Sabtu, 31 Mei 2008

Kebun Binatang Tambah Koleksi


PETUGAS memberi makan anak singa afrika "Panthera leo", Marsa (2 bulan), di Kebun Binatang Bandung Jln. Tamansari Kota Bandung, Jumat (30/5).* USEP USMAN NASRULLOH



BANDUNG, (PR).-

Masyarakat Kota Bandung akan mendapat pengalaman baru ketika berkunjung ke Kebun Binatang Bandung. Sedikitnya 14 ekor hewan lahir dan menambah keragaman koleksi KBB. Pengelola satwa dan nutrisi KBB, drh. Fathul Bari, menyatakan hal itu ketika ditemui di KBB, Jln. Tamansari, Bandung, Jumat (30/5).

Anggota keluarga baru itu terdiri atas 2 ekor unta, 1 singa, 1 rusa sambar, 1 nilgai (sejenis rusa dari India), 1 rusa timor, 4 kambing benggala, dan 4 lutung. Kehadiran para anggota keluarga hewan yang baru melengkapi koleksi KBB yang berjumlah 1.140 ekor. Populasi hewan didominasi unggas 570 ekor, rusa, dan koleksi mamalia lainnya.

Ia menjelaskan, bayi lutung hanya diperbolehkan mengonsumsi susu formula dengan kadar glukosa yang rendah sampai usia enam bulan. Hal itu untuk menghindari diare yang dapat mematikan. Makanan pendamping baru dapat diberikan setelah kondisi tubuhnya benar-benar fit dan bisa melakukan proses makan secara mandiri.

Sementara itu, unta termasuk jenis hewan yang mudah beradaptasi dengan lingkungan. Tidak terjadi perontokan bulu ataupun perubahan bentuk proporsi tubuh. Namun, habitat unta lebih cocok berkembang biak pada suhu panas. Untuk menyiasati hal itu, diberikan alas tidur berupa pasir laut yang bisa menjadi penghangat tubuh.

Menurut Fathul, semua koleksi hewan baru merupakan hasil pembuahan dan lahir di KBB. "Mungkin, habitat ciptaan di KBB membuat mereka nyaman untuk berkembang biak dan membesarkan keturunannya. Hal itu juga menjadi keuntungan KBB karena tidak perlu melakukan hunting koleksi hewan ke pihak luar ataupun melakukan pertukaran hewan dengan kebun binatang lain," ujarnya.

Ke depan, KBB sedang mengajukan permohonan ke Taman Safari untuk mendatangkan zebra betina sehingga diharapkan menambah populasi zebra yang ada.

Kesejahteraan hewan
Selain menambah koleksi hewan, pengelola KBB juga sedang memfokuskan untuk perbaikan dan perluasan kandang yang lebih representatif. "Pembangunan kandang baru menjadi hak bagi hewan mendapatkan kesejahteraannya (animal welfare). Kami mencoba membuat kandang yang lebih hewani dan mendekati seperti habitat asli," katanya.

Untuk mempertahankan dan menambah keanekaragaman hewan di KBB, pengunjung diharapkan tidak memberi makanan yang menyalahi aturan. Semua kebutuhan nutrisi hewan diperhitungkan dan diberikan sesuai dengan jenisnya. Dengan begitu, pengunjung tidak perlu lagi memberi makanan tambahan kepada mereka agar tidak terkena diare. (A-158)***

Mars' Water Appears To Have Been Too Salty To Support Life


A new analysis of the Martian rock that gave hints of water on the Red Planet -- and, therefore, optimism about the prospect of life -- now suggests the water was more likely a thick brine, far too salty to support life as we know it. (Credit: NASA, J. Bell (Cornell U.) and M. Wolff (SSI))


ScienceDaily (May 30, 2008) — A new analysis of the Martian rock that gave hints of water on the Red Planet -- and, therefore, optimism about the prospect of life -- now suggests the water was more likely a thick brine, far too salty to support life as we know it.

The finding, by scientists at Harvard University and Stony Brook University, is detailed May 30 in the journal Science.

"Liquid water is required by all species on Earth and we've assumed that water is the very least that would be necessary for life on Mars," says Nicholas J. Tosca, a postdoctoral researcher in Harvard's Department of Organismic and Evolutionary Biology. "However, to really assess Mars' habitability we need to consider the properties of its water. Not all of Earth's waters are able to support life, and the limits of terrestrial life are sharply defined by water's temperature, acidity, and salinity."

Together with co-authors Andrew H. Knoll and Scott M. McLennan, Tosca analyzed salt deposits in four-billion-year-old Martian rock explored by NASA's Mars Exploration Rover, Opportunity, and by orbiting spacecraft. It was the Mars Rover whose reports back to Earth stoked excitement over water on the ancient surface of the Red Planet.

The new analysis suggests that even billions of years ago, when there was unquestionably some water on Mars, its salinity commonly exceeded the levels in which terrestrial life can arise, survive, or thrive.

"Our sense has been that while Mars is a lousy environment for supporting life today, long ago it might have more closely resembled Earth," says Knoll, Fisher Professor of Natural Sciences and professor of Earth and planetary sciences at Harvard. "But this result suggests quite strongly that even as long as four billion years ago, the surface of Mars would have been challenging for life. No matter how far back we peer into Mars' history, we may never see a point at which the planet really looked like Earth."

Tosca, Knoll, and McLennan studied mineral deposits in Martian rock to calculate the "water activity" of the water that once existed on Mars. Water activity is a quantity affected by how much solute is dissolved in water; since water molecules continuously adhere to and surround solute molecules, water activity reflects the amount of water that remains available for biological processes.

The water activity of pure water is 1.0, where all of its molecules are unaffected by dissolved solute and free to mediate biological processes. Terrestrial seawater has a water activity of 0.98. Decades of research, largely from the food industry, have shown that few known organisms can grow when water activity falls below 0.9, and very few can survive below 0.85.

Based on the chemical composition of salts that precipitated out of ancient Martian waters, Tosca and his colleagues project that the water activity of Martian water was at most 0.78 to 0.86, and quite possibly reaching below 0.5 as evaporation continued to concentrate the brines, making it an environment uninhabitable by terrestrial species.

"This doesn't rule out life forms of a type we've never encountered," Knoll says, "but life that could originate and persist in such a salty setting would require biochemistry distinct from any known among even the most robust halophiles on Earth."

The scientists say that the handful of terrestrial halophiles -- species that can tolerate high salinity -- descended from ancestors that first evolved in purer waters. Based on what we know about Earth, they say that it's difficult to imagine life arising in acidic, oxidizing brines like those inferred for ancient Mars.

"People have known for hundreds of years that salt prevents microbial growth," Tosca says. "It's why meat was salted in the days before refrigeration."

Tosca and Knoll say it's possible there may have been more dilute waters earlier in Mars' history, or elsewhere on the planet. However, the area whose rocks they studied -- called Meridiani Planum -- is believed, based on Mars Rover data, to have been one of the wetter, more hospitable areas of ancient Mars.

Tosca, Knoll, and McLennan's work was supported by NASA and the Harvard Origins of Life Project.
http://www.sciencedaily.com/releases/2008/05/080529141404.htm

Wanita Polisi

UNTUK menguji kebenaran kata-kata atau istilah dalam bahasa Indonesia, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, antara lain prinsip analogi ataupun kesejajaran dengan bentuk-bentuk serupa yang sudah teruji kebenarannya. Dengan cara ini akan diketahui apakah suatu kata atau istilah sudah benar atau belum.

Saya tiba-tiba merasa tergelitik untuk membandingkan sebutan atau istilah wanita pengusaha (seperti tercantum dalam organisasi Iwapi, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) dan polisi wanita yang lazim disingkat polwan. Tampak sekali ada ketidaksejajaran. Yang satu, kata wanita-nya disimpan di depan (wanita pengusaha), sedangkan yang satu lagi disimpan di belakang (polisi wanita). Lalu apa bedanya? Dua-duanya kan sama-sama profesi. Saya langsung berpikir, mungkin ada yang salah dalam proses pembentukannya.

Coba kita urai maknanya. Wanita pengusaha adalah wanita yang berprofesi sebagai pengusaha. Rupanya kaum wanita yang bernaung dalam organisasi itu sangat berhati-hati saat memilih kata ataupun frasa yang akan digunakan sebagai nama organisasi tersebut. Boleh dikatakan, mereka sudah amat memerhatikan seluk-beluk bahasa. Mereka tentu menghindari penggunaan istilah pengusaha wanita karena artinya bisa rancu. Jangan-jangan nanti diartikan sebagai pengusaha yang mengeksploitasi wanita atau menjadikan wanita sebagai objek untuk memperoleh keuntungan. Cara berpikir seperti ini sudah tepat karena mereka tentu membandingkannya dengan frasa atau istilah pengusaha konfeksi, pengusaha tekstil, pengusaha mobil sewaan, pengusaha jasa boga, dan lain-lain. Kita kupas salah satu contoh itu. Pengusaha konfeksi adalah pengusaha yang bergerak di bidang pembuatan (dan penjualan) pakaian jadi, biasanya tanpa pesanan terlebih dahulu. Dengan demikian, kelangsungan usahanya akan sangat ditentukan oleh keberhasilannya menjaga kualitas produk pakaian jadi (dan proses penjualannya). Pemilihan frasa wanita pengusaha sudah sangat tepat karena artinya tegas, yakni wanita yang berprofesi sebagai pengusaha, dan tidak akan ada arti lain seperti yang dikhawatirkan itu.

Bagaimana dengan polisi wanita? Tulisan ini tidak punya tendensi apa-apa. Saya hanya ingin mengkajinya dari segi kebahasaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak akan sulit mengidentifikasi polisi wanita sebagai polisi yang berjenis kelamin wanita. Namun dari segi kebahasaan, dengan proses morfologis seperti diulas di atas, arti itu tidak tercapai. Ada baiknya kita gunakan pula cara berpikir analogis, dengan menggunakan prinsip kesejajaran dengan frasa atau istilah lain yang sudah teruji kebenarannya. Sebut saja polisi perairan dan udara (polairud) ataupun polisi lalu lintas (polantas). Kata atau kata-kata yang mengikuti kata polisi itu menjelaskan bidang tugas mereka. Polairud adalah polisi yang tugas utamanya memantau dan menjaga keamanan di perairan dan udara. Polisi lalu lintas adalah polisi yang bertanggung jawab atas kelancaran lalu lintas. Lalu polisi wanita? Apakah polisi yang mengurus kepentingan wanita? Tentu saja tidak. Dari kajian kebahasaan ini, tampak ada kesalahan (secara morfologis) dalam proses pembentukan frasa atau istilah polisi wanita itu. Hampir pasti, istilah yang benar adalah wanita polisi (wanpol) yakni wanita yang berprofesi sebagai polisi. Penggunaan istilah ini tidak akan menimbulkan interpretasi lain seperti terjadi pada polisi wanita (polwan). Sebutan wanita polisi (wanpol) juga sejajar dengan sebutan untuk rekan-rekan mereka, yakni Wanita Angkatan Udara (Wara), Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal), dan Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad), bukan korps angkatan darat wanita.

Yang menjadi pertanyaan, masih mungkinkah mengubah polwan menjadi wanpol? Boleh jadi ini cukup sulit karena menyangkut kebijakan pimpinan Polri, dan kita juga tahu betapa sulitnya mengubah hal yang sudah "mapan". Namun demikian, siapa tahu dengan ulasan ringan ini ada pimpinan Polri yang bersedia memikirkannya. Semoga.

