Selasa, 22 April 2014

Jetski Beroda Empat, Solusi di Tempat Banjir




JETFLYER, jetski yang bisa dikendarai di jalan setelah digunakan bermain di air. Namun bagi jalanan yang kerap banjir, justru menjadi kendaraan yang bisa menerjang genangan air.*
 
 
PRLM - Satu perusahaan di Austria menawarkan ide mengambil basis jetski dan memasangkan roda. Jadinya adalah jetski yang bisa dikendarai di jalan setelah digunakan bermain di air. Namun bagi jalanan yang kerap banjir, justru menjadi kendaraan yang bisa menerjang genangan air.

Kendaraan listrik itu bisa digunakan di darat sejauh 75 km untuk satu kali penyetruman.
Sejumlah perusahaan juga dikabarkan tertarik dengan rancangan jetski beroda itu, seperti perusahaan listrik, McDonald, Kantor Pos Jerman, dan bandara Wina.

Produk yang dinamai Jetflyer itu sama seperti jetski umumnya untuk digunakan di air. Namun yang membedakan adalah adanya roa yang bisa dikemudikan dan ada penggerak motor listrik.

Jetflyer bisa dipacu hingga kecepatan tertinggi 45 km/jam dan hanya membutuhkan waktu 1,5 jam untuk mengisi baterai hingga penuh, sehingga sangat menarik bagi perusahaan yang tidak mampu untuk memiliki kendaraan mereka absen untuk jangka waktu yang lama.

Manajer perusahaan Michael Ritt mengatakan, "Tahun ini kami akan meningkatkan produksi Jetflyer hingga 700 kendaraan, yang sebagian besar akan digunakan pelanggan di Swiss, Spanyol, Austria, dan juga dengan jumlah yang signifikan ke Jerman dan Turki." (A-88/orange)***

Morfologi



Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Sumber: Buku Morfologi (Suatu Tinjauan Deskriptif)
Penerbit: CV Karyono-Yogyakarta


Apakah Morfologi Itu?
Di samping kata sepeda terdapat kata bersepeda, sepeda-sepeda, sepeda motor; di samping kata rumah,terdapat kata berumah, perumahan, rumah-rumah, rumah-rumahan, rumah sakit; di samping kata jalan, terdapat kata berjalan, berjalan-jalan, jalan-jalan, perjalanan, menjalani, menjalankan, jalan raya, dan sebagainya.

Dari kata-kata tersebut dapatlah dikemukakan bahwa kata dalam bahasa Indonesia mempunyai berbagai bentuk. Kata sepeda terdiri dari satu morfem, sama halnya dengan kata rumah dan jalan;  kata bersepeda terdiri dari dua morfem; ialah morfem ber- sebagai afiks, dan morfem sepeda sebagai bentuk dasarnya. Demikian pula kata berumah dan berjalan, -masing-masing terdiri dari dua morfem, ialah morfem ber – sebagai afiks, dan morfem rumah, jalan, sebagai bentuk dasarnya.  Kata sepeda-sepeda terdiri dari dua morfem ialah morfem sepeda sebagai bentuk dasar, diikuti morfem sepeda sebagai morfem ulang. Demikian pula kata rumah-rumah, dan jalan-jalan, terdiri dari dua morfem, ialah morfem rumah dan jalan, diikuti morfem ulang.  Kata sepeda motor terdiri dari dua morfem, ialah morfem sepeda dan morfem motor, yang masing-masing merupakan kata. Demikian pula kata rumah sakit dan jalan raya.  Kata perumahan terdiri dari dua morfem, ialah morfem per-an sebagai afiks dan morfem rumah sebagai bentuk dasar. Demikian pula kata perjalanan, terdiri dari dua morfem, ialah morfem per-an sebagai afiks dan morfem jalan sebagai bentuk dasar. Kata rumah-rumahan terdiri dari tiga morfem, ialah morfem rumah sebagai bentuk dasar, diikuti morfem rumah sebagai morfem ulang dan morfem –an sebagai afiks. Kata berjalan-jalan terdiri dari tiga morfem, ialah morfem ber- sebagai morfem afiks, morfem jalan yang bersama-sama dengan morfem ber- merupakan bentuk dasar, dan morfem jalan yang kedua yang merupakan morfem ulang. Kata menjalani terdiri dari tiga morfem, ialah morfem meN- sebagai afiks, morfem jalan sebagai bentuk asal, dan morfem –i sebagai afiks. Yang terakhir, kata menjalankan terdiri dari tiga morfem, ialah morfem meN- sebagai afiks, morfem jalan sebagai bentuk asal, dan morfem –kan sebagai afiks. Soal-soal yang berhubungan dengan bentuk kata itulah yang menjadi objek dari suatu ilmu yang lazim disebut morfologi.

