Minggu, 30 September 2012

Komunitas Hoong Peroleh Penghargaan dari Inggris

SOREANG, (PRLM).- Pendiri Komunitas Hoong, M. Zaini Alif pun bertekad dan bercita-cita ingin menjadikan Komunitas Hoong ini sebagai pusat kaulinan barudak sedunia dengan basis di Kab. Bandung. "Kami ingin Kabupaten Bandung menjadi pusat Kaulinan Barudak sedunia, dan Alhamdulillah Komunitas Hoong telah memperoleh penghargaan dari Pemerintah Inggris sebagai social enterpreneur yang terbaik se-Indonesia dari 600 komunitas yang ada," kata Zaini dalam rilisnya ke "PRLM", Minggu (30/9).

Zaini menuturkan awalnya Ia tidak menyangka keberadaan komunitas Hoong ini dianggap sebagai social enterpreneur. Dalam benaknya waktu itu, Ia hanya ingin bagaimana caranya bisa membuat anak-anak melanjutkan sekolahnya, kemudian pendapatan warga sekitarpun bisa meningkat. "Ternyata diluar dugaan komunitas yang saya bangun bersama masyarakat setempat, dipandang pihak luar sebagai wirausahawan sosial yang mampu membantu memberdayakan serta mensejahterakan masyarakatnya," katanya.

Hal tersebut, menurut Zaini, dibuktikan dengan kemampuan yang dimiliki Komunitas Hoong sekarang, bisa membantu anak-anak untuk melanjutkan ke sekolah negeri melalui jalur prestasi. Ini cukup membuat pihaknya merasa senang dan bangga karena ternyata kaulinan barudak ini tidak hanya dianggap sebagai permainan belaka, namun sudah bisa menjadi sebuah prestasi. " Alhamdulillah beberapa anggota kami telah mampu mengukir prestasi melalui permainan egrang dan kelom batok untuk tingkat Nasional dan Jawa Barat," bebernya.

Berdasarkan catatan yang ada, selama kurun 2 tahun ini, Komunitas Hoong telah memperoleh 12 penghargaan di antaranya dari Liputan 6 Award SCTV, Inspirasi Indonesia, Metro TV dan 7 Pemuda Kreatif Indonesia. "Komunitas Hoong dinilai mampu menjadi suatu wadah yang kegiatannya langsung menyentuh pada kebutuhan masyarakat," katanya.(A-71/A-147)***

Kujang bukan Senjata


Ajip Rosidi
(Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage)
Pikiran Rakyat, Rabu, 1 Agustus 2012)


Pada awal tahun 1950-an, dalam masyarakat Sunda timbul ketidakpuasan terhadap orang Jawa, sehingga timbul gerakan kasundaan baik di kalangan orang-orang yang sudah aktif dalam gerakan kasundaan sejak sebelum perang, maupun di kalangan para pemuda dan mahasiswa. Tokoh-tokoh Sunda yang sudah aktif sejak masa sebelum perang seperti Ema Bratakusumah, Soetsn (Soetisna Sendjaj), Iwa Koesoemasoemantri, Otong Kosasih, Djoearsa, Joedakoesoemah, dll. Yang mendirikan organisasi al. Daya Sunda, Badan Musyawarah Sunda, dll. Sedang para mahasiswa dan pemuda di Bandung, Bogor, dan Jakarta seperti Adjam Syamsupradja, Hasan Wargakusumah, Saikin Suriawidjaja, Alibasjah Natapradja, dll., mendirikan organisasi al. Nonoman Sunda, Putra Sunda, Daya Nonoman Sunda, Front Pemuda Sunda dll.

Dalam majalah-majalah bahasa Sunda yang terbit waktu itu terutama dalam Kalawarta Kudjang (Bandung) dan majalah Warga (Bogor), banyak dimuat tulisan dan karikatur yang menyatakan ketidakpuasan terhadap orang Jawa dan pemerintah pusat dengan Presiden Soekarno (walaupun kekuasaan eksekutif di tangan perdana menteri) yang dianggap lebih mementingkan rakyat Jawa.