IMAM JAHRUDIN PRIYANTO
Redaktur Bahasa "Pikiran Rakyat"

Keruntuhan Peradaban Air





PERADABAN manusia dimulai dengan peradaban air. Sejarah umat manusia dimulai dengan peradaban peramu dan pemburu yang usianya ratusan ribu tahun. Kecenderungan peradaban ini adalah konsumsi. Manusia hidup dari memangsa apa yang disediakan alam raya. Akan tetapi, alam begitu perkasa dan kaya sehingga manusia yang jumlahnya belum begitu banyak dapat menyusu alam raya dengan merdeka.

Planet bumi masih hijau dan alam raya masih perkasa. Bumi belum ditaklukkan manusia. Namun, hidup manusia masih sibuk dengan mengumpulkan bahan makanan dari alam. Akibatnya, jalan peradaban berlangsung lamban. Sebagian besar hidup manusia di bumi ini dihabiskan dengan meramu dan berburu. Alam pikiran tidak berkembang. Sebaliknya, alam perasaan dan intuisi merambah ke spiritualitas, yang melahirkan mitos-mitos dalam religi purba.

Peradaban air baru muncul 7.000 atau 8.000 tahun yang lalu. Manusia mulai hidup menetap, tidak lagi nomad seperti peradaban sebelumnya. Peradaban air dimulai saat itu, yakni hidup produktif bersama keperkasaan alam. Mereka menetap di tepi-tepi sungai besar dan mengembangkan peradaban hidraulik atau sawah basah. Sejak saat itulah kebudayaan manusia mulai dikenal.

Kebudayaan manusia mulai berkembang pesat sejak peradaban air. Dalam waktu singkat, yakni sekitar 8 ribu tahun, pikiran manusia berkembang begitu pesat sehingga pendulum hubungan manusia dan alam terbalik. Dulu alam menguasai manusia dan kini manusia menguasai alam dengan pikirannya. Bumi terancam. Inilah yang kita risaukan sekarang.

Surga manusia itu berlangsung pada masa peradaban air. Pada masa itu terjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara alam dan manusia. Manusia menjaga kelestarian alam dan alam memberikan kesuburan tanaman pada manusia. Bulan madu bumi dan manusia ini berlangsung cukup lama sampai munculnya revolusi industri pada abad ke-18. Revolusi industri yang diagung-agungkan manusia sebagai pencapaian puncak peradabannya, ternyata mengancam keberadaan planet bumi ini.

Dalam waktu 300 tahun peradaban industri, kekayaan bumi diisap habis-habisan sampai tetes-tetes terakhir air susunya. Bumi mulai sakit, dan sekarang terancam sekarat. Ibunda bumi mulai menderita kekeringan dan kehilangan kesuburannya. Semua itu terjadi akibat manusia, melalui alam pikirannya yang semakin cerdas, mengejar apa yang dinamai sebagai kebahagiaan duniawi. Manusia mengejar kebutuhan dan kemudahan tubuhnya.

Peradaban air telah diganti dengan peradaban industri. Alat-alat mesin yang memproduksi asap kimia menjadi simbol kebanggaan manusia. Di Indonesia pun manusia ikut berlomba menjadikan tanah air ini negara industri, sejajar dengan negara-negara industri yang telah lama membanggakan diri atas pendapatan per kapitanya. Tidak ada modus lain di dunia ini untuk tetap hidup dalam peradaban air yang sudah kuno dan ketinggalan zaman.

Cerita Superman pada suatu saat akan kita alami. Kita akan membuat teknologi yang dapat mengirimkan anak cucu kita mencari planet primitif di alam semesta ini. Pada suatu saat nanti tidak ada lagi tumbuh-tumbuhan, tidak ada lagi air di bumi, kecuali air kimiawi sehingga manusia harus menciptakan piring-piring terbang mencari tumbuhan dan air. Air yang dahulu gratis, pada saat itu bisa menjadi penyebab "perang bintang".

**

BETAPA mulianya air. Pentingnya air bagi hidup ini dapat digali dari peradaban air dalam sejarah umat manusia. Dalam primbon-primbon Indonesia, air merupakan salah satu unsur keberadaan ini, sejajar dengan tanah, angin, dan api. Kombinasi dari unsur-unsur itu adalah hidup, kelestarian, keselamatan, kesuburan. Manusia selalu merindukan tanah basah. Tanah air.

Dari mana asalnya air? Nenek moyang orang Indonesia mengenal betul asal air, yaitu dari gunung-gunung berhutan perawan yang mengalirkan sungai-sungainya ke laut. Itulah sebabnya hunian-hunian tua di Indonesia selalu berada di tepi sungai. Tempat ideal manusia adalah bertemunya dua sungai. Kraton-kraton besar selalu dibangun di antara dua atau empat atau delapan aliran sungai. Di situlah hidup dan kemakmuran dimungkinkan.

Dalam sejarah Mataram kuno dikenal adanya prasasti yang disebut Tuk Mas (Mata Air Emas) di lereng Merbabu-Merapi. Mata air adalah tambang emas. Mata air adalah kesuburan, kemakmuran, hidup, kekayaan yang tak terhingga nilainya. Di Sunda dikenal Sumur Bandung, atau tujuh mata air yang berjajar. Ada kepercayaan bahwa pengantin harus dimandikan dengan air yang berasal dari tujuh "sumur" tadi agar subur rahimnya seperti sawah-sawah yang menghasilkan bulir-bulir padi besar.

Hunian-hunian di Sunda selalu menyebut kata keramat yang bermakna cai atau air. Di Melayu nama-nama hunian manusia tak sedikit yang memakai nama "air" ini. Begitu pula di daerah-daerah lain di Indonesia. Air bukan hanya untuk hidup, tetapi air adalah kehidupan itu sendiri. Dalam masyarakat agraris, air adalah segalanya. Air memproduksi tanaman (padi) dan padi adalah hidup manusia. Mitos-mitos asal mula padi ada dimana-mana di Indonesia. Padi adalah emanasi dari tubuh Dewi Sri, Po Haci, bidadari langit, dengan demikian transenden nilainya. Air dan padi adalah spiritualitas, bukan sekadar produk pikiran manusia. Pikiran manusia tak mampu menghidupkan padi. Padi itu urusan dunia atas.

Kerajaan-kerajaan besar di Indonesia berdasarkan agraria ini. Siapa menguasai agraria berarti menguasai manusia. Dan agraris itu tergantung pada air, sungai, gunung-gunung, dan hutan. Itulah sebabnya batas Negara ditengarai oleh batas sungai-sungainya. Pembagian negara dipisahkan oleh sungai. Sungai dan air adalah batas kekuasaan raja-raja zaman peradaban air Indonesia .

Di kampung-kampung Sunda (dan daerah-daerah lain di Indonesia) orientasi kampung adalah gunung, sumber asal usul air. Perkampungan didirikan di tepi sungai (Cibatu, Cikalong, Cidurian) dengan kampung paling tua ke arah hulu sungai, kampung paling muda di arah hilir sungai. Kampung tua selalu dekat dengan hutan atau sengaja dihutankan. Di situlah dikuburkan para buyut kampung (kabuyutan). Buyut itu dekat sumber mata air yang berada di gunung. Manusia dan air adalah inti peradaban pertanian.

Dalam lembaga-lembaga sosial besar maupun kecil, kerajaan dan kampung orientasi pada air, sungai, gunung, hutan menjadi keharusan. Pertanian sawah (hidraulik maupun pertanian ladang orientasi hidupnya tetap sama. Mereka melestarikan gunung dan hutan demi air. Air bukan hanya minuman, tetapi juga makanan. Peradaban air pada dasarnya "makan air".

Peradaban air adalah "jalan tengah" antara peradaban peramu pemburu dan peradaban industri. Peradaban peramu, alam menguasai manusia. Peradaban industri manusia menguasai alam. Peradaban air, manusia hidup bersama alam dan dengan alam. Harmoni alam-manusia ini berlangsung cukup lama di Indonesia, sekitar 5 ribu tahun, yakni sejak manusia Indonesia menghuni kepulauan ini. Multatuli menamakannya sebagai zamrud khatulistiwa.

Kodrat Indonesia adalah negara tropis yang kaya raya dengan fauna dan flora. Hanya ada dua musim. Kaya dengan gunung-gunung dan hutannya. Dengan demikian, kaya dengan aliran-aliran sungai. Kearifan nenek moyang Indonesia untuk hidup dalam peradaban air adalah puncak pencapaiannya. Alam pikiran Indonesia dibentuk oleh peradaban air ini. Itulah kearifan lama Indonesia.

Sejak kolonisasi Belanda tahun 1800, sedikit demi sedikit peradaban air diarahkan pada peradaban industri modern. Industri pertanian dan industri tambang mulai menggeser peradaban air kita. Industri dan perdagangan mulai membunuh peradaban air.

**

RAFFLES melaporkan pada tahun 1813 bahwa pulau Jawa 7,8 wilayahnya masih merupakan hutan. Sekarang ini barangkali hutan tinggal 1/8 saja di pulau Jawa. Dalam jangka waktu 200 tahun peradaban air telah berganti menjadi peradaban industri. Hutan-hutan pabrik ada dimana-mana di pulau Jawa ini yang dahulu tata tentre kerta raharja ini. Kini, telah menjadi kacau balau melarat miskin dan memproduksi TKI yang luar biasa banyaknya.

Orientasi industri adalah kekayaan modal, budaya uang. Uang adalah air dalam peradaban agraris. Modal uang inilah yang telah membuat gungung-gunung kita mandul dan sungai-sungai mengering. Hutan-hutan ditebangi demi uang, modal dasar industri. Itulah sebabnya kita menyibukkan diri pinjam modal luar negeri dalam mengejar ketertinggalan kita sebagai negara industri. Merajalelanya korupsi menyebabkan kegagalan membangun negara industri. Sementara peradaban pertanian telah ditinggalkan. Dari mana kita membayar pinjaman? Dari mana kita mampu bertahan hidup? Sementara para petani telah lama kita bunuh.

Ini semua disebabkan alam pikiran kita masih berperadaban tani, sedang tujuan kita peradaban industri. Industri itu muncul dalam sejarah Eropa yang telah lama meninggalkan peradaban pertaniannya dalam abad pertengahan. Indonesia yang tani tiba-tiba harus menjadi industri, dan kita tidak siap dengan strategi perubahan ini. Model industri kita adalah Eropa-Amerika-Jepang. Sementara mentalitas kita masih air. Mengapa tidak kembali pada peradaban air?

Peradaban air akan membuat Indonesia kembali sebagai zamrud khatulistiwa. Gunung-gunung akan hijau kembali, hutan-hutan tumbuh lagi, sungai-sungai akan mengalir kembali. Produk kita bukan industri tetapi bahan mentah industri. Para petani kita hidupkan kembali dari kematian yang lama. Petani-petani modern yang multikultur, bukan monokultur padi saja.

Peradaban air adalah kodrat manusia khatulistiwa. Dengan sikap ini sekaligus kita menyumbang pada peradaban dunia yang telah diracuni oleh limbah industri. Menteri Pertanian dan Kehutanan adalah presiden kita yang sesungguhnya. Bukan presiden tani yang dikendalikan menteri-menteri industri pada Era Soeharto.

Para petani Indonesia akan berdasi dan mengontrol pertaniannya naik mobil dan helikopter. Istana-istana mewah bukan hanya dibangun di pusat-pusat kota kaum elite penguasa dan pengusaha, tetapi akan tersebar di daerah perdesaan. Orang-orang kota akan melamar kerja pada petani-petani elite desa. Arus urbanisasi dengan sendirinya berhenti. Pedagang-pedagang kaki lima mengalir ke desa-desa menjadi buruh tani yang berstatus pegawai pertanian. Semua pelabuhan Indonesia dipenuhi produk pertanian yang siap diekspor ke negara-negara industri.