Perubahan-perubahan bentuk kata menyebabkan adanya perubahan golongan dan arti kata. Golongan kata sepeda tidak sama dengan golongan kata bersepeda. Kata sepeda termasuk golongan kata nominal, sedangkan kata bersepeda termasuk golongan kata verbal. Demikian pula golongan kata rumah dan jalan, misalnya dalam kalimat, Rumah itu disewakan dan Jalan itu sangat licin, berbeda dengan golongan kata berumah dan berjalan. Kata rumah dan jalan termasuk golongan kata nominal, sedangkan data berumah dan berjalan termasuk golongan kata verbal.

Di bidang arti, kata-kata sepeda, bersepeda, sepeda-sepeda, dan sepeda motor, semuanya mempunyai  arti yang berbeda-beda. Demikian pula kata-kata rumah, berumah, perumahan, rumah-rumah, rumah-rumahan, rumah sakit, dan kata-kata jalan, berjalan, berjalan-jalan, jalan-jalan, perjalanan, menjalani, menjalankan, dan jalan raya.

Perbedaan golongan dan arti kata-kata tersebut tidak lain disebabkan oleh perubahan bentuk kata. Karena itu, maka morfologi, di samping bidangnya yang utama menyelidiki seluk-beluk bentuk kata, juga menyelidiki kemungkinan adanya perubahan bentuk kata.

Dengan ringkas dapatlah dikatakan bahwa morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-belum bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata lain, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.


Morfologi dan Leksikologi
Leksikologi merupakan seluk-beluk kata, ialah mempelajari perbendaharaan kata dalam suatu bahasa, mempelajari pemakaian kata serta artinya seperti dipakai oleh masyarakat pemakai bahasa. Misalnya kata masak. Kata ini mempunyai berbagai arti dalam pemakaiannya, seperti yang dijelaskan dalam kamus, sebagai berikut:
1.      ‘Sudah sampai tua hingga boleh dipetik, dimakan, dsb’. Misalnya Buah yang masak di pohon.
2.      ‘Sudah jadi (tentang masakan)’. Misalnya Meskipun sudah sejam direbus, belum masak juga ubi ini.
3.      ‘Sudah selesai, sudah dipikirkan’. Misalnya Adunan ini belum masak; Bangsa kita dianggapnya belum masak.
4.      ‘Mengolah, membuat penganan’. Misalnya Masak kue lapis.

Selanjutnya diterangkan pula arti kata bentukan dari kata tersebut. Kata masak-memasak berarti ‘hal atau urusan memasak makanan, dan sebagainya’ ; memasakkan artinya ‘memasak untuk orang lain’, mungkin juga berarti ‘menjadikan masak’; masakan berarti ‘barang apa yang dimasak, seperti lauk-pauk, makanan, dan sebagainya’; pemasak berarti ‘orang yang memasak’. Mungkin juga berarti ‘alat untuk memasak’; pemasakan berarti ‘hal memasak’.

