadi bahan percakapan publik dunia. Minuman itu hadir di lima benua. Diam-diam Fiji menjadi produsen minuman mineral yang bermutu dan disukai. Ini iklan gratis untuk Fiji.

Ini sungguh soal kecil, tetapi perlu jadi perhatian pemerintah dan para usahawan. Masak susah mengekspor mangga, pisang, pepaya, dan nanas? Fiji yang ”kecil” saja mampu menembus pasar dunia. Kok, Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia tidak mampu? (Abun Sanda)
Sumber :Kompas Cetak
Editor : Erlangga Djumena

Rabu, 01 Agustus 2012

Luar Biasa! Triyatno Rebut Medali Perak

Rabu, 1 Agustus 2012 | 03:35 WIB

Olimpiade London 2012



Yuri Cortez/AFP
Triyatno rebut medali perak  


LONDON, KOMPAS.com — Indonesia berhasil menambah perolehan medali di ajang Olimpiade London 2012. Cabang angkat besi kembali menjadi penyumbang medali bagi kontingen "Merah Putih", kali ini melalui lifter putra Triyatno.

Medali perak berhasil direbut oleh Triyatno setelah ia berjuang keras dalam perlombaan di kelas 69 kilogram putra yang berlangsung di arena Excel London, Rabu (1/8/2012). Triyatno mampu menduduki peringkat kedua dalam klasemen akhir setelah membukukan total angkatan seberat 333 kilogram.

Lifter peraih medali SEA Games 2011 itu awalnya tampil kurang meyakinkan pada angkatan snatch setelah mengangkat beban seberat 145 kg. Tetapi, pada saat angkatan clean and jerk, ia secara dramatis berhasil mengangkat beban seberat 188 kg pada kesempatan ketiga atau terakhir. 

Medali emas di kelas 69 kg putra diraih oleh lifter China, Lin Qingfeng, yang membukukan total angkatan 344 kg. Sementara medali perunggu direbut lifter Romania, Martin Razvan Constantin, dengan angkatan seberat 332 kg.

Lifter Indonesia lainnya yang juga berlaga di kelas ini, Deni, belum mampu unjuk gigi. Peraih perak SEA Games 2011 ini hanya menempati peringkat 12 dengan total angkatan seberat 311 kg.  Deni mengangkat beban 140 kg pada angkatan snatch dan 171 kg pada saat clean and jerk.

Dengan tambahan satu medali perak ini, Indonesia dipastikan akan memperbaiki posisinya dalam peringkat perolehan medali. Perak yang disumbangkan Triyatno juga setidaknya menjaga tradisi medali olimpiade dari angkat besi. Lifter Indonesia, khususnya lifter putra, sudah lama unjuk gigi di olimpiade.
***
Eko Yuli Irawan Raih Medali Perunggu Cabang Angkat Besi

 


REUTERS/"PRLM"
ATLET Indonesia Irawan Eko Yuli menyumbangkan medali pertama kontingen ke Olimpiade London 2012, yaitu medali perunggu pada final angkat berat pria 62 Kg Grup A, Senin (30/7/12) waktu setempat.* 


LONDON, (PRLM).- Eko Yuli Irawan menjadi atlet pertama yang menyumbangkan medali untuk kontingen Merah Putih. Eko Yuli Irawan sukses mengamankan medali perunggu setelah mencatatkan angkatan total 317kg (154 snatch dan 172 clean and jerk), Senin (30/7/12) waktu setempat.

Sementara atlet Korut, Kim Un Guk memenangkan emas cabang angkat besi kelas 62-kilogram putera, sementara Oscar Mosquera dari Kolombia dan Eko Yuli Irawan dari Indonesia merebut medali perak dan perunggu.

Hasil ini mengulangi prestasinya empat tahun lalu pada Olimpiade 2008, Beijing China di mana dia juga mampu meraih medali perunggu. (A-108)***