**

BARANGKALI itu semua cuma impian di siang bolong. Sebab, dalam waktu yang tak begitu lama, hutan-hutan Indonesia akan gundul dan menjadi padang gersang. Sungai-sungai di pulau Jawa akan menjadi lahan perumahan. Perumahan murah akan dibangun 300 meter dari puncak-puncak gunung. Hutan bakau disulap menjadi perumahan mewah tepi pantai. Anak-anak dan cucu kita hanya mengenal makna air dalam kemasan botol. Mereka tidak kenal lagi makna hutan dan sungai yang dibacanya dalam dongeng kanak-kanak.

Peradaban air kita sedang sekarat, runtuh. ***

Jakob Sumardjo
Budayawan


Jauhkan Anak dari Rokok

Sabtu, 31 Mei 2008 | 09:02 WIB

KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Seorang lelaki melintas di depan mobil di Annex Building, Jakarta, yang mengkampanyekan untuk berhenti merokok, Jumat (30/5). Berbagai kampanye dilakukan untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei. Setidaknya 200 elemen di dalam rokok dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida.



JAKARTA, SABTU - Sekitar 60 anak didampingi Komnas Perlindungan Anak Indonesia melakukan aksi damai untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Bundaran HI, Sabtu (31/5).

Mereka minta pemerintah melarang segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media dan tempat-tempat umum. Mereka juga ingin dilindungi dari asap rokok agar dapat hidup dan berkembang dengan sehat. Selain itu mereka juga mengimbau pemerintah menaikkan cukai rokok dan melarang penjualan eceran.

"Ini adalah hasil dari diskusi forum anak bebas tembakau yang diadakan komnas anak kemarin. Kami akan follow up ke pemerintah. akan kami ajukan ke menpora, DPR, Menkes dan Meneg Pemberdayaan Perempuan," ujar Office Manager Komnas Perlindungan Anak, Lisda Sundari. Ia juga menyampaikan, anak-anak gampang mendapatkan rokok eceran. Dengan Rp 500 mereka bisa mendapatkan sebatang rokok.

Anak-anak itu mengenakan kaos putih bertuliskan "Lindungi Anak, Larang Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok." Mereka juga membawa spanduk bertuliskan "Rokok Sama dengan Racun." Mereka sedang membagikan bunga mawar kepada pengguna jalan.(C5-08)

K.F. Holle dan Buku Sunda



Karel Frederik Holle Biography:

(Theereis II English version 19 – 28 Juli 2001 1. ) Karel Frederik Holle did not have a carefree youth. Far from that. A few years after his birth at Amsterdam in 1829 his father (Pieter Holle) suffered severe financial losses because his prospering sugar refinery was hit by an economic crisis in that industry. This crisis continued and when in 1844 Pieter’s brother in law (Willem van der Hucht, youngest brother of his wife Albertine), captain/owner of a trading vessel, came with plans to build up a new existence together on Java, he accepted that proposition with both hands. At that time there was a general economic depression all over Europe and political unrest was threatening everywhere. So another brother (Jan Pieter van der Hucht, with wife and 8 children) decided to join them the following year. Although he was a successful financier at Amsterdam he too was very pessimistic about the future of his children in Europe. So Karel Frederik Holle left Holland at the age of 14. After a dangerous start of the voyage their ship arrived safely at Batavia (Jakarta) in 1845. Willem van der Hucht was able to obtain a tea contract for Parakan Salak from the Government and started living there. Shortly afterwards Pieter Holle got a job on the tea plantation Bolang but as he had to prepare the small house that he found there for his large family it was decided that his wife Albertine should move to Parakan Salak in order to await the birth of their 8th child for she had become pregnant again on board the ship. The trip from Bogor to Parakan Salak at that time took more than 12 hours. Pieter and his sons went on horseback and Albertine and the smaller children were carried in a “tandu”. All seemed to go for the best. But then fate struck Willem’s wife (Jansje) and their three little daughters fell severely ill and while Albertine had expected to be taken care of by her sister in law, she, on the contrary, had tot take care of four very ill people. The youngest child died and the doctor who had been summoned from Bogor came too late even for the burial but just in time to assist Albertine with the birth of her baby. So Willem’s little daughter Albertine van der Hucht was the first member of the family to be buried at Parakan Salak in Javanese soil and four days later Albertine Holle was the first member to be born at the same place. Fate kept on striking, more and more severely. After six weeks Albertine moved to Bolang and again a few weeks later Willem stood at their doorstep to tell them that his wife had died. A short time later he lost his eldest little daughter too and before the family could have recovered from these blows Pieter Holle died quite suddenly at Bolang. It is not difficult to imagine the desperation of these bereaved people. They could not get in touch with their brother Jan Pieter van der Hucht of whom they knew that he was already sailing for Java. Fate still didn’t stop. Within a year after his arrival Jan Pieter van der Hucht died and was buried at Parakan Salak followed by one of his sons and a niece, one of three orphaned sisters whom they had taken in. One of the remaining sisters later married “Multatuli” whom she met at Parakan Salak. So in less than three years after their arrival the family had lost three adults and four children. And Willem van der Hucht stood before the immense task of supporting two widows and 16 children. He acquitted himself admirably. Let us turn to Karel Frederik Holle now. Naturally he must have suffered from the ill fate that had befallen his mother and all his other relatives. But it seems that he had the same strong character as his mother while at the same time, like her, being deeply concerned about the welfare of others. His uncle obtained from the Governor-General, with whom he was Theereis II English version 19 – 28 Juli 2001 2. ) befriended, the favour for his nephews to be educated together with the G.G.’s children at the palace at Bogor. So Karel Frederik received a good education until he was 18 years old. Then his uncle Willem secured a job for him as a clerk in a government’s office. Because of his exceptional intelligence and great dilligence he soon was promoted. But Karel wanted to be independent, not only from his uncle but also from the Government. He had developed ideas of his own which he knew he couldn’t realize along bureaucratic lines. When Karel got his job as a government’s clerk his mother moved to Batavia where, with her strong character and helpful attitude, she soon became the centre of the family and all the members of that family who arrived at Batavia in the coming decades were expected to come and pay their respect to her. During the years she had come to know “everybody” and knew to whom to direct her relatives for good advice. Among those who profited from this were the Bosscha’s and the Kerkhovens. Right from their arrival they were greatly influenced by Karel’s ideas and ideals and tried to live and act accordingly although not losing sight of good and profitable management of their plantations as Karel may, alas, have done. But, at this time, this was still in the future. One of his sisters had married N.P. van den Berg, a banker (who later became President of the Java Bank) at Batavia and with his financial help he was able to start a tea plantation of his own near Garut, called Waspada. He made it a model tea plantation but he did not lose out of sight his idealistic aim to improve the living conditions of the poor local people. He tried to improve their methods of growing rice but, as travelling around to tell the people how to do that, proved to be too complicated and too time consuming, he realized that the most efficient way to reach his goal would be to teach them to read. Then he could spread his ideas, in their own language, through little pamphlets. Long ago he had already understood the importance of speaking the Sundanese language like a Sundanese, which, indeed, he did. In Garut he met the panghulu Raden Haji Moehammad Moesa. They became lifelong friends and pursued the same ideals. So Karel Holle saw to it that schools were being built and in 1866 as a highlight of his endeavours a College for Schoolteachers was opened at Bandung. If necessary, he paid for such activities himself. Libraries were founded, a periodical was published, which not only contained advice on agricultural matters (e.g. the urgent appeal to stop erosion by laying out coffee and other gardens in terrasses) and on how to start small industries, but also contained traditional old Sundanese stories and poetry to awaken the interest of the readers for their own culture. The name of this periodical was “mitra noe tani” and these words were engraved on the monument that in 1899 was unveiled at Garut. Holle took a great interest in the Sundanese language in all its aspects. In these activities he received help from his brother Adriaan who had succeeded his uncle Willem at Parakan Salak and who filled in one gift which Karel didn’t possess, the gift for music. Adriaan loved gamelan music and he himself played the rebab in his own gamelan orchestra which is exhibited nowadays in a museum at Sumedang. Karel Holle discovered old monuments with inscriptions on them and searched for old manuscripts which he deciphered and about which he corresponded with several scientists who showed great interest and admiration for his work. He compiled lists of words in order to make a dictionary. He took great interest in the dicovery of the Borobudur. He was deeply convinced of the importance of religion; he learned Arabic and knew the koran by heart. Theereis II English version 19 – 28 Juli 2001 3. ) Even abroad he was well known and foreign visitors came to see him at Waspada, his model tea plantation. The Government appreciated his extensive knowledge in so many fields and wanted to appoint him as Resident of the Priangan but Holle refused because he wanted to remain independent. He accepted to become the “adviseur honorair” to the Government because that would extend his influence in the Government. At the end of his life the Government considered to appoint him as a member of the “Raad van Indië” one of the highest posts in the Government but by that time his health was already failing. Of course he experienced disappointments and was confronted with mistrust and opposition but in many cases he could overcome these obstacles because of his gift to win people’s sympathy. That wasn’t the only gift this extremely talented man possessed. Tom van den Berge, (the author of the biography : “Karel Frederik Holle, Theeplanter in Indië 1829 –1896” (Bert Bakker, A’dam; 1998)) has given a classification of his work: rice and agriculture education, science and language politics and religion. Unfortunately this extremely useful life ended sadly. In 1877 he fell seriously ill and though he recovered after many months he remained partly paralyzed. His energy had suffered too and when a crisis hit the tea culture he couldn’t cope with it, mostly because he had spent too much money on realizing his various projects so that there were no reserve funds left to sit these hard times out. He went bankrupt and had to leave his beloved Waspada. In 1889 he went to Bogor to stay with his youngest sister (the one born at Parakan Salak) who had become a widow. In 1895 he received the “Officierskruis van de Orde van Oranje Nassau”. Later in that year he wrote, when asked for his opinion, that Dr. Snouck Hurgronje had already given a clear advice so that he (Karel) had nothing to add to it. Quite an unusual statement from someone who always grabbed every opportunity to vent his opinion. Within a year, on May 3, 1896 he died and was buried at Tanah Abang, Batavia, next to his mother. On October 29, 1899 on the alun alun of Garut a monument for Karel Frederik Holle was unveiled. At this ceremony Raden Adipati Soeria Nata Ningrat, Regent of Lebak, as his oldest disciple and friend, put into words his feelings with such ardour and conviction (as one of those present later said) “as I have never before heard a Sundanese speak”. Until the war the monument was regularly visited by people from the neighbourhood but during the war the monument was torn down by the Japanese. It is sad that nowadays nobody remembers this man anymore, who has spent his whole life improving the living conditions of the people in the land he both so dearly loved and with whom he identified hemself so much that once when he had been seen talking to a woman and she was asked who that belanda was, she answered : “Lain Walanda, tjara oerang bae”
http://members.lycos.nl/hvdthee/kfholle.html


PENERBITAN buku cetak berbahasa Sunda tidak lepas dari peran orang Belanda. Salah seorang di antaranya adalah K.F. Holle (1829-1896). Ia bahkan dianggap sebagai orang Belanda pertama yang mengusahakan penerbitan buku-buku Sunda. Demikian yang saya baca dari Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, Kesastraan Sunda abad ke-19 (Mikihiro Moriyama, 2005). Tetapi orang Sunda lebih terbiasa menyebutnya sebagai Tuan Hola saja. Tuan Belanda ini lahir di Amsterdam pada 1829. Pada 1845 ia dibawa orang tuanya ke Hindia Belanda.