Meskipun leksikologi maupun morfologi mempelajari masalah arti, tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Perbedaannya ialah bahwa morfologi mempelajari arti yang timbul sebagai akibat peristiwa gramatik, ialah yang biasa disebut arti gramatik (grammatical meaning) atau makna, sedangkan leksiologi mempelajari arti yang lebih kurang tetap yang terkandung dalam kata, atau yang lazim disebut arti leksikal (lexical meaning). Sebagai contoh, di samping kata rumah terdapat kata berumah. Kedua kata tersebut masing-masing memiliki arti leksikal. Kata rumah berarti ‘bangunan untuk tempat tinggal’, ‘bangunan pada umumnya’, dan kata berumah  berarti ‘mempunyai rumah’, ‘diam’, ‘tinggal’.  Arti leksikal dan pemakaian kata tersebut dibicarakan dalam leksikologi, sedangkan dalam morfologi dibicarakan perubahan bentuknya, dari rumah menjadi berumah, perubahan golongannya, dari kata nominal menjadi kata verbal, serta perubahan arti yang timbul sebagai akibat melekatnya afiks ber-  pada rumah, ialah timbulnya makna ‘mempunyai’ atau ‘memakai, mempergunakan’.

Minggu, 20 April 2014

Curug Omas

Pikiran Rakyat 17022103


Di tengah padatnya aktivitas kota, Bandung masih memiliki tempat-tempat yang menyuguhkan keindahan dan kesejukan alam. Taman Hutan Raya (Tahura) yang terletak di kawasan Dago adalah satunya. Sekitar lima kilometer dari gerbang IV Tahura, para pengunjung akan disambut keindahan pemandangan bukit-bukit kecil yang membentang luas dan juga fenomena air terjun dari aliran Sungai Cikawari.



Salah satu air terjun yang memesonakan di sana adalah Curug Omas. Tak ada yang tahu pasti mengapa air terjun ini diberi nama Curug Omas. Namun, kamus Sunda lama memaknai omas sebagai bilangan 400 dan sering dipergunakan untuk menyebut sesuatu yang berjumlah banyak. Bila jumlahnya lebih banyak lagi, maka akan disebut domas (dari kata dua omas). Adapun yang mengatakan nama Curug Omas dipergunakan kerena rupa kawasan ini yang bila dilihat pada bagian Sungai Ci Gulung tampak memiliki banyak jeram yang berujung di Curug Omas. Di sini pun masih terdapat tingkatan-tingkatan curug sebelum akhirnya aliran Ci Gulung bergabung dengan Ci Kapundung yang berada di bawahnya.



Air terjun Curug Omas ini terbentuk oleh aliran lava basalt yang membeku lalu membentuk tingkat-tingkat setinggi kurang lebih 30 meter. Ketika dialiri air (dari mata air, hujan, dan sebagainya), tingkatan-tingkatan yang membeku tersebut menjadi aliran Sungai Ci Gulung dan air terjun yang indah. Berbeda dengan air terjun lainnya, Curug Omas dapat dinikmati pengunjung dari atas ataupun dari depan air terjun.



Dua jembatan gantung yang sudah tua berdiri kokoh pada bagian atas dan bawah air terjun sebagai sarana untuk melintasi Curug Omas. Jembatanpertama yang berada di atas Curug Omas akan memacu adrenalin pengunjung yang melintasinya, karena di sini pengunjung dapat merasakan ketinggian air terjun yang deras setinggi kurang lebih 30 meter. Pengunjung yang melintasi jembatan akan merasakan dan menikmati air terjun yang penuh dengan pesona.



Pada jembatan kedua, pengunjung dapat melihat air terjun dari arah depan serta hamparan dasar sungai yang merupakan pertemuan dua aliran Sungai Cikawari dan aliran Sungai Ci Gulung. Dua pertemuan aliran sungai ini merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung hulu yang mengalir dan berbelok membelah kawasan Tahura. (Mayang Ayu Lestari/Periset “PR”)***


Lokasi
:
Kompleks Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Dago Pakar) Bandung
Pengelola
:
Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Dinas Kehutanan, Provinsi Jawa Barat
Tinggi Curug

30 meter
Kedalaman Curug
:
10 meter

Curug Bojong, Niagara Versi Kecil di Pangandaran

Belum Banyak Diketahui

 

WISATAWAN sedang berjalan di aliran Sungai Cibojong dengan latar belakang Curug Bojong, yang ada di Dusun Cihandiwung, Desa Sukahurip, Kecamatan/Kabupaten Pangandaran, Rabu (16/4/2014). Curug Bojong diakui banyak orang sebagai Niagara versi kecil.*
 
 
PARIGI, (PRLM).- Ada objek wisata baru di Kabupaten Pangandaran saat ini. Banyak orang menyebut tempat tersebut adalah Niagara versi kecil.