Hal itu disebabkan adanya kebijaksanaan dari pemerintah Republik Indonesia tentang “non” dan “ko”. Yang disebut non (kooperator) ialah mereka yang menolak bekerja pada pemerintah pendudukan Belanda, dan tetap bertahan sebagai “republikein”. Sedangkan ko (operator) ialah mereka yang bersedia bekerja pada pemerintah pendudukan Belanda. Setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) dan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia, pemerintah Republik Indonesia dengan kebijaksanaan tentang “non” dan “ko” itu menggeser orang-orang “ko” dari jabatannya dan menggantinya dengan orang “non”. Padahal orang-orang Sunda yang menjadi “ko” di Jawa Barat itu berbuat demikian setelah ada anjuran dari Wakil Presiden M. Hatta ―lama sebelum KMB—yang membolehkan kaum republikein yang tinggal di daerah pendudukan bekerja pada pemerintah pendudukan asal bukan dalam lapangan kemiliteran dan pertahanan, karena pekerjaan itu niscaya besar manfaatnya buat rakyat Republik Indonesia, seperti guru yang mengajar di sekolah pendudukan karena yang diajarnya adalah anak-anak kaum republikein. Yang dianggap kaum “non” ialah orang-orang Jawa yang pulang mengungsi dari Yogyakarta atau daerah Jawa Tengah lainnya. Dan ternyata para pejabat baru itu bukan saja tidak mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik, melainkan juga memboyong saudara-saudara atau teman-temannya dari daerah asalnya untuk menduduki berbagai lowongan. Karena itu, timbul perasaan dan umpatan tentang adanya “penjajahan oleh bangsa sendiri”.

Peristiwa Bubat dihidup-hidupkan kembali untuk menunjukkan bahwa orang Jawa (Gadjah Mada) itu sifatnya khianat dan dalam peristiwa itu Raja Sunda dan Putrinya Citraresmi atau Dyah Pitaloka menjadi korban. Untuk menunujukkan bahwa orang Sunda juga ada yang berani melawan terhadap kekejaman tentara Jawa zaman Mataram, dihidupkan kembali cerita tentang Dipati Ukur. Ceritanya ditulis kembali oleh Rohendy Sumardinata & Supis (Supian Iskandar) diterbitkan oleh Daya Sunda Pusat (Bandung) setelah dimuat bersambung dalam Kalawarta Kudjang.

Dalam cerita Dipati Ukur yang itulah pertama kali ditulis bahwa orang Sunda berperang dengan menggunakan senjata khusus yang disebut kujang. Sejak itu dimitoskan bahwa kujanglah senjata orang Sunda, sedangkan keris adalah senjata orang Jawa. Pendeknya orang Sunda tidak kalah oleh orang Jawa. Kalau orang Jawa punya senjata keris, orang Sunda punya kujang. Padahal keris juga sebenarnya senjata orang Sunda, seperti juga senjata orang Melayu, karena itu ada keris yang disebut “keris Pajajaran”. Namun karena pada waktu itu ada semangat bahwa orang Sunda itu lain dari orang Jawa, dan tidak kalah hebat, pemitosan kujang sebagai senjata khas Sunda kian keras. Pada sekitar tahun 1960 sudah terbentuk anggapan bahwa kujang adalah lambang Sunda, sehingga dijadikan lambang pemerintah Jawa Barat.

Tidak mustahil gagasan tersebut timbul dari Pak Ema Bratakusumah dan lingkungan Daya Sunda yang menerbitkan Kalawarta Kudjang. Dalam buku-buku dan naskah yang ditulis sebelum tahun 1950, termasuk dalam wawacan-wawacan, tak pernah dilukiskan bahwa orang berperang dengan mempergunakan kujang. Tidak mustahil gagasan tentang kujang sebagai senjata orang Sunda itu berasal dari Pak Ema Bratakusumah dan lingkungan Daya Sunda yang menerbitkan Kalawarta Kudjang.

Ahli sejarah dan kesenian Sunda, almarhum Saleh Danasasmita dengan menggunakan nama samaran Asmalasuta menulis dalam karangan berjudul Semar djeung Kudjang (majalah Handjuang No. 5, 1971) bahwa ia merasa berdosa kalau membiarkan saja, karena telah terjadi kekeliruan yang telah diterima masyarakat secara luas tentang Semar dan kudang. Menurut para ahli, ternyata kepercayaan itu bisa dibentuk. “Sanajan carita hayal mun ditabeuh unggal waktu, dipasieup siga heueuh, lila-lila bakal dianggap enyaan.” (Meski cerita hayal, kalau diberitakan tiap waktu, dibuat-buat seakan-akan benar, lama-lama akan dianggap benar). Karena itu, dia merasa perlu menulis  karanan untuk menjelaskan hal yang sebenarnya walaupun ia tahu bahwa “mun beja geus dipercaya hese ngabedokeunnana” (kalau berita sudah dipercaya, susah membatalkannya).