Holle termasuk seorang autodidak dan berpikir pragmatis. Dalam hal ini, ia menjadikan perkebunannya semacam perkebunan eksperimental. Ia meneliti berbagai segi pertanian seperti pemanfaatan lahan kering untuk menanam sayur-sayuran, serta cara pengembangbiakan ikan di kolam-kolam kecil.

Selain itu, ia menerapkan idealismenya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat miskin di sekitar perkebunannya. Untuk itu, dia mengajari cara untuk meningkatkan metode penanaman padi.

Tetapi setelah berkeliling untuk mengampanyekan maksudnya, ternyata sangat sulit dan memakan waktu. Dengan demikian, dia sadar bahwa cara yang paling efisien untuk menggapai maksudnya adalah dengan mengajari masyarakat agar bisa membaca.

Ternyata, ia bisa menyebarkan idenya melalui pamflet-pamflet dalam bahasa Sunda. Sebelumnya, sejak diangkat jadi juru tulis pemerintah pada 1846, ia tertarik untuk belajar bahasa Sunda serta meneliti unak-anik budaya Sunda. Dan dia sadar betul betapa pentingnya dapat berbicara dalam bahasa Sunda layaknya seorang Sunda.

Projek buku Sunda

Oleh karena itulah, ia berusaha membangkitkan kembali bahasa Sunda sebagai bahasa yang menjadi ciri kebudayaan Sunda. Ia pun mendorong penggunaan kembali bahasa Sunda sebagai bahasa tulis. Hasilnya dapat dilihat dari keterlibatannya dalam penerbitan buku-buku Sunda pada paruh kedua abad ke-19.

Mula-mula ia menerbitkan buku Tjarita Koera-Koera djeung Monjet (1851). Buku yang ditulis bersama saudaranya, Adriaan Holle ini membawa pengaruh pada pendidikan masyarakat Sunda.

Pada 1861 Pemerintah menugaskan K.F. Holle untuk menyusun buku-buku bacaan serta pelajaran bahasa Sunda. Untuk menggarap projek itu, pemerintah mengeluarkan biaya sebesar f. 1.200.

Untuk melaksanakan tugas ini, Holle dibantu oleh R.H. Moehamad Moesa beserta para penulis dari lingkungan Holle. Terutama yang tinggal di sekitar distrik Limbangan. Di antaranya Moesa sendiri berasal dari Limbangan, Adi Widjaja patih limbangan, dan Brata Widjaja mantan patih Galuh, Kabupaten Sukapura.

Hasil projek ini, seluruhnya berjumlah 13 judul buku. Tetapi sebagian besar buku-buku bacaan itu disusun oleh Moesa. Di antara buku-buku hasil pekerjaan itu, sebagaimana yang dapat dilihat dari buku-buku teks yang digunakan di sekolah desa di Bandung pada 1863, di antaranya: Katrangan tina Perkawis Mijara Laoek Tjai (Moehamad Oemar), Wawatjan Djaka Miskin (Wira Tanoe Baija), Wawatjan Woelang Poetra (Adi Widjaja), Wawatjan Woelang Krama (Moehamad Moesa), dan Wawatjan Radja Darma (Danoe Koesoema).

Usaha Holle tak terhenti. Buktinya, selama dasawarsa 1860-an Holle telah mengawasi tak kurang dari 23 judul buku berbahasa Sunda untuk sekolah yang diterbitkan oleh pemerintah.

Sampai 1880-an Holle masih berperan dalam produksi buku-buku bahasa Sunda yang ditulis oleh penulis Sunda. Pekerjaannya baru berakhir pada 1895. Pada tahun itulah ia terakhir mengedit buku Sunda, yaitu Mitra noe Tani (selanjutnya disingkat MnT).

"Mitra noe Tani"

Melalui buku seri inilah Holle memperbaiki sistem pertanian orang Sunda. MnT adalah buku yang terdiri dari tulisan-tulisan seputar pertanian yang ditulis dalam bahasa Sunda. Untuk keterangannya, saya timba dari Lampiran 1: Senarai Buku-buku Berbahasa Sunda Sebelum 1908 (Moriyama, 2005: 283).

Dari situ diperoleh keterangan: seri ini terbit antara tahun 1874-1899. Penerbitannya tak beraturan. Ada yang setahun dua kali, tetapi ada juga yang berjarak dua tahun sekali. Juga ada yang setahun sekali.

Seluruh seri Mnt diterbitkan oleh Landsdrukkerij, penerbit milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penerbit ini bertempat di Weltevreden, atau Menteng sekarang. Khusus buku-buku Sunda, penerbit ini telah mencetaknya sejak 1853. Dan biasa pula disebut "Kantor Tjitak Kandjeng Goepernemen".

Dari jilid pertama hingga seri ketujuh, MnT dicetak dengan memakai huruf cacarakan Jawa. Sementara huruf Latin mulai dipakai dari seri delapan sampai seri terakhir, jilid 14.

Adapun para penulisnya datang dari beberapa kalangan. Ada pejabat bangsa Belanda, yang tentu saja telah disundakan oleh penulis lokal. Begitu pun dengan para penulis pribumi, baik dari kalangan menak Jawa maupun Sunda. Untuk penyuntingannya, sejak seri pertama hingga jilid 12, MnT diedit oleh K.F. Holle. Karena Holle meninggal pada 1896. Selanjutnya (dua seri terakhir) MnT diedit oleh H. de Bie, guru pada Gymnasium Willem III.

Tetapi semuanya mesti berakhir pada 1896. Karena pada tahun itulah Holle meninggal. Tepatnya pada 3 Mei 1896. Ia pun kemudian dikuburkan di Tanah Abang, berdampingan dengan ibunya.

ATEP KURNIA,
Penulis lepas, tinggal di Bandung.

Big Bangs: 'Stirring' Secrets Of Deadly Supervolcanoes Uncovered


Supervolcanoes are orders of magnitude greater than any volcanic eruption in historic times. They are capable of causing long-lasting change to weather, threatening the extinction of species, and covering huge areas with lava and ash. (Credit: iStockphoto/Koch Valérie)


ScienceDaily (May 30, 2008) — Researchers from McGill University and the University of British Columbia (UBC) have simulated in the lab the process that can turn ordinary volcanic eruptions into so-called “supervolcanoes,” with potentially devastating worldwide impact.

The study was conducted by Dr. Ben Kennedy and and Dr. Mark Jellinek of UBC’s Department of Earth and Ocean Sciences, and Dr. John Stix, chair of McGill University’s Department of Earth and Planetary Sciences. Their results were published May 25 in the journal Nature Geoscience.

Supervolcanoes are orders of magnitude greater than any volcanic eruption in historic times. They are capable of causing long-lasting change to weather, threatening the extinction of species, and covering huge areas with lava and ash.

Using volcanic models made of plexiglass filled with corn syrup, the researchers simulated how magma in a volcano’s magma chamber might behave if the roof of the chamber caved in during an eruption.

“The magma was being stirred by the roof falling into the magma chamber,” Stix explained. “This causes lots of complicated flow effects that are unique to a supervolcano eruption.”

“There is currently no way to predict a supervolcano eruption,” said Kennedy, a post-doctoral fellow at UBC. “But this new information explains for the first time what happens inside a magma chamber as the roof caves in, and provides insights that could be useful when making hazard maps of such an eruption.”

The eruption of Mount Tambora in Indonesia in 1815 – the only known supervolcano eruption in modern history – was 10 times more powerful than Krakatoa and more than 100 times more powerful than Vesuvius or Mount St. Helens. It caused more than 100,000 deaths in Indonesia alone, and blew a column of ash about 70 kilometres into the atmosphere. The resulting disruptions of the planet’s climate led 1816 to be christened “the year without summer.”

“And this was a small supervolcano,” said Stix. “A really big one could create the equivalent of a global nuclear winter. There would be devastation for many hundreds of kilometres near the eruption and there would be would be global crop failures because of the ash falling from the sky, and even more important, because of the rapid cooling of the climate.”

There are potential supervolcano sites all over the world, most famously under Yellowstone National Park in Wyoming, the setting of the 2005 BBC/Discovery Channel docudrama Supervolcano, which imagined an almost-total collapse of the world economy following an eruption.
http://www.sciencedaily.com/releases/2008/05/080529131034.htm

Walikota Terima Kunjungan Delegasi Suwon Korsel



-- Walikota Bandung H. Dada Rosada, SH, MSi, menerima kunjungan delegasi Kota Suwon Republik Korea, dipimpin Walikota Suwon, Hon Kim Yong – seo, di ruang tengah Balaikota, Selasa (25/01/05). Dihadiri anggota DPRD Kota Bandung Drs Tomtom Dabul Komar, mantan walikota Wahyu Hamijaya, dan sejumlah pejabat publik Kota Bandung.

Kunjungan Hon Kim Yong-seo ke Kota Bandung, didampingi anggota Dewan Kota Suwon Mr. Park Eung-yeo, Dir Bagum Kota Suwon Mr. Lee Juong-hwa, Presiden Kota-kota Cabang Kota Suwon Mr. Kim Ha-joo, Ketua Asosiasi Akhli Farmasi Mrs. Cha Young-hee, Kepala RS Kristen Kota Suwon Mrs. Shin Dong-ja, Wartawan Yonhap News Suwon Mr. Kim Jong-sik, Wartawan SBN Suwon Mr Jung Suong-hwan. Wakil Kepala bagian Hub Internasional Kota Suwon Mr Lee Taeg-yong, Bagian Hub Internasional Kota Suwon Mrs. Seo Young-mi.

Hon Kim Yong-seo dalam sambutannya mengatakan, kunjungan tersebut merupakan kunjungannya yang pertama dalam kerjasama Sister City Bandung dengan Suwon. Ia mendapat kesan yang baik dengan penampilan kota yang indah dan masyarakat yang sangat ramah. Dan menyatakan turut prihatin dengan musibah Tsunami di Aceh yang meninmbulkan korban jiwa yang sangat tinggi, serta mendo,akan agar Indonesia cepat keluar dari kesedihan, penderitaan dan segera mendapat kedamaian.

Delegasi Suwon sebelum berkunjung ke Kota Bandung, telah mengunjungi PMI Banda Aceh, untuk menyampaikan suplai dana bantuan sebagai bentuk keprihatinan dan kasih sayang dari masyarakat Suwon kepada rakyat Aceh. Pemerintah Korea bersama organisasi kelompok pengabdi di dalam negeri,termasuk masyarakat di Kota Suwon, telah mengumpulkan dana bantuan. Bantuan tersebut telah diserahkan melalui PMI Banda Aceh senilai 120 Juta Won atau Rp. 800 Juta dan 20 box obat-obatan.

Menurut Kim, setelah Suwon dan Bandung sepakat menjadi Sister City pada 27 Agustus 1997, sudah banyak interaksi antara dua kota. Dengan adanya kunjungan tersebut, diharapkan interaksi akan lebih meningkat dan lancar.

Berkait dengan rencana penyelenggaraan festival kebudayaan di Kota Suwon, Okteber 2005 mendatang, diharapkan Walikota Bandung dan delegasi Kota Bandung dapat hadir dalam kesempatan tersebut.

Walikota Dada Rosada dalam sambutannya menyatakan terima kasihnya, atas kepedulian warga Suwon yang telah membantu korban musibah di Aceh dan Sumatera Utara. Pemkot Bandung mengharapkan, kerjasama yang telah dibangun sejak 1997, dapat berlanjut dan meningkat, sesuai komitmen bersama, untuk kepentingan dan kesejahteraan kedua kota.