Tempat tersebut adalah Curug Bojong, Dusun Cihandiwung, Desa Sukahurip, Kecamatan/Kabupaten Pangandaran. Objek wisata itu baru resmi dibuka pada September 2013. Namun, sejak dibuka untuk umum, masih banyak orang tidak mengetahuinya.

Keindahan dari objek tersebut adalah Curug Bojong. Tebing indah itu memiliki ketinggain 30 meter, dengan lebar 35 meter. Kemudian kedalaman air pada tebingnya mencapai delapan meter. Sedangkan lebar dari aliran Sungai Cibojong tersebut empat meter.

Pengunjung yang datang ke lokasi tersebut adalah untuk beraktifitas di Curug Bojong. Mereka bisa berenang di kolam batu alami, dan juga berelaksasi di sana.

Lokasi tersebut berjarak sekitar enam kilometer dari Objek Wisata Pantai Pangandaran, atau empat kilometer dari Jalan Raya Pangandaran tepatnya dari Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran. (A-195/A_88)***

Jumat, 18 April 2014

Peretas



Pikiran Rakyat 10032013

Oleh: Dindin Samsudin
(Pemerhati bahasa, staf teknis Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat)

Pascarusaknya laman resmi Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu, kata peretas ramai dibicarakan di media massa. Ketika peretas ramai dibicarakan, saya tertarik untuk menelaah istilah ini. Peretas sebenarnya bukanlah istilah baru karena kata ini bersamaan dengan scan-“pindai”, homepage-“laman”, download-“unduh”, upload-“unggah”, dan slide-“salindia” sudah tercantum dalam Instruksi Presiden  Nomor 2 Tahun 2001 tentang Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia. Menurut Inpres tadi, peretas merupakan padanan baku untuk istilah bahasa Inggris hacker. Dalam Glosarium Istilah Asing-Indonesia terbitan Pusat Bahasa Tahun 2006 juga sudah muncul istilah peretas sebagai padanan hacker.

Sebenarnya, apa makna asal dari peretas? Peretas berasal dari kata dasar retas yang dilekati awalan pe- yang bermakna “pelaku”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  retas bermakna: sudah putus benang jahitannya; terbuka jahitannya (kelimnya dsb.): jangan memakai pakaian yang sudah retas. Kemudian, dalam KBBI juga dituliskan beberapa sublema dari retas: meretas: 1. memutuskan benang-benang pada jahitan: meretas kelim 2. membuka (surat) dengan piasu; 3. membedah atau membelah kulit (karung dsb.): karena putus asa, ia meretas perutnya sendiri dengan sebilah pisau; 4. menebangi pohon untuk membuat jalan; merintis; merentas; 5. Menembus dengan merusak dinding dsb; 2. alat yang dipakai untuk meretas sesuatu; peretasan: perlakuan pendahuluan untuk memperlunak atau menipiskan kulit benih. Selain bermakna sudah putus benang jahitannya dan terbuka jahitannya (kelimnya dsb.), dalam KBBI juga dituliskan makna lain dari retas yang digunakan dalam bidang geografi dan geologi: tubuh batuan beku yang menerobos dengan memotong batuanlain.

Dalam keseharian, penggunaan kata peretas banyak dijumpai dalam berita yang berkaitan dengan kriminal. Perhatikan beberapa kalimat yang penulis kutip dari media berikut: “Pemerintah dituntut untuk serius melakukan perlawanan terhadap peretas situs resmi pemerintah yang belakangan semakin marak”; “Peretas Situs SBY Terancam Penjara 12 Tahun & Denda Rp12 Miliar”. Akan tetapi, benarkah peretas selalu berkonotasi negatif dan tercela?