Saya tidak akan mengutip yang ditulis Saleh mengenai Semar, melainkan hanya akan mengutip tentang kujang. Menurut Saleh dia menunjukkan bahwa tentang kujang sudah diteliti dan dibahas oleh Snouck Hurgronje dalam majalah TBG (Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) jilid 41 (1904). Snouck melakukan penelitiannya di daerah Priangan yang masih ditemukan berbagai macam kujang. Tapi pada waktu itu pun (awal abad ke-20), sudah tidak dapat diperoleh keterangan tentang bagaimana menggunakannya. Kujang yang sekarang populer adalah kujang Bandung yang dengan fantasi yang cukup dapat dianggap sebagai senjata. Padahal kujang-kujang yang terdapat di daerah-daerah lain bukanlah bentuk senjata untuk perang. Yang terdapat di daerah Banten lebih dekat dengan bentuk arit.

Dalam naskah Sundah Kuno koropak 630 (Siksa Kanda ng Kareysian) waktu menguraikan tentang dina nataan senjata buat pakakasd poertang yang disebut ialah pedang, abeet panusuk, golok, peso poateundeut, nusuk, golok, dan keris. Kujang tidak disebut. Kujang disebut sebagai alat bertani, yaitu kujang, baliung, patik, kored, sadap. Di Banten ada peribahasa yang kira-kira berbunyi “mun aya bentang kidang, turun kujang” (kalau bintang kidang telah tampak, kujang pun diturunkan untuk digunakan). Bintang kidang menjadi tanda bahwa musim hujan sudah tiba, waktunya turun ke ladang. Dari perbahasa itu jelas bahwa kujang itu alat bertani.

Setelah kujang dimitoskan sebagai senjata orang Sunda, wajarlah kalau tumbuh kebanggan terhadap kujang dan didorong oleh rasa bangga itu lantas banyak orang yang membuat kujang senjata sesuai dengan fungsinya. Konon Prof. Dr. Kusnaka Adimihardja pernah mengemukakan pendapat bahwa kujang memang mempunyai beberapa fungsi. Ada yang memang sebagai perkakas bertani, tetapi ada juga sebagai senjata perang, di samping kujang yang diberikan oleh penguasa sebagai penghargaan, yang disebut “kujang nugraha”. Apakah penemuan fungsi-fungsi (yang tidak diperoleh Snouck Hurgronje pada awal abad ke-20) itu berdasarkan penelitian yang cermat dan ilmiah? Sebab mungkin saja, karena didorong oleh kebanggaan terhadap senjata warisan leluhur seperti yang dimitoskan, belakangan banyak orang membuat kujang sesuai dengan fantasinya.

Karena itu, saya merasa lucu (dan sedih) waktu membaca berita “Kujang Didaftarkan ke UNESCO” Pikiran Rakyat Sabtu, 21 Juli 2012). Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat bersama dengan Tim Gugus Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hendak mengajukan agar UNESCO mengakui kujang “sebagai senjata tradisional orang Sunda”. Selain Tim Gugus HKI ada juga dosen ITB dan para sarjana pejabat pemda staf gubernur dan wakil dari komunikasi kesundaan.

Entah siapa yang pernah mengadakan penelitian tentang kujang. Yang jelas dalam berita itu alasan yang dikemukakan oleh Aris Kurniawan, MSn, staf pengajar Seni Rupa ITB sama sekali tidak bersifat ilmiah, melainkan “ngelmu” karena alasan itu merupakan kirata basa. Katanya setelah melakukan penelitian selama tujuh tahun, dia sampai pada kesimpulan bahwa “Kudi dalam arti Kudia atau Ku Anjeun, memberi pengertian “Titah” atau perintah dari Kahyangan kepada manusia atau manu. Kudi dianggap mempunyai bentuk menyerupai kepala burung, hal ini memberi makna bahwa manusia sebagai bentuk perwakilan Hyang Tunggal atau Tuhan yang senantiasa harus meningkatkan bakti dan bukti kepada negara dan Tuhan Yang Mahakuasa di marcapada atau buwana panca tengah. Nah lu!

Salah Konsep Buku Teks


Utomo Dananjaya
(Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina)

Kompas, Senin 9 Juli 2012

Dunia pendidikan kita kembali heboh. Untuk kesikian kalinya, sumber kehebohan terkait keberadaan buku teks ―sebagai sumber belajar―yang ternyata banyak menulai masalah dan kekeliruan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Siapa yang bertanggung jawab?

Guru memang dimudahkan oleh keberadaan buku teks untuk memberikan materi sesuai tingkat berpikir peserta didik. Buku-buku itu diterbitkan oleh Pusat Perbukuaan dan dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hak cipta buku-buku teks dibeli dari pengarang buku.

Menteri Pendidikan Nasional (kini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan/Mendikbud) menerbitkan Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi. Masing-masing dengan lampiran penjelasan yang berisi daftar mata pelajaran dan daftar Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang terdiri dari standar kompetensi lulusan satuan pendidikan, standar komptensi mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan mata pelajaran. Peraturan-peraturan menteri inilah yang menjadi dasar penyusunan buku teks pelajaran pegangan guru.