Dikatakan Walikota, Pemkot Bandung saat ini sedang melaksanakan beberapa program pembangunan yang langsung menyentuh masyarakat luas. Yaitu, penyelamatan lingkungan hidup dengan programnya revitalisasi Sungai Cikapundung, penghijauan Kawasan Tegallega dan daerah Punclut, serta pembuatan sumur resapan. Penataan infrastruktur kota, antara lain masalah transportasi, jalan dan pengembangan kawasan Gedebage. Dan 23 April 2005, Kota Bandung akan menjadi tuan rumah peringatan ke 50 KAA yang dihadiri lebih kurang 105 kepala negara dan kepala pemerintahan, dan mungkin termasuk Republik Korea. Salah satu agenda kegiatannya, adalah penanaman pohon di kawasan Tegallega, yang diharapkan kawasan tersebut menjadi Taman Asia Afrika.

Berkait dengan kegiatan tersebut, Dada Rosada mengundang Walikota Suwon untuk hadir berpartisipasi, dalam kegiatan revitalisasi Taman Tegallega dan pembangunan Taman Asia Afrika di Kota Bandung.

Sekilas Hubungan Kerjasama Sister City Kota Bandung.

Kerjasama Sister City Kota Bandung dengan kota lain di LuarNegeri, dikatakan Walikota dada Rosada, selain dengan Kota Suwon, Kota Bandung Juga menjalin kerjasama Sister City dengan Kota Braunschweig Republik Federal Jerman, dengan penandatanganan MOU 24 mei 1960. Kerjasama Sister City dengan Braunschwieg ini, merupakan kerjasama yang paling lama di Indonesia. Bidang kerjasama meliputi ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertukaran pemuda, pelatihan (praktikant), kesenian dan olahraga. Titik berat pada bidang sosial budaya, pelatihan dan pertukaran pemuda.

Kerjasama Sister City Kota Bandung dengan Fort Worth Amerika Serikat, MOU ditandatangani 1 April 1990. Dengan bidang kerjasama, meliputi ekonomi, pendidikan, pelatihan, kesenian, pertukaran pemuda dan sosial budaya. Dua tahun terakhir, Pemkot Bandung mendapat bantuan teknis melalui Fort Worth Sister berupa pelatihan penanganan keadaan darurat (emergency frefaredness) program
Sementara kerjasama Sister City Kota bandung dengan Suwon, MOU ditandatangani 27 Agustus 1997. Kerjasama meliputi bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesenian dan olahraga.

Kerjasama bidang ekonomi, antara Kadin Kota Bandung dengan Kota Suwon, walaupun belum optimal, menunjukan hasil yang cukup menggembirakan Hal ini dibuktikan dengan intensitas hubungan dan bantuan dana dari Kadin Suwon kepada Kadin Kota Bandung dalam pembangunan gedung Kadin Kota Bandung.

Terkait dengan harapan dan keinginan walikota dalam meningkatkan prestasi persepakbolaan di Kota Bandung, khususnya keberadaan Persib yang sedang mempersiapkan diri mengikuti kompetisi XI liga Indonesia, memungkinkan adanya bantuan dan kerjasama dengan atlet sepakbola Kota Suwon.

Walikota Suwon mengatakan, harapan Walikota Dada Rosada, akan menjadi perhatiannya dan perlu dibicarakan lebih lanjut. Karena Kim mengakui, sebelum ia menjadi walikota Suwon, ia pernah menjabat ketua asosiasi sepakbola Suwon selama 14 tahun. Selain banyak menyumbangkan pemain nasional Korea berprestasi, banyak pelatih luar negeri yang juga ingin berkiprah di Kota Suwon, bahkan mempunyai supporter pendukung terbanyak di Korea.**tohir

Kekuatan Pikiran dalam Koran Digital

Sabtu, 31 Mei 2008 | 09:46 WIB

KOMPAS/EDDY HASBY / Kompas Images
Pesulap Deddy Corbuzier menghibur tamu undangan pada Grand Launching Kompas.com Reborn di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis (29/5) malam. Hadir dalam acara itu Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, dan Executive Director Kompas.com Taufik H Mihardja.




KEDUANYA sama-sama punya nama panggung yang lebih dikenal. Geller Gyorgy beken dipanggil Uri Geller, sedangkan Deddy Cahyadi Sundjojo lebih dikenal sebagai Deddy Corbuzier. Geller dan Corbuzier sama-sama menyebut diri mereka mentalist ketimbang tukang sulap.

Geller, kelahiran Tel Aviv, 61 tahun lalu, adalah mentalist besar pertama yang menunjukkan kepada dunia bahwa kekuatan pikiran mampu membengkokkan sendok. Corbuzier, kelahiran Jakarta, 32 tahun lalu, tidak hanya mampu membengkokkan sendok, tetapi juga mampu meramal, membaca pikiran orang, dan mentransformasikan pikiran orang itu kepada orang lain.

Itulah yang ditunjukkan Corbuzier, pria dengan penampilan unik yang mengklaim diri sebagai Best Asian Mentalist, saat tampil pada acara Grand Launching Kompas.com bertajuk ”Kompas.com Reborn” di Ballroom Hotel Mulia Jakarta, Kamis (29/5). Corbuzier, pesinetron Sandra Dewi, serta penyanyi Bunga Citra Lestari dan Ari Lasso tidak semata-mata selingan pengisi acara, tetapi menyatu dalam satu paket lahirnya kembali Kompas.com.

Apa yang ditunjukkan Corbuzier malam itu kepada hadirin, termasuk Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, Chairman Kompas Gramedia Jakob Oetama, CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, dan Direktur Eksekutif Kompas.com Taufik H Mihardja, bukan semata-mata pertunjukan membengkokkan sendok, tetapi bagaimana kekuatan pikiran bisa mentransformasikan kehendak yang masih ada dalam pikiran orang kepada pikiran orang lain. Lebih memesonakan lagi, Corbuzier mampu menebak apa yang sesungguhnya dikehendaki dan dipikirkan orang.

Itulah sesungguhnya puncak dari acara Grand Launching Kompas.com Reborn ini.

Meramal keinginan

Pertunjukan Corbuzier sendiri melibatkan banyak hadirin. Mula-mula ia menunjuk Arif, salah seorang hadirin. Arif kemudian memilih hadirin lain dengan menggunakan pesawat terbang mainan terbuat dari kertas, begitu seterusnya sehingga terkumpul tujuh orang. Lima orang di antaranya diminta harus menjawab pertanyaan yang terkait ramalan satu tahun ke depan nasib Kompas.com, satu orang bertugas menuliskan jawaban, dan satu orang lagi diminta memegang sampul kertas besar yang tidak boleh dibuka sebelum ada perintah.

”Andai tahun depan Kompas.com mendapat untung dan Anda berkesempatan piknik ke luar negeri, ke mana Anda akan pergi?” tanya Corbuzier. Dijawab, ”Bangkok.” Pertanyaan lain, ”Akan berapa lama Anda tinggal di Bangkok?” Dijawab, ”Tujuh hari.”

Corbuzier mengandaikan semua pesawat terbang Indonesia mogok. ”Mau naik apa Anda ke Bangkok?” Yang ditanya menjawab sekenanya, ”Kapal selam.” Corbuzier melanjutkan, ”Di hotel mana menginap.” seorang yang ditunjuk menjawab, ”Hotel Nyenyak.” Berapa dollar AS uang yang dibutuhkan untuk ke Bangkok, dijawab, ”15.000 US dollar.” Semua jawaban ditulis di atas white board.

Sampai di sini hadirin belum tahu ke mana suasana akan dibawa. Corbuzier masih meminta seorang peserta lainnya memilih satu saja dari ribuan nomor telepon dari dua buku telepon Bandung dan Jakarta.

Dari hasil acak, terpilihlah satu nomor telepon, yakni 8507837. Di atas panggung sudah menggantung kotak yang terkunci rapat. Kunci kotak itu hanya dapat dibuka dengan kode angka empat digit.

Dari kotak itu kemudian keluar kertas pengumuman yang dilipat-lipat. Setiap lipatan berisi satu jawaban yang tadi sudah ditulis di atas white board dan semua jawaban sama. Corbuzier berkata, ”Bersama Kompas.com, tahun depan kita akan ke Bangkok selama 7 hari menggunakan kapal selam, menginap di Hotel Nyenyak, dan mendapat bekal masing-masing 15.000 dollar AS. Sebelum ke Bangkok, kita harus menghubungi seseorang di nomor….”

Corbuzier kemudian meminta tujuh orang yang memegang amplop besar itu serentak mengeluarkan isinya dan ditunjukkan kepada hadirin. Ternyata setiap amplop berisi satu angka yang kalau dirangkaikan menjadi 8507837, sesuai dengan nomor telepon pilihan acak tadi!

”Sharing” dan interaktif

Apa yang ditunjukkan Corbuzier dengan kekuatan pikirannya sejalan dengan kekuatan media massa digital seperti Kompas.com yang mampu ”meramalkan” kehendak penggunanya (users) mengenai konten yang mereka kehendaki.

Keinginan para pengguna lebih mudah ”ditangkap” berkat keunikan media massa digital yang mampu mengonvergensikan semua kekuatan yang ada dalam media massa sebelumnya, yakni menyatukan teks, suara, gambar, grafis, dan video.

Dengan kekuatan yang dimiliki itu, pengguna tidak harus menunggu terbitnya koran besok untuk mengetahui sebuah peristiwa karena Kompas.com, misalnya, menyediakan updating berita selama 24 jam.

Kebiasaan mendengarkan musik di radio atau menonton televisi, yang dulu terikat ruang dan waktu, bisa diambil alih Kompas.com yang menyediakan KompasTV, SelebTV, dan VideokuTV, yang bisa diklik kapan dan di mana saja.


PEP
Sumber : Kompas

Gunung Magnet Bisa Menarik Bus


GUNUNG Magnet mampu menarik kendaraan ke titik tertentu. Kawasan tersebut merupakan salah satu keajaiban alam di Madinah, Arab Saudi.* DEDE SUDRAJAT/"PR"


SETIAP jemaah umrah atau haji tentu akan penasaran untuk melihat keajaiban Gunung (Jabal) Magnet. Lokasi yang mengandung magnet berkuatan besar itu terletak sekitar 30 kilometer di luar Kota Madinah, Arab Saudi. Kekuatan magnet itu begitu besar sehingga mampu menarik bus yang berpenumpang.

Tarikan magnet mulai terasa ketika bus melewati beberapa gunung batu yang terlihat gersang. Laju bus mulai melambat walaupun jalan tidak menanjak. Suara mesin bus semakin terdengar menderu-deru ketika kendaraan itu pas berada di atas jalan yang ditandai garis putih. Sopir terlihat menginjak pedal gas dalam-dalam.

"Lihat Pak, sopir sudah menginjak penuh pedal gas, tetapi mobil tetap berjalan lambat karena tertarik magnet yang sangat kuat," kata Abdul Ghani, pemandu jemaah umroh dari Khalifah Tour.

Sopir mulai menghentikan bus. Ia lalu menetralkan gigi persneling. Secara perlahan bus bergerak mundur walaupun jalan tidak menurun. Karena melaju mundur, sopir tidak lama membiarkan busnya terus melaju. Sopir lalu memasukkan lagi gigi persneling dan bus pun melaju meskipun lambat. Semakin jauh dari jalan yang ditandai garis putih, laju bus kian kencang karena tidak lagi tertarik magnet. Setelah tiba di bundaran, sopir membalikkan laju bus dan kembali ke arah Kota Madinah.