Dalam Wikipedia, peretas (Inggris: hacker) adalah orang yang mempelajari, menganalisis, memodifikasi, menerobos masuk ke dalam komputer dan jaringan komputer, baik untuk keuntungan maupun dimotivasi oleh tantangan. Kata bahasa Inggris hacker sendiri pertama kalinya muncul dalam arti positif yaitu untuk menyebut seorng anggota yang memiliki keahlian dalam bidang komputer dan mampu membuat program komputer yang lebih baik daripada yang telah dirancang bersama.

Pada tahun 1983, istilah hacker mulai berkonotasi negatif setelah untuk pertama kalinya FBI menangkap kelompok kriminal komputer “The 414s” yang berbasis di Milwaukee, Amerika Serikat. Kelompok yang kemudian disebut hacker tersebut dinyatakan bersalah atas pembobolan 60 unit komputer milik Pusat Kanker Memorial Sloan-Kettering hinga komputer milik Laboratorium Nasional Los Alamos.

Menurut Wikipedia, peretas memiliki konotasi negatif karena kesalahpahaman masyarakat akan perbedaan istilah hacker dan cracker. Banyak orang memahami bahwa peretaslah yang mengakibatkan kerugian pihak tertentu seperti mengubah tampilan suatu situs web (defacing) dan menyisipkan kode-kode virus, padahal yang seperti itu sebenarnya adalah cracker. Cracker-lah yang menggunakan celah-celah keamanan yang berlum diperbaiki oleh pembuat perangkat lunak (bug) untuk menyusup dan merusak suatu sistem.

Berdasarkan penjelasan Wikipedia tadi, peretas merupakan orang-orang yang jenius dan tidak semua peretas melakukannya untuk tindak kejahatan walaupun memang ada di antara mereka yang iseng membuat virus yang dapat merusak komputer dan menghancurkan semua file yang telah disimpan di dalamnya.

Berdasarkan hal tersebut, tampaknya dalam Bahasa Indonesia perlu juga dibuat padanan baru (khusus) untuk istilah cracker. Hal ini perlu dilakukan untuk membedakan istilah antara hacker dan cracker sehingga tidak salah salam pemaknaan.

Membawa Angklung Keliling Dunia



Taufik Hidayat Udjo


Pikiran Rakyat 10032013

 
Taufik Hidayat Udjo (Harry Surjana/"PR")

Dilahirkan sebagai anak seniman besar yang membesarkan alat musik tradisional angklung, Udjo Ngalagena, bukan berarti otomatis langsung mencintai angklung. Alih-alih mencintai, Taufik Hidayat (48), anak kesembilan dari sepuluh bersaudara purtar Udjo Ngalagena ini, awalnya malah tidak menyukai angklung. Namun, seperti kata pepatah Sunda “Cikaracak ninggang batu, lila lila jadi legok” (air menetas terus-menerus di atas batu, lama-lama batu pun jadi berlubang), begitu juga yang terjadi kepada Taufik.

Taufik awalnya tidak menyukai angklung. Namun, karena di lingkungan sekitarnya hampir setiap hari melihat dan mendengar orang bermain angklung, maka sedikit-demi sedikit rasa cinta terhadap alat musik dari bambu itu pun tumbah di hati Taufik. Terlebih sang ayah juga kerap mengajari anak-anaknya memainkan angklung. Bahkan tak jarang pelajaran yang diberikan berlangsung hingga larut malam. “Sampai-sampai saat itu, kami tak memiliki kamar masing-masing karena digunakan untuk pertunjukan dan segala keperluan angklung,” ujar Taufik ketika ditemui di “Saung Angklung Udjo” (28/2).

Taufik salut akan keteguhan orang tuanya dalam menjaga kelestarian seni angklung ini. Semangatnya pun terpacu ketika mendengar perkataan ayahnya di hadapan para wisatawan asing yang datang ke Saung Udjo. “Anda lihat kami bermain angklung, suatu saat akan mendunia,” ungkap Udjo saat itu.