Kecelakaan kekeliruan pada buku teks Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ) yang memuat cerita “Bang Maman dari Kali Pasir” menyelamatkan Mendikbud. Sebab, buku teks PLBJ adalah muatan lokal yang tanggung jawabnya ada pada Dinas Pendidikan Daerah dalam hal ini DKI Jakarta.

Dinas Pendidikan pun dapat melepaskan tanggung jawab ini. Argumentasinya, artikel “Bang Maman dari Kali Pasir” terdapat dalam lembar kerja siswa (LKS) yang penggunaannya atas tanggung jawab guru. Maka, selamatlah sang kepala dinas dengan melimpahkan tanggung jawab kepada guru pengajar PLBJ.

BSNP dan Pusat Perbukuan tentu tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab dalam menerbitkan buku teks. Buku-buku teks pelajaran yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan yang dapat diunduh, digandakan, dicetak, dialihmediakan, atau difotokopi oleh masyarakat menjadi tanggung jawab pelaksanaan pendidikan dan mutu pendidikan.

Kepela Pusat Perbukuan mengharapkan buku-buku teks pelajaran lebih mudah diakses sehingga siswa dari seluruh Indonesia memanfaatkan buku yang telah dinilai BSNP. Kenyataannya, buku-buku masih ada yang keliru.

Tiga buku, tiga contoh
Buku teks Ilmu Pengetahuan Alam 2 (Sri Purwanti, CV Arya Duta-Pusat Perbukuan) adalah salah satu contoh. Dalam buku ini ada banyak kejanggalan.

Pada Bab 8 tentang sumber energi tertulis bahwa tujuan pembelajaran adalah mengidentifikasi sumber energi di lingkungan sekitar. Kejanggalan terlihat mulai dari pembahasan bentuk-bentuk energi: bunyi adalah bentuk energi, cahaya adalah bentuk energi, dan panas adalah bentuk energi. Masing-masing dilengkapi gambar, pengganti kegiatan mengamati yang tidak cukup untuk mengantarkan anak pada pemahaman tentang apa itu energi yang sesungguhnya.

Kejanggalan ini diperparah dengan pembahasan lanjutan tentang alat rumah tangga. Pada halaman 102 tertulis, “di rumah banyak alat rumah tangga―alat-alat itu menghasilkan energi ―contohnya televisi, radio, dan telepon”. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pengarang salah memahami konsep energi dan dibenarkan oleh BSNP lewat pengakuan kelayakan buku.

Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat pula dimusnahkan. Energi adalah kemampuan untuk melakukan perubahan. Jadi, kalimat bahwa alat-alat rumah tangga dapat menghasikan energi adalah keliru. Alat-alat rumah tangga itu bukan menghasilkan, tetapi menggunakan energi.

Menurut standar kompetensi, pembelajaran tentang energi di pelajari di SD, SMP, dan SMA. Pemahaman yang salah sejak SD akan berpengaruh sepanjang pembelajaran energi.

Kita simak pula buku Ilmu Pengetahuan Sosial karangan Tri Jaya Suranto dan A. Dakir (PT Ghalia Indonesia Printing-Pusat Perbukuan). Salah satu standar kompetensi kelulusan ilmu pengetahuan sosial adalah memahami identitas diri dan keluarga. Identitas diri diterjemahkan pengarang sebagai pribadi dan keluarga. Maka, pembahasan ini masuk bagian berjudul “Dokumen Pribadi dan Keluarga” dan yang dibahas adalah akta kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan surat mengemudi.

Konsep tentang identitas diri tentu saja bukan dokumen identitas administratif. Ini adalah konsep menganali diri, karakter diri, kelebihan, dan kekurangan. Jika pemahaman tentang konsep identitas diri ini saja salah diarahkan, tidak heran jika pendidikan karakter hanya wacana karena pendekatannya bukan lewat pemahaman, tetapi sekadar pengetahuan administratif.

Kesalahan konsep juga terdapat pada buku teks matematika terbitan Pusat Perbukuan yang juga mendapat penilaian kelayakan dari BSNP. Pada buku Matematika 2: Tematik, halaman 72, tertulis “Jadi 4 x 3 = 3 x 4”. Lalu pada halaman 74 terdapat ilustrasi gambar untuk soal pembagian 6 : 3 =2. “Jika dibalik, sebanyak 3 orang mendapatkan 2 es krim. Kalimat matematikanya menjadi 2 x 3 = 6.”