Di tempat yang ditandai garis putih, sopir kembali menghentikan busnya. Ia memberi tahu kepada seluruh jemaah bahwa ia menetralkan gigi persneling. Bus mulai bergerak maju walaupun sopir tidak memacunya. Laju bus semakin lama semakin kencang dan spidometernya menunjukkan kendaraan itu melaju sampai 120 km per jam.

Kecepatan itu diperoleh bus tanpa mendapat bantuan mesin karena gigi berada pada posisi netral. Laju bus tanpa gigi persneling itu berlangsung sepanjang empat kilometer. Di jalan sepanjang empat km itu bus tertarik magnet. Setelah melewati empat kilometer, sopir bus harus memasukkan gigi persneling karena pengaruh magnet sudah melemah.

"Kawasan ini semula akan dijadikan bandara. Namun, ketika sedang dilakukan pembangunan jalan, alat-alat berat yang akan digunakan dalam pembangunan bandara tidak mampu melewati kawasan itu sehingga pemerintah Arab Saudi membatalkan rencana pembangunan itu," kata Abdul Ghani.

Kawasan wisata

Pemerintah Arab Saudi, menurut Abdul Ghani, lalu menjadikan kawasan itu sebagai tempat wisata andalan yang mampu menyedot jutaan jemaah dan wisatawan dari mancanegara. "Setiap hari lokasi ini selalu dikunjungi jemaah atau wisatawan yang ingin melihat keajaiban alam. Yang berkunjung ke sini bukan hanya warga asing, warga negara Saudi sendiri pun banyak yang sengaja berwisata ke Jabal Magnet," katanya.

Kawasan Jabal Magnet bukan tempat wisata yang sejuk dan nyaman. Lokasinya dikelilingi gunung-gunung batu yang tinggi. Di kanan-kiri jalan terlihat hamparan tanah-tanah gersang yang mengering karena sangat jarang diguyuri hujan.

Magnet yang berkekuatan besar itu sampai sekarang masih misteri. Belum ada penelitian yang dapat menerangkan secara pasti fenomena alam tersebut. Pemerintah Arab Saudi juga kemungkinan enggan mengungkap rahasia Jabal Magnet itu dan sengaja membiarkan kawasan itu sebagai suatu lokasi yang menimbulkan penasaran warga dunia.

Kawasan itu kemungkinan akan tetap dipelihara sebagai tabir yang akan mengundang rasa penasaran setiap wisawatan, jemaah haji dan umroh yang mengunjungi tanah suci. Jadi, jika Anda berkunjung ke Arab Saudi jangan sampai melewatkan keajaiban Jabal Magnet. (Dede Sudrajat/"PR")***

Jabar Masih Defisit Listrik

Danny Setiawan Akan Temui Pimpinan PLN


OPERATOR mengatur pemadaman sementara sejumlah wilayah Kota Bandung di kantor Area Pengatur Distribusi Bandung PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat & Banten di Kota Bandung, Jumat (30/5). Proses pemadaman secara bergiliran ini masih dilakukan PLN tanpa batas waktu yang ditentukan hingga pasokan kebutuhan listrik kembali optimal.* M. GELORA SAPTA/"PR"


BANDUNG, (PR).-
Perkiraan defisit daya listrik di wilayah Jabar dan Banten hingga Jumat (30/5) sebesar 455 mw, turun 39% jika dibandingkan defisit pada Kamis (29/5) yang mencapai 750 mw. Meski begitu, sekitar 15% pelanggan PLN di wilayah Jabar dan Banten masih akan mendapat jatah pemadaman. Demikian keterangan dari staf Humas PT PLN Distribusi Jabar dan Banten (DJBB) Agus Yuswanta dan Adang Zarkasih, di Ruang Humas PT PLN DJBB, Jln. Asia Afrika Bandung, Jumat (30/5).

Di Bandung, pemadaman kemarin terjadi di wilayah Cicaheum dan sekitarnya, Bandung kota bagian utara, pusat Kota Bandung, Palasari, Dayeuhkolot, Cisirung, Kota Bandung bagian timur dan tengah, Buahbatu, Turangga, serta Cicalengka. Pemadaman yang terjadi sejak Senin (26/5), rata-rata berlangsung selama tujuh jam.

"Kalau pelanggan bisa menghemat pemakaian listrik sebesar 50 watt sehari saja, itu akan sangat membantu, dan durasi pemadaman bisa berkurang," kata Agus.

Baik Agus maupun Adang belum dapat memprediksi kapan pemadaman akibat defisit pasokan ini akan berakhir. Alasannya, mereka mengaku belum mendapat kabar tentang kondisi terakhir pembangkit listrik Muara Tawar (di Bekasi), Tambak Lorok (Semarang), dan Grati (Pasuruan) yang mengalami kerusakan. Namun, Agus mengaku telah memberitahukan jadwal pemadaman kepada para pelanggan. Selain itu, pelanggan juga dapat melihat jadwal pemadaman di laman (website) resmi PLN DJBB www.pln-jabar.co.id yang di-update setiap hari. "Kami juga punya call center 123 dan SMS center 08112233123, setiap hari penuh dengan keluhan, pertanyaan, dan informasi dari pelanggan sejak pemadaman karena defisit," ujarnya.

Agus menambahkan, pemadaman listrik dilakukan berdasarkan standar operasional prosedur (SOP), sehingga kecil kemungkinan suatu daerah terkena pemadaman dua hari berturut-turut. Kecuali jika pasokan sangat rendah, sedangkan permintaan sangat tinggi.

Adang mengungkapkan, saat ini jumlah pelanggan PLN DJBB sebanyak 7,9 juta, yang terdiri atas 7,4 juta pelanggan rumah tangga dengan pemakaian 856 juta kwh, 10.784 pelanggan industri dengan pemakaian 1,6 miliar kwh, 223.799 pelanggan bisnis dengan pemakaian 206 juta kwh, 168.736 pelanggan sosial dengan pemakaian 38 juta kwh, dan 32.420 pelanggan pemerintah dengan pemakaian 37 juta kwh.

"Beban pemakaian listrik industri sekarang dua kali lipat dari rumah tangga. Oleh karena itu, kami mengimbau pelaku industri untuk kembali menggunakan captive power," Adang menambahkan.

Momen pemadaman ini digunakan PLN DJBB untuk melakukan pemeliharaan jaringan yang biasanya dilaksanakan saat pemadaman terencana. Dengan begitu, saat pasokan listrik berangsur normal nanti, tidak akan ada pemadaman listrik terencana untuk pemeliharaan jaringan dalam jangka waktu tertentu.

Rugi

Menyusul defisit pasokan listrik yang melanda Jawa-Bali, kerugian terus diderita oleh para pelaku usaha akibat pemadaman. Pada Jumat (30/5) misalnya, pemadaman listrik di wilayah Bandung utara otomatis menghentikan aktivitas beberapa SPBU dan warnet.

Berdasarkan pemantauan "PR", salah satu SPBU yang berhenti beroperasi karena mati listrik adalah SPBU 3440111 Jln. Cipaganti 141 Bandung. Menurut pengawas SPBU Teguh Widadi, pemadaman listrik terjadi pada pukul 9.30-15.15 WIB. Dia mengaku PLN memberitahukan ada pemadaman di wilayah SPBU sehari sebelumnya. "Tetapi kami tidak tahu kalau pemadamannya hari ini," katanya.

Selain membuat mesin SPBU tidak beroperasi, pemadaman listrik juga membuat pengisian BBM dari mobil tangki ke SPBU terhenti. Akibatnya, mobil tangki itu tidak dapat meninggalkan SPBU hingga listrik kembali mengalir.

"Biasanya dalam sehari kami bisa menjual BBM sampai 30 ton. Tadi pagi sebelum pemadaman, kami baru menjual 3 ton, ditambah penjualan nanti malam, mungkin penjualan hari ini hanya mencapai 11 ton saja. Kerugian mencapai 180 jutaan," ungkapnya.

Hal yang sama dialami Tommy, pemilik warnet "Green Herb" di Jln. Dipatiukur 88 A Bandung. Pemadaman listrik selama sekitar enam jam itu membuatnya menderita kerugian sekitar Rp 600.000,00. Pasalnya, dari 23 komputer yang tersedia di warnetnya, dia memperoleh pendapatan rata-rata Rp 100.000,00 per jam.

Konsumsi naik

Dalam empat bulan pertama, konsumsi BBM pembangkit PLN sudah mencapai 42,24% dari kuota setahun atau sekitar 3,65 juta kiloliter. Permintaan tambahan BBM terkadang datang tiba-tiba sehingga Pertamina kewalahan melayani.

"Kalau ada permintaan dari PLN, kita kan harus lihat kondisi stok kita juga. Karena kita juga harus melayani BBM untuk yang lain," kata Dirut Pertamina Ari Soemarno dalam keterangan pers di Kantor Pusat Pertamina, Jumat (30/5).

Sementera itu, Pertamina dan PLN akhirnya sepakat menggunakan harga komersial untuk setiap BBM tambahan yang dipasok ke pembangkit-pembangkit PLN. Kuota BBM PLN dalam APBN-P 2008 sebanyak 9-10 juta kl.

"Kalau nanti perlu tambahan, kita akan deal business to business. Nggak dibedain dari pasar atau dari Pertamina. Mana yang lebih efisien," kata Wakil Dirut PLN Rudiantara.

Untuk memantau konsumsi BBM PLN, Pertamina dan PLN sepakat membuat tim kecil. Tim ini akan mengontrol gejala-gejala kenaikan konsumsi dan cara mengantisipasinya.

"Pertamina dan PLN sepakat membuat tim kecil bila terjadi lonjakan konsumsi BBM PLN. Karena kita nggak bisa serta merta ngasih. Makanya ada tim monitor, jangan sampai kebutuhan PLN mendadak, Pertamina nggak bisa suplai," kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Faisal.

Bertemu pimpinan PLN

Gubernur Jabar Danny Setiawan mengatakan, pihaknya akan bertemu General Manajer PLN Budiman Bachrulhayat, terkait meluasnya pemadaman aliran listrik dalam beberapa hari terakhir di Jawa Barat. Hal tersebut dikemukakan Danny, seusai mengikuti senam pagi di halaman Gedung Sate, Jln. Diponegoro Bandung, Jumat (30/5).

Danny menilai, pemadaman yang terjadi bisa jadi merupakan gangguan tak terduga sehingga tidak sempat diberitahukan oleh PLN kepada masyarakat. "Itu kan mungkin ada gangguan yang terduga yang bisa diberitahukan. Tapi, ada juga yang tak terduga, tahu-tahu energi berkurang karena kerusakan atau tenaga terganggu," ujarnya.

Namun, setelah dikonfirmasi kepada pihak PLN mengenai pertemuan tersebut, Deputi Manajer Komunikasi PT PLN DJBB Bambang Dwiyanto, melalui pesan singkat mengatakan, rencana pertemuan itu belum ada. General Manajer PT PLN masih berkonsentrasi untuk meminimalkan terjadinya pemadaman dan memantau kondisi lapangan.

Sementara itu, ditemui secara terpisah di gedung DPRD Jabar, anggota Komisi B DPRD Jabar Rahadi Zakaria mengungkapkan, dia akan mengusulkan kepada Ketua Komisi B DPRD Jabar, Hidayat Zaini, untuk segera meminta klarifikasi dari PLN. "Sebagai anggota dewan, saya sangat mengimbau kepada PLN agar keluhan masyarakat terhadap pemadaman listrik diperhatikan dan melayani masyarakat sebaik-baiknya," katanya.

Saat ini, lanjut dia, selain kalangan pengusaha, masyarakat pengguna listrik untuk kehidupan sehari-hari turut dirugikan. "Kalau mau ada pemadaman aliran dalam rangka penghematan energi, paling tidak harus ada informasi, sosialisasi jauh-jauh hari, dan berkoordinasi dengan pihak-pihak stakeholders," tandasnya.