Setelah Udjo Ngalagena meninggal dunia, Taufik dipercaya untuk mengelola Saung Udjo. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan seni yang diwariskan orangtuanya, dipadu dengan jiwa entepreneur dari latar pendidikannya di bidang ekonomi, Taufik ingin meneruskan semangat sang ayah sekaligus membuktikan apa yang telah diungkapkan ayahnya saat itu. Dan dia berhasil, alat musik angklung saat ini telah mendunia, dan diakui UNESCO sebagai budaya milik bangsa Indonesia. Taufik pun telah membawa rombongan angklungnya untuk tampil di mancanegara. “Saya hanya ingin memelihara budaya, lingkungan, dan pendidikan lewat angklung, sedangkan masalah bisnis hanya dampaknya saja”, kata jebolan STIE angakatan 1984 ini.

Padahal, jika saja mau berkhianat kepada negeri sendiri,ia bersama seluruh warga Saung Udjo, bisa pindah bedol desa ke salah satu negeri. Mereka dijanjikan akan diberi fasilitas ynag dan tempat khusus di suatu pulau. Namun, Taufik bersama pemain, perajin angklung, dan yang terlibat di Saung Udjo, seperti sudah menyatu. Angklung dan saung Udjo sudah menjadi bagian napas hidup, sudah mendarah daging. Betapa tidak, mereka telah menjalani kehidupan dengan Saung Udjo secara turun-temurun. Ada sekitar 450 jiwa yang terlibat berkiprah di Saung Udjo.

“Anak-anak yang memainkan pertunjukan angklung di sini, sejak dalam kandungan ibu mreka sudah ikut bermain, karena ibu-ibu mereka dulu pemain angklung sehingga mereka tak sulit menguasai kesenian angklung ini,” kata Taufik.
Saat ini, kata Taufik, di Saung Udjo digelar tak kurang dari 1500 pertunjukan per tahunnya. “Saya kelola semuanya dengan kecintaan jaditak terasa melelahkan,” kata Taufik Hidayat Udjo mengungkapkan kiatnya mengelola Saung Angklung Udjo ini.

Ditambahkannya, saat berada di mana pun ia selalu menyerap gagasan buat kemajuan kawasan wisata seni yang dikelolanya. Meski telah menjadi bos di kawasan wisata yang banyak menarik pengunjung turis domestik maupun mancanegara itu, ayah tiga anak ini tetap terjun langsung membenahi yang terasa kurang.

“Makanan kecil yang disajikan di (Saung Udjo) adalah makanan khas Jawa Barat. Ini sebagai upaya untuk memelihara alam dan memberdayakan lingkungan sekitar sini, sehingga warga tak hanya sekadar jadi penonton atau terganggu lalu-lalang mobil yang masuk dan keluar Saung,” kata pria yang hobi nonton pertunjukan seni dan berenang serta fitness ini.

Etalase seni
Keberadaan Saung Udjo di tangan Taufik banyak melahirkan inovasi dan kreasi. “Saya ingin tempat ini menjelma menjadi etalase seni Jawa Barat, jadi Taman Mini-nya lah serperti itu. Jadi bukan pertunjukan seni angklung saja, tetapijuga seni lain termasuk kerajinan di tatar Sunda yang sangat kaya ini,“ tuturnya.

Dari keadaan ini pula, Saung Udjo diusahakan tetap membuta pertunjukan yang menarik. Bagi Taufik, orang menyenangi angklung bukan sekadar seperti ungkapan “Tak kenal maka tak sayang”. Namun,ketika orang sudah mengenal angklung maka harus lebih mencintai angklung.

Cetusan pemikiran Taufik ini berawal dari sebuah peristiwa krisis moneter yang berujung huru-hara dan pergantian pemerintahan di Indonesia pada tahun 1998. Imbas peristiwa itu juga melanda dunia pariwisata di Indonesia. Tak terkecuali Saung Udjo yang banyak dikunjungi wisatawan mencanegara. Padahal saat itu, kunjungan turis asing sedang booming ke Saung Udjo.

Setelah peristiwa kejatuhan rezim Soeharto,Saung Udjo nyaris sepi pengunjung sampai dengan tahun 2000. “Ada sepuluh orang pun sudah dianggap bagus.” kata Taufik, yang kemudian mengolah talenta seni dan bisnisnya untuk membangkitkan kembali Saung Udjo terutama angklung. Maka sebagai anak muda, pilihan yang paling mudah lewat internet.