Bukankah seharusnya kalimat matematiknya adaah 3 x 2 = 6? Jika dibalik: 6 : 3 = 2. Kalimat matematika tersebut adalah simbol dari 6 es krim yang dibagikan kepada 3 orang, setiap orang mendapat 2 es krim atau 3 orang masing-masing mendapat 2 es krim sehingga jumlahnya 6 es krim. Kalimat matematika ini tak menyimpulkan secara benar dan menyimpang dari konsep.

Tanggung jawab BSNP
Tiga contoh buku teks dengan kekeliruan masing-masing mengandung kekeliruan konsep yang menyesatkan anak didik. Kekeliruan pemahaman bisa terbawa sampai dewasa.

Celakanya, buku-buku ini diterbitkan oleh Pusat Perbukuaan dan telah dinilai oleh BSNP sebagai buku yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran sesuai Permendiknas No. 46/2007. Para penulis buku tersebut telah mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya karena telah mengalihkan hak ciptanya ke Pendidikan dan Kebudayaan untuk digunakan secara luas oleh pendidik dan peserta didik.

Artinya, kekeliruan konsep dalam buku-buku tersebut juga tersebar ke peserta didik seluruh Indonesia. Saya dengar ada ratusan buku dibeli oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan mungkin ada ratusan judul buku yang juga mengandung kekeliruan.

Kekeliruan konsep, kekeliruan pengertian, bahkan kekeliruan cetak ini justru terjadi pada buku yang sudah dianggap layak oleh BSNP. Jadi, jelaslah siapa yang harus bertanggung jawab. Tidak bisa dilemparkan ke pengarang, apalagi guru sebagai pengguna.

Bahasa Tulisan


Ajip Rosidi

Pikiran Rakyat, Sabtu, 30 Juni 2012


Umumnya kita mempelajari bahasa tulisan di sekolah meskipun ada anak-anak yang sejak belum masuk sekolah di rumahnya sudah belajar membaca dan menulis, sehingga dia lebih awal berkenalan dengan huruf dan bahasa tulisan.

Ya, bahasa tulisan kita jumpai dalam bentuk huruf-huruf. Ada banyak macam huruf di dunia ini yang digunakan oleh berbagai bangsa dan dalam berbagai peradaban. Ada bangsa yang mempunyai huruf sendiri dan terus mempergunakannya sampai sekarang, ada juga bangsa yang mempunyai huruf sebagai varian dari huruf orang lain. Dan ada juga bangsa yang meskipun (pernah) mempunyai huruf sendiri kemudian menukarnya dengan huruf bangsa lain. Ada banyak bangsa yang tidak mempunyai huruf sendiri, lalu mempergunakan huruf pinjaman dari bangsa lain.

Kita bangsa Indonesia tidak mempunyai huruf sendiri. Dalam batu-batu tertulis dari awal abad Masehi yang terdapat di Indonesia, digunakan huruf Palawa dan bahasa Sanskerta. Kemudian berbagai suku bangsa di Indonesia membuat huruf sendiri, umumnya varian dari huruf yang datang dari India seperti huruf Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan lain-lain yang pernah digunakan seperti kita saksikan dalam naskah-naskah yang masih tersimpan.

Namun, sekarang umumnya tidak lagi dipergunakan oleh ahli warisanya. Bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Aceh, bahasa Banjar, dan lain-lain pernah mempergunakan huruf arab untuk menuliskannya. Huruf arab yang dipergunakan dalam bahasa Melayu dll. Itu disebut huruf Arab gundul atau huruf pegon. Akan tetapi, sejak di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda mengharuskan mempergunakan huruf Latin, pemakaian huruf Arab baik untuk menulis bahasa Melayu maupun untuk bahasa-bahasa daerah kian berkurang. Ketika negara Republik Indonesia berdiri pemerintah memilih huruf Latin untuk dipergunakan di lingkungan bangsa dan negara Indonesia untuk menuliskan bahasa Indonesia  dan bahasa-bahasa daerah juga.

Orang Melayu di Malaysia yang pada awalnya lebih kuat mempertahankan pemakaian huruf Arab, tetapi karena pengaruh Indonesia, akhrinya memilih pemakaian huruf Romawi (Latin), meskipun huruf Arab juga masih dipergunakan untuk keperluan tertentu.

Pemakaian huruf Latin untuk menulis bahasa Melayu (Indonesia) pada tahun 1901 diatur melalui ejaan yang disusun oleh van Ophuysen bersama Engkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moen dan Moehammad Ta’ib Soetan Ibrahim. Ejaan van Ophuysen itu kemudian diperbarui oleh Ejaan Republik (1947) dan oleh EYD (1972). Namun kalau kita teliti bahasa Indonesia tertulis dalam surat-surat kabar dan majalah, bahkan dalam buku juga, pemakaian ejaan pun masih banyak yang tidak tepat. Apalagi dengan berkembangnya pemakaian “bahasa gaul” secara tertulis dalam penerbitan pers terkemuda maka keadaan bahasa Indonesia sangat memprihatinkan.