Mengenai area pemadaman, menurut dia, tempat-tempat yang memiliki aspek strategis seperti rumah sakit, industri, dan lembaga penyiaran (telekomunikasi) sebaiknya tidak dimasukkan dalam daftar prioritas. "Industri skala kecil harus dilindungi dulu," ujarnya. (A-78/A-109/ CA-167/CA-180)***

Tung Desem Sebar Rp 100 Juta di Luar Jakarta

Sabtu, 31 Mei 2008 | 09:31 WIB

KOMPAS/ FERGANATA INDRA RIATMOKO
Tung Desem Waringin




JAKARTA, SABTU - Setelah tak mendapatkan izin di Jakarta, niat pelatih sukses Tung Desem Waringin untuk menyebarkan uang Rp 100 juta jalan terus. Hanya saja, penyebaran uang ini diputuskan dilakukan di luar Jakarta, Minggu (1/6) besok.

Asisten Managing Director Tung Desem Waringin, Dicky M Sidik, enggan menyebutkan di kota mana sebar uang itu akan dilakukan. "Demi keamanan, kami memang sengaja merahasiakan di kota mana akan dilakukan. Yang jelas, beberapa jam dari Jakarta. Teknisnya disebar melalui udara," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu.

Dicky menambahkan, total uang Rp 100 juta itu tak hanya berwujud uang. Lebih kurang sekitar 100 tiket seminar 3 hari @ Rp 3,9 juta juga akan dibagikan. "Jadi, selain pecahan uang Rp 1.000, Rp 5.000, dan Rp 10.000, juga ada lebih dari 100 tiket seminar 3 hari. Harga per tiketnya sekitar Rp 3,9 juta. Total uang dan tiket itu 100 juta," jelasnya.

Bagi-bagi uang ini, menurut Dicky, merupakan gambaran dunia marketing saat ini yang menganut dua aliran. Pertama, aliran mengingatkan dan kedua, aliran menawarkan. Apa beda kedua aliran itu? "Kami sebenarnya menyindir. Aliran mengingatkan itu mengeluarkan budget besar untuk melakukan promosi iklan yang tidak bisa diukur. Hanya buang-buang uang saja, dari pada dibuang seperti itu mending dibagikan saja. Kalau aliran menawarkan, melakukan promosi dengan memasang iklan juga dan akhirnya yang melihat akan merespons tapi tidak ada penjelasan mengapa konsumen harus membeli produk yang ditawarkan," ujar Dicky.

ING

Triliuner Berutang di Mana-mana

Sabtu, 31 Mei 2008 | 08:34 WIB

TRIBUN JABAR/Ferri Amiril Mukminin
Ahmad zaini Suparta (tengah) mengaku memiliki dana triliunan rupiah



JAKARTA, SABTU - Ahmad Zaini Suparta, pria yang mengaku akan membagikan warisan orangtuanya senilai Rp 18.000 triliun, dicari-cari sejumlah pengusaha hotel, katering, dan hiburan karena ngemplang ratusan juta rupiah.

Sementara itu, Kapolda Jawa Barat Irjen Susno Duadji mengimbau warga masyarakat tidak mudah terpancing dengan kabar tentang triliuner yang akan membagi-bagi uang.
Sejumlah pengusaha yang tertipu Ahmad Zaini melaporkan pria yang mengaku tinggal di Pulomas, Jakarta Timur, tersebut ke Polresta Cimahi. Ahmad Zaini antara lain menunggak pembayaran sewa hotel tempat ia menyelenggarakan public expose rencana penyaluran dana Rp 18.000 triliun tersebut.
Grup musik tradisional terkemuka, Saung Angklung Mang Udjo, juga mencari-cari Ahmad Zaini karena belum membayar honor pentas. Melalui Yayasan Galuh Pakuan yang beralamat di Jalan Aria Timur, Bandung, beberapa waktu lalu Ahmad Zaini minta Saung Angklung Mang Udjo menghibur hadirin di public expose di Villa Istana Bunga, Parongpong, Bandung Barat, Kamis (29/5).
”Kami dikontrak Rp 20 juta, tapi uangnya hingga kini belum dibayar,” kata Maulana, staf marketing Saung Angklung Mang Ujo, Jumat (30/5). Maulana telah mengecek ke alamat Ahmad Zaini yakni di Jalan Aria Timur. Ternyata, alamat itu adalah alamat Yayasan Galuh Pakuan. ”Galuh Pakuan lepas tanggung jawab,” imbuhnya.
Polisi juga menerima laporan dari 30 gadis yang bertugas sebagai penerima tamu pada public expose Kamis lalu. Para gadis tersebut dijanjikan honor Rp 1 juta per orang. ”Kami yakin dia sudah kabur. Kami kesal dan melaporkan kejadian ini ke polisi,” kata Dewi (20), salah satu gadis yang dikontrak Ahmad Zaini.
Secara terpisah, Kapolda Jawa Barat Irjen Susno Duadji minta masyarakat berpikir jernih dengan tawaran seperti yang ditawarkan Ahmad Zaini. ”Orang gila kok ditanggapi. Masih banyak pekerjaan lebih penting. Masyarakat jangan ikut gila,” katanya.
Seperti diberitakan, Ahmad Zaini yang mengaku sebagai pengusaha asal Tasikmalaya dan tinggal di Jakarta Timur, pada Kamis (29/5) menggelar public expose multiproject di sebuah vila di Bandung Barat. Ahmad Zaini mengaku memiliki warisan Rp 18.000 triliun yang akan ia salurkan ke pemerintah daerah, perusahaan, maupun perorangan agar digunakan untuk menyejahterakan masyarakat.
Namun, seorang tokoh masyarakat Tasikmalaya mengaku asing dengan Ahmad Zaini. Selain itu, ada beberapa hal pada Ahmad Zaini yang terkesan misterius. Kondisi ini mirip dengan Djoko Suprapto, pria asal Nganjuk, Jawa Timur, yang mengaku bisa mengubah air laut menjadi bahan bakar untuk kendaraan. Namun Djoko tak pernah mengizinkan temuannya yang diberi nama blue energy itu untuk diuji secara ilmiah.
Hingga kemarin, Djoko masih mengurung diri di rumahnya. Padahal, hari itu dia dijadwalkan memaparkan temuannya di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di istana. Selain menerima Djoko, SBY juga dijadwalkan menerima tim energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Namun pertemuan itu urung dilaksanakan karena, menurut Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, Presiden SBY masih batuk dan harus istirahat.
Lebih jauh, Andi membantah bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tertipu oleh Djoko Suprapto yang mengaku dapat mengubah air laut menjadi bahan bakar kendaraan.
”Saat dipresentasikan ke Presiden, Presiden mendorong agar riset itu ditindaklanjuti. Ditindaklanjutinya diserahkan masing-masing, ada yang ditindaklanjuti oleh swasta, lembaga penelitian, dan perorangan. Apakah riset itu gagal atau berhasil, (itu) urusan lain. Kalau gagal, ya jangan putus asa,” katanya di Gedung DPR, Jumat (30/5).
Di tempat terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta bangsa Indonesia tidak menganggap remeh sebuah penelitian, termasuk penelitian blue energy yang saat ini sedang dilakukan oleh Djoko Suprapto. ”Jangan anggap remeh semua penelitian ekstrem seperti itu. Semua penelitian ekstrem, awalnya selalu dilihat konyol, dianggap gila,” katanya. (Ant/yog)

Jumat, 30 Mei 2008

You Say You Want a Revolution?

Everything old is new again as Civilization conquers the console
By Steve Morgenstern
Posted 05.29.2008 at 1:21 pm


Alexander the Great in Civilization Revolution: Photo by Take-Two Interactive Software


A console version of Civilization? For many PC gamers, that's as heretical as a Citizen Kane TV series–you just don't mess with the classics of popular culture. In this case, though, the man helming the project is the same guy who started it all, legendary designer Sid Meier. After struggling with the challenge for two years, Sid's found a way to streamline his turn-based strategy game without lobotomizing it.

Civilization Revolution remains faithful to the game design launched seventeen years ago for MS-DOS computers with 16-color displays, but it feels remarkably fresh and accessible in its new keyboard- and mouseless incarnation.

The game challenges players to start out with a single primitive outpost 6000 years ago and, by developing commerce, culture, technology and military might over the course of centuries, achieve global domination. The game proceeds by turns – you move your units, assign tasks to your minions, then sit back nervously while your opponents (live or computer-controlled) set their own machinations in motion. Played on a PC, a single Civilization game runs at least 12 hours (and often much longer) and features lots of tiny on-screen details that would be lost on the standard-def TV screens that still hulk in many living rooms. How do you overcome those daunting hurdles on the way to console success?

First, create smaller maps. In PC Civ, cities are strewn across vast spaces of randomly generated geography. That gives you time to develop armies and resources before encountering the enemy, but also makes the initial hours kind of slow. The more compact geography of Civilization Revolution puts you within a few turns of an enemy right from the start, while at the same time allowing settlements and other map features to appear much larger on the screen. Instead of looking at icons representing cities or armies, you see buildings with distinctive architectures based on individual cultures, ornate Wonders of the World and detailed military units marching into combat.

Second, eliminate a lot of the micro-management. In Civ for the PC, you tell individual workers where to look for resources or build roads. Now you create a settlement, and the inhabitants get to work while you concentrate on strategic decisions.

Third, make each upgrade really matter. Instead of earning minor improvements in industrial production or military strength, you take satisfying leaps forward, like making your army 50 percent more powerful.

Fourth, make the game situation more fluid. One of the great strengths of the Civilization concept is the variety of ways you can win. Military conquest is one path to victory, but you can also crush your opponents through cultural supremacy, technological superiority or economic domination. In the PC version, though, you basically have to choose one strategy and stick with it throughout the game -- the slow, incremental growth required to achieve greatness on any given path makes starting over prohibitively time-consuming. The faster pace of advancement in Civilization Revolution gives you the freedom to change course and still climb to the top. The enhanced role of espionage also lends itself to quick changes in the state of the game. Sneak into a city and kidnap your opponent's leaders, for example, and your odds of victory change dramatically.

Finally, enhance the presentation with more on-screen personality. Civilization has always included historic world leaders (Lincoln, Ghandi, Catherine the Great), but now these heads of state feature expressive animation and entertaining dialog as you engage in diplomatic wrangling.

I played computer Civilization from its first incarnation and, while the series continued to evolve and expand (Civilization IV is a still a very popular PC title, with expansion packs and fervent fans), I frankly lost the will to play its lengthy scenarios. Trying a nearly completed build of Civilization Revolution on the Xbox 360 rekindled my enthusiasm for the franchise. And while the 360 and PS3 versions have the visual splendor, I'm particularly excited about an unlikely third choice – the Nintendo DS. The interface is spartan and the graphics less impressive, but the complete game fits into that pocket-sized device – same rules, same strategy, same artificial intelligence, same addictive challenge. Creating a satisfying full-size console version of Civilization is indisputably impressive, but squeezing the historical arc of human achievement into an 8-ounce device may be an even bigger achievement.

Wapres Minta Kembalikan Sistem Distribusi Penjualan Buku

Jumat, 30 Mei 2008 14:38:00
Jakarta-RoL-- Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta para penerbit buku untuk mengembalikan sistem distribusi penjualan buku untuk menumbuhkan semangat membaca, dengan mengajak toko buku .

"Kalau ingin semangat baca meningkat, kembalikan sistem distribusi (penjualan) buku," kata Wapres Kalla saat membuka Pusat Buku Indonesia di Kelapa Gading, Jakarta, Jumat.