Namun, keberadaan internet saat itu, masih terbatas dengan berbagai laman jejaring sosial. Meski begitu, ia memanfaatkan yang ada. “Saya menjalin pertemanan dan chatting dengan berbagai kalangan, terutama remaja, bahwa saya seolah-olah seorang anak SMA yang baru berkunjung ke Saung Udjo”, tutur Taufik.

Kiprahnya yang terasa lucu tetapi menyedihkan ini, lambat laun membuahkan hasil. Satu dua orang anak  remaja berpakaian SMA mulai berdatangan. “Saya langsung mendekatinya,sehingga waktu itu, saya multiperan. Ya, sebagai pimpinan pengelola, ya sebagai PR (public relation). Sedangkan malamnya saya berperan sebagai remaja yang baru berkunjung ke sini,” katanya sambil tertawa.
Dengan keinginannya untuk lebih menyentuh kalangan muda, ia mulai mengadakankolaborasi dengan sejumlah artis yang digandrungi remaja waktu itu. Misalnya Titi DJ, dan paling “menghebohkan” ketika menggaet artis Sherina, yang saat itu sedang naik daun setelah filmnya “Petualangan Sherina”.

Lebih mengharukan lagi, pertunjukan di Sabuga yang dipenuhi penonton itu,kembali menghidupkan kesenian angklung di mata remaja. Bahkan Sherina menghadiahkan hasil penjualan tiket pertunjukannya untuk Saung Udjo.

Sebagai penerus keberadaan Saung Udjo, ada yang ingin diwujudkan Taufik Hidayat, yaitu membangun museum angklung. Inilah yang ingin diminta bantuan pda dinas terkait pemerintah. Dengan demikian, sebagai bentuk kesenian, angklung dapat ditelusuri awalnya. Mulaiangklung buhun sampai dengan bentuk angklung yang sekarang. Dalam museum itu, katanya, bukan hanya wujud alat seni angklung, tetapi juga ada video pertunjukan angklung serta pernak-pernik tentang angklung.

Taufik juga mengharapkan, akses jalan masuk dan tempat parkir, serta lahan penanaman bambu untuk bahan pembuatan angklung. Saat ini, ada sekitar seratus pembuat angklung yang dikerjakan secara home industry.

Selain itu, dalam hatinya ada kegundahan tersendiri pada lingkungan tempat wisata Saung Udjo. Ia berharap, jangan sampai hadir hotel berbintang di dekatnya. Sehingga akan merusak keasriannya. Sekarang “keberadaan” Saung Udjo dari  lahan yang awalnya kecil, kini telah berkembang seluas 1,2 ha. “Kalau orang lain membeli lahan hijau dibangun rumah,sebaliknya Saung Udjo membeli rumah jadi lahan hijau,” katanya.

Namun, ia mengungkapkan, ketersediaan air di sini tergantung di hulunya yang keadaanya semakin mengkhawatirkan. “Saung Udjo agak kesulitan air manakala kemarau, sedangkan musim hujan terkena banjir,” katanya.

Jika terjadi, sungguh sangat ironis. Bagaimanapun, sebagai pagar budaya, keberadaan Saung Udjo menjadi tempat wisata satu-satunya yang telah siap dengan segala infrastruktur dan pertunjukannya di Kota Bandung. (Ahmad Yusuf/”PR”)

Biodata Taufik Hidayat Udjo
Tempa, tanggal lahir
:
Bandung, 26 Februari 1966
Istri
:
Wiwin Setiawati
Anak
:
Muharam Rizky


Kamila Putri Hidayat


Karina Chainull Nisa
Pendidikan
:
STIE YPKP Bandung
Jabatan
:
Direktur PT Saung Angklung Udjo


Pementasan Anglung di berbagai negara di lima benua antara lain: Malaysia, Singapura, China, Belanda, Inggris, Jerman, Yugoslavia, Rusia, Ukraina, Uzbekistan, Aljazair, Afrika, dan Argentina