Bahasa dalam surat-surat kabar dan majalah yang merupakan acuan utama dalam berbahasa untuk bangsa Indonesia juga kian semaunya. Pelajaran bahasa di sekolah sudah lama diakui tidak memuaskan. Kebiasaan membaca buku sastra sangat rendah, terutama karena umumnya sekolah tidak mempunyai perpustakaan dengan koleksi karya sastra nasional yang lengkap. Memadai pun tidak. Belakangan karena dorongan hendak memetik keuntungan secepatnya dan sebesar-besarnya belakangan para penerbit berlomba menerbitkan buku-buku cerita dengan “bahasa gaul”, sedangkan penerbitan buku buku sastra dihindari, karena dianggap hanya akan merugikan karena masyarakat tidak suka membaca sastra yang dianggap “berat”.

Dengan demikian, orang Indonesia tidaklah mengikuti perkembangan karya sastra nasionalnya. Yang mereka baca hanyalah karya-karya yang populer yang kebetulan terbit pada waktu mereka sedang senang membaca cerita. Hal itu disebabkan karena jarang sekali orang Indonesia yang gemar membaca seumur hidup. Pada usia muda tertentu mereka suka membaca tetapi terbatas pada buku-buku yang sedang populer pada waktu itu saja. Bahkan pada saat tertentu banyak yang suka mendengarkan orang membaca sajak—apalagi kalau oleh penyairnya sendiri—atau bahkan menulis sajak sendiri. Namun mereka tidak tergugah minatnya untuk membaca buku-buku karya sastra yang sudah memperkaya khazanah kesusastraan nasional, antara lain karena tidak mudah menemukan buku-buku demikian. Pemerintah tidak  mendorong hal itu dengan menyediakan perpustakaan yang mempunyai koleksi lengkap karya sastra nasional paling tidak di sekolah-sekolah. Sejak berdiri pemerintah Republik Indonesia memang tidak pernah menganggap penting buku karena tidak tahu manfaat membaca. Pemerintah lebih suka membiarkan rakyatnya bodoh dan mengirimkannya sebagai babu dan jongos ke luar negeri untuk mencari makan.

Jumat, 21 September 2012

Gas Metana Lepas, Kondisi Bumi Darurat

PENYUSUTAN ES ARKTIK


Jumat, 21 September 2012 | 08:30 WIB


AFP/DANIEL BELTRA
MY Arctic Sunrise, kapal milik organisasi lingkungan hidup Greenpeace, sedang mendokumentasikan penyusutan lapisan es di kawasan Samudra Arktik, Selasa (11/9). Lapisan es di kawasan Arktik dekat Kutub Utara itu menyusut drastis dan mencatat rekor terendah dalam sejarah tahun ini.



NEW YORK, KOMPAS.com - Bumi dalam keadaan darurat karena pelepasan gas metana dari lapisan es abadi (permafrost) di kawasan kutub yang terus mencair. Efisiensi gas metana dalam menahan radiasi panas Matahari 25 kali lebih kuat dari gas karbondioksida.

Keduanya merupakan gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Ada enam jenis GRK yang diidentifikasi para ahli sebagai penyebab pemanasan global. Keenamnya dihasilkan dari aktivitas manusia membakar bahan bakar fosil, dari sampah, serta dari mencairnya lapisan es.

”Penurunan luas lapisan es, antara tahun 1979 dan 2012 sebesar 13 persen per dekade, lebih cepat dari penyusutan enam persen per tahun antara tahun 1979 dan 2000,” ujar ahli kelautan Wieslaw Maslowski dari US Naval Postgraduate School.

Angka tersebut lebih buruk dari perkiraan para ahli sebelumnya. Namun, menurut ahli iklim dari Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) James Hansen, ”Ada kesenjangan antara apa yang diketahui para ahli dan publik. Kita dalam kondisi darurat Bumi.”

”Jika tren ini berjalan terus, pada akhir dekade ini kita tidak punya laut es lagi,” tambah Maslowski.

Terjebaknya panas Matahari akan memperburuk kondisi perubahan iklim karena suhu atmosfer dan permukaan Bumi berubah.

Emisi gas metana akibat mencairnya permafrost akan mengakibatkan kenaikan suhu permukaan laut. Akibatnya, akan semakin banyak GRK yang lepas karena semakin banyak es mencair.

Menurut ahli lingkungan dari Earth Institute Universitas Columbia, Peter Schlosser, dampak mencairnya es di pucuk kutub sulit dipastikan. Namun, ”Arktik merespons lingkungan dengan cepat dan lebih parah dampaknya dari wilayah lain di bumi ini.”

Dia mengungkapkan, dengan mencairnya es di Arktik, peran aktivitas manusia terhadap perubahan global semakin nyata.

”Di masa depan akan lebih besar lagi dampaknya,” katanya. Jalur laut di utara yang terbuka diincar untuk menjadi jalur pelayaran, sementara aktivitas pengeboran minyak di kawasan tersebut diprediksi akan meningkat. Kedua aktivitas tersebut akan memperparah kondisi Arktik. (AFP/AP/ISW)

Sumber :Kompas Cetak
Editor :Egidius Patnistik


 

Kamis, 13 September 2012

Indonesia Kaya dengan Alat Musik Bambu





JAKARTA, (PRLM).- Festival Bambu Nusantara 6 di Jakarta Convention Center dimeriahkan sejumlah musisi dan kelompok musik, di antaranya Dwiki Darmawan, Balawan, dan Batuan Ethnic. Acara itu sendiri dibuka oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamen Parekraf), DR Sapta Nirwandar.

Pada kesempatan itu, Wamen Parekraf, mengharapkan festival bambu itu harus dikembangkan terus. Apalagi sejumlah daerah di Indonesia memiliki alat musik bambu yang khas. Alat musik bambu itu, tidak sebatas pada angklung saja. Ada suling, calung, kulintang dan lain-lain. Alat musik itu perlu dilestarikan dan diperkenalkan lewat kolaborasi dengan alat musik modern lainnya.

"Jadi, Indonesia itu sangat kaya dengan alat musik tradisional, termasuk yang terbuat dari bambu. Hanya, belakangan generasi muda banyak yang enggan mempelajarinya. Padahal alat musik bambu, suaranya sangat nikmat didengarkan. Seperti dalam musik jazz, alunan musiknya jadi lebih kaya dengan dimasukan alat musik bambu," tuturnya.(Mun/A-147)***

Badak Jawa Termasuk Paling Terancam Punah

Daftar 100 Flora dan Fauna Punah

 



SEOUL, (PRLM).- Pakar konservasi internasional mengeluarkan daftar baru 100 flora dan fauna yang paling terancam punah, termasuk badak Jawa dan bunglon Tarzan dari Madagaskar.

Daftar yang dikeluarkan Masyarakat Zoologi London (ZSL) dan Badan Konservasi Alam Internasional (IUCN) dikeluarkan dalam Kongres Konservasi Dunia di Pulau Jeju, Korea Selatan.

"Lebih dari setengah (dari 100 binatang yang paling dilindungi) mendapat sedikit atau tidak ada perhatian sama sekali," kata Profesor Jonathan Baillie, Direktur ZSL kepada kantor berita Reuters.

IUCN mengatakan dalam laporan berjudul "Priceless or Worthless?" (Berharga atau tidak berharga?) diharapkan dapat mengangkat pentingnya sejumlah flora dan fauna yang tidak diperhatikan.

Binatang seperti singa ataupun panda mendapatkan perhatian jauh lebih besar dibandingkan kadal, kata laporan itu.

Hilangnya habitat akibat meningkatnya jumlah penduduk dan faktor lain seperti rusaknya hutan, polusi, dan perubahan iklim semakin mengancam punahnya binatang dan tanaman.

Sejumlah binatang dan tanaman yang dianggap tidak mendapatkan perhatian termasuk anggrek hantu Kepulauan Cayman, pohon palem Madagaskar, monyet pigmi dari Panama, dan kadal Luristan yang hanya ditemukan di pegunungan Zagros di Iran, kata Baillie.

Ia mengatakan prioritas konservasi harus ditinjau ulang. "Kita perlu mencegah punahnya (flora dan fauna ini), dan mendanai negara-negara dalam jumlah miliaran dan bukan jutaan," kata IUCN dalam laporan itu tanpa menyebut bentuk mata uang.

Sejumlah langkah termasuk perluasan kawasan lindung atau larangan perburuan diperlukan, tambah laporan itu.

Laporan itu juga menyebutkan upaya konservasi sebelumnya membantu dalam mencegah kepunahan.
Larangan perburuan berhasil memulihkan populasi ikan paus humpback, yang kini diperkirakan berjumlah 60.000 ekor.

Perbiakan kuda Przewalksi yang sebelumnya nyaris punah kini berjumlah lebih dari 300 ekor dan hidup di hutan-hutan dari Ukraina sampai China. (bbc/A-88)***

Andris, Mengangkat Beras Garut Lewat Nasi Liwet Instan

Kamis, 13 September 2012 | 09:43 WIB

 TRIBUNJABAR 
Andris mengangkat pamor beras Garut melalui nasi liwet instan.  



KOMPAS.com - Di pasaran, beras asal Garut masih kalah pamor dengan beras Cianjur atau beras Thailand. Padahal, beras garut memiliki sejumlah kelebihan dibanding beras jenis lainnya.

Beras garut dikenal memiliki warna lebih putih, lebih pulen setelah dimasak, dan memiliki rasa manis, dibanding jenis beras lainnya. Namun, banyak pedagang yang menyembunyikan identitas beras Garut dan menggantinya dengan nama beras Cianjur yang tertera pada karungnya.

Kondisi inilah yang membuat Andris Wijaya (32), warga Desa Samarang, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, berusaha menaikkan pamor beras Garut tanpa menyembunyikan nama asli berasnya. Andris ingin masyarakat mengenal beras Garut dan menyukai beras tersebut.

Andris memang tidak bisa melakukan promosi besar-besaran untuk mempopulerkan beras garut. Namun, alumnus D3 Politeknik ITB Jurusan Teknik Mesin tahun 2001 ini memiliki sejumlah ide atau cara lain untuk mempopulerkan beras garut.

Minat warga luar Kabupaten Garut yang semakin tinggi dan berminat menjadikan Kabupaten Garut sebagai tujuan wisata dijadikan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Andris, beras Garut harus diolah dan dikemas sedemikian rupa sehingga jadi oleh-oleh favorit para wisatawan.

Berbekal resep nasi liwet keluarga, pengetahuan yang dimilikinya, dan minat wisatawan yang tinggi atas oleh-oleh khas Garut, Andris membuat nasi liwet instan.

Mesin heuleur milik almarhum ayahnya dia modifikasi menjadi mesin yang bisa menggiling padi menjadi lebih baik. Dengan penggilingan sebanyak tiga kali menggunakan mesin tersebut, beras Garut bisa matang dengan waktu memasak selama 20 menit saja.

Berbagai bumbu dan rempah resep keluarganya dikeringkan sehingga tidak dibutuhkan pengawet dan bisa bertahan sampai 8 bulan. Begitupun dengan pelengkap nasi liwet seperti ikan teri, asin jambal roti, petai, dan jengkol. Semuanya dikeringkan dan dikemas serapi dan sebersih mungkin.

Beras Garut, rempah, bumbu, minyak sayur, dan pelengkapnya, disusun dalam sebuah kemasan dus berlabel "Liwet 1001". Melaui sejumlah distributornya dan para wisatawan yang membeli produknya, Andris memasarkan beras Garut ke sejumlah kota besar di Indonesia. Bahkan, produknya dinikmati juga di Timur Tengah dan sejumlah negara Asia lainnya.

"Akhirnya tidak hanya dijadikan oleh-oleh. Tapi lebih banyak dikonsumsi warga kalangan menengah atas yang menyukai nasi liwet di restoran-restoran dan ingin memasaknya dengan cara praktis di rumah. Bahkan, nasi liwet ini sudah dipesan banyak oleh para calon haji," kata Andris saat ditemui di pusat produksi Liwet 1001 di Desa Samarang, Rabu (12/9/2012).

Untuk memasaknya, beras, bumbu, minyak sayur, dan pelengkapnya, tinggal dimasukkan ke penanak nasi elektronik (rice cooker). 250 gram beras liwet instan dimasak dalam 600 mililiter air selama 20 menit sedangkan 500 gram beras dimasak dalam 850 mililiter air selama 25 menit.

Setelah itu, nasi liwet pun bisa langsung dinikmati. Aroma dan rasa nasi liwet ini, tuturnya, tidak kalah dengan nasi liwet di restoran. Nasi dari beras Garut pun tersaji dengan keadaan pulen dan berukuran besar serta lezat.

Karenanya, sejumlah hotel dan restoran di Garut telah jadi pelanggan tetapnya. Minimal, hotel dan restoran itu memesan beras Garut dari tempatnya dan menggunakan bumbu liwet sendiri.

Andris yang meluncurkan produk tersebut pada Juli 2011 ini pun mendapat penghargaan dari Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, pada Anugerah Inovasi Jawa Barat (AIJB) 2012, kategori bidang pangan kategori perorangan. Ia pun semakin termotivasi memasarkan beras garut.

Kini Andris bisa memproduksi 2.000 produk Liwet 1001 per hari dan mendapat omzet Rp 20 juta per hari. Ia pun membina 200 petani padi di Kecamatan Samarang, Bayongbong, dan Tarogong, yang menanam beras garut jenis sarinah, serta mempekerjakan 60 warga di rumah industrinya. (sam/Tribun Jabar)
 
Editor : Erlangga Djumena