Menurut Wapres , selama ini telah terjadi penghilangan salah satu fungsi dalam distribusi penjualan buku. Wapres menjelaskan saat ini penerbit lebih senang langsung menjual bukunya ke sekolah-sekolah. Dengan demikin justru telah menghilangkan fungsi distributor dan toko buku.

"Penerbit suka menjual (buku) langsung ke sekolah-sekolah. sehingga fungsi toko buku hilang dan tidak berkembang," kata Wapres.

Wapres menjelaskan bahwa bisnis buku paling menguntungkan pada saat tahun ajaran baru. Namun karena penerbit langsung menjual ke sekolah-sekolah maka toko buku tak berkembang.

Padahal , tambah Wapres , jika ingin buku bisa dijual dengan murah maka harus dicetak secara massal (banyak) dan didistribusikan secara masal pula.

Tempat rekreasi
Pusat Buku Indonesia menjadi tempat rekreasi sambil studi dan berkarya. PBI yang berlokasi di Hypermall Kelapa Gading ini didirikan oleh Ikapi, yang berisi gabungan toko buku Indonesia, tempat ini menjadi impian bagi Ikapi sejak 25 tahun lalu.

PBI diharapkan dapat menjadi tempat pelayanan satu atap atau one stop education service. PBI bukan sekedar bursa buku, tetapi juga siap menyelenggarakan pameran buku lima kali dalam setahun. Selain itu akan diadakan pula berbagai seminar, bedah buku, konsultasi pendidikan, pelatihan menulis dan aneka lomba

Selain itu , para penulis maupun pengarang atau siapa saja yang ingin menerbitkan buku dapat berhubungan dengan penerbit di PBI secara langsung, karena PBI tak hanya sebagai toko buku tetapi juga sebagai kantor perwakilan
PBI mempunyai 700 stand toko buku dan ratusan perwakilan kantor penerbit di seluruh Indonesia, lingkungannya luas, tertata apik, PBI juga dilengkapi dengan alat peraga dan pendukung studi

PBI berharap jumlah toko buku dapat terus tumbuh seperti tahun 70-an yang jumlahnya mencapai 4.000 di seluruh Indonesia. sekarang ini justru jumlahnya menurun tinggal 50 persennya.

Padahal, menurut catatan IKAPI pertahunnya ada 10 ribu judul buku yg diterbitkan, belum termasuk buku impor. antara/abi

National Awakening Museum portrays our nationalism

Matheos Viktor Messakh , The Jakarta Post , Jakarta | Tue, 05/27/2008 7:52 PM | Travel


(JP/R. Berto Wedhatama)

In contrast to the clamorous 100th anniversary celebrations of the national awakening at Bung Karno sports stadium, the National Awakening Museum on Jl. Abdul Rahman Saleh 26 is in appalling condition.

The neoclassic building was built in 1899 for the School tot Opleiding Van Inlandsche Arsten, Stovia, a Dutch medical school for native students.

Built as a medical school by Dutch military engineer corps, the building is more like a fortress or military dormitory than a medical school.

The facade above the main entrance is classical Greek, but the main entrance itself is a colonial fortress. Its iron gate and the absence of a porch or veranda accentuates the fortress style of the building.

The National Movement Room, which was used as the Stovia students dormitory from 1902 to 1925.: (JP/R. Berto Wedhatama)


The 19th-century building has long windows because of the tropical climate. Every window has two shutters and a semicircular grille fanlight attached to each one. The outside shutter uses a grill for sun protection, while the inside shutter uses glass. Some windows were fixed according to their original style in 1973, but some glass panes have been replaced by iron bars.

Between 1942 and 1973 the building was used by Ambon soldiers. Until a renovation by the Jakarta administration in 1973, the building still hosted 196 households of Ambon soldiers.

During the renovations, former Stovia, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) and AMS (Algemeene Middlebare School) students provided pictures and shared their memories of the original building.

Some changes have been made, including new doors connecting rooms, to cater for its new function as a museum.

Some doors and windows have been blocked with their frames still intact.

Once you enter the main entrance, you turn left to start your clockwise journey through the rooms. All of the collections have been arranged in chronological order.

Not many national awakening related collections can be found here except some replica Dutch sailing vessels; hundreds of reproduction pictures of national heroes, heroines, and other historical figures; dozens of paintings of national heroes and heroines; reproductions of some old newspapers; busts of nine people believed to be the founders of Boedi Oetomo; several
dioramas; and medical and old war equipment.


A replica of a Stovia classroom : (JP/R. Berto Wedhatama)


"Apart from the building, the only original collection is some furniture and medical equipment," Edy Suwardi, the National Awakening Museum head, said.

A poor standard of preservation has made it difficult for the museum's management to chase down original items, Suwardi said.

"Out of all the museums in the country, only the national museum has proper standards for preservation and maintenance. People may be willing to donate their heirlooms, but they are
worried about the continuity of preservation," Suwardi said.

Some of the museum's collections are poorly kept. Some pictures have no label or if they have, the explanations are vague. Some pictures are already missing from their places, with their labels left behind. Only a few rooms use for display receive the proper treatment in terms of light and temperature, except.


A doorway at the veranda of the early national movement rooms is riddled with white ants. (JP/R. Berto Wedhatama)


Some parts of the building, such as door frames, are riddled with white ants.

A lack government funding is part of the management problem the building that established as a cultural heritage building on Dec. 12, 1983, Suwardi said.

Last year the building received Rp 2.8 billion (US$ 300.82 million) from the government, while this year it received only Rp 1.75 billion.

Every year, the government earmarks about Rp 300 million for maintenance.

"With this amount there is not much we can do. Painting door and window frames is cheap, but replacing old and broken materials is expensive.

Suwardi said the government stated that 30 percent of the funds should go toward fixed-expenditures such employee salaries and building maintenance, while 70 percent should go toward museum activities. However, more than half of the money is used for the salary of its 44 employees.

"It is difficult to apply this ratio because we have many employees and obviously expenditure for salary is larger," said Suwardi.


A replica of a Dutch vessel. (JP/Matheos Viktor Messakh)


"I don't know how to deal with it so that the allocation for activities is larger than maintenance and salary," said Suwardi.

Earnings from the entrance fee and the museum shops form only a tiny part of their funding. Suwardi said that the museum receives up to 1,000 visitors a month, but since the entrance fee
was set by the government in 1998 at Rp 750 for adults and Rp 250 for children, the museum does not earn much money.

Besides rooms full of pictures, four rooms are dedicated to several occasions or national awakening episodes: a room for Boedi Oetomo memorial, a room for a diorama of Stovia lecturers meeting, a room for a diorama of a Stovia class and a room for a diorama of R.A. Kartini's classroom.

On the front corner to the left of the building is the Boedi Oetomo memorial room, which might be the only room in its original state. It is believed that Raden Soetomo and eight other students held a meeting here on May 20, 1908 to establish Boedi Oetomo.


The Boedi Oetomo Memorial Room: (JP/R. Berto Wedhatama)


The room was the anatomy room back then.

In this dark room there are the bronze busts of eight people believed to be the founders of Boedi Oetomo, including Goenawan Mangoenkoesoemo, Raden Angka Prodjosoedirdjo, Gondo Soewarno, Raden Mas Goembrek, Soeradji Tirtonegoro, Moehammad Saleh and Moehammad Soelaiman.

The bust of Raden Soetomo is not found here as it is in another room to the left of the main entrance, the introduction room.

A portrait of Dr. Wahidin Soedirhoesoedo by the famous painter Basoeki Abdullah is in front of the memorial room with a quote from Raden Soetomo adjacent to it. The quote acknowledges the role of Dr. Wahidin played in establishing Boedi Oetomo.


The diorama of a lecture meeting where Stovia director Dr. F.H. Roll (right) defends Raden Soetomo. The only original item in the exhibit is the table. (JP/R. Berto Wedhatama)


An original human skeleton used as example for medical students is still hanging inside a display case. A surgery table lies next to it.

The room is set up to represent the original Stovia's anatomy class with some wooden chairs for students. On the wall are some paintings and reproduction pictures of Stovia students.

Next to the Boedi Oetomo memorial room is a room with an exhibit detailing the situation of the lecturer meeting when Stovia director Dr. H.F. Roll defended Soetomo. Soetomo was about to be expelled from Stovia due to his activities in Boedi Oetomo. Roll was able to defend Soetomo with his famous saying: "Didn't anyone among the gentlemen present here, more red than Soetomo when we were at the age of 18?"

The original table used during the meeting is put on display, but the exhibit itself does not represent the real event. From paintings and pictures depicting the event, it appears that eight
people attended the meeting, but we only find three people in the exhibit including Dr.H.F. Roll.


Recreatiezaal (reading room) which are used now as the museum office: (JP/Matheos Viktor Messakh)

It's common knowledge that the poor management of many museums in the country is caused by a lack of funding. Not only are the collections poorly kept, but they also lack modernity. In a shop inside the museum, apart from soft drinks and snacks, don't expect to find any souvenirs that show you have been to the National Awakening Museum.

"Our museum shop is run by our cooperative, which emphasizes employee welfare. We have some miniature of the building and some t-shirts and caps, but sometimes we just give them to visitors for free," Suwardi said.

Energy Drinks May Promote Risky Behavior

new study links super-caffeinated beverages to substance abuse, violence and reckless sexuality
By Gregory Mone
Posted 05.29.2008 at 4:4
8 pm


Full Throttle: Photo by Coca-Cola Company


Energy drinks like Monster, Full Throttle, Red Bull and others account for more than $3 billion in annual sales in the U.S., and roughly one-third of people between the ages of twelve and 24 say they suck them down on a regular basis. The beverages have been linked to a number of negative health effects, but now an addiction researcher at the University of Buffalo has published a report demonstrating that excessive consumption is also correlated to risky behavior such as unprotected sex, substance abuse and violence.

Of course, this doesn't necessarily mean that the drinks cause the behaviors. But the researcher suggests that seeing their kids binging on the drinks should be a red flag for parents. The study also found that those who mix energy drinks with liquor were more likely to engage in or be subject to aggressive sexual behavior. So, stay away from the Red Bull and vodkas, kids.

NY Times

Yuk, Pakai Sistem Operasi Online

Jumat, 30 Mei 2008 | 12:19 WIB

GLIDE

Berbekal notebook yang hanya ter-install sistem operasi plus browser serta dilengkapi modem internet, apakah Anda bisa mengerjakan seluruh pekerjaan kantor dengan mudah? Hmmm, bisa nggak ya?

Padahal, pekerjaan kantor itu biasanya meliputi aktivitas mengetik dokumen, mengerjakan spreadsheet, mengolah gambar, dan, biasanya sih, bekerja sambil mengerjakan musik. Apakah bisa semuanya dilakukan lewat sebuah Web browser?

Jawabnya: bisa saja. Kini banyak layanan Web operating system yang bisa membantu Anda mengerjakan seluruh aktivitas berkomputer. Nah, layanan inilah yang bisa Anda pakai sebagai pengganti atau alternatif dari sistem operasi utama di komputer Anda, utamanya jika sistem operasi tersebut memang minim aplikasi kantoran.

Layanan seperti apa yang layak dipilih? Tentu saja yang lengkap. Boleh jadi OS online tersebut harus memiliki aplikasi kantoran yang komplet, aplikasi kirim pesan (e-mail client dan instant messaging), pemutar aneka hiburan, sampai aneka pengedit foto.
Cicipi Glide

Pilihan sistem operasi online dengan aneka aplikasi komputasi kini banyak tersedia. Terhitung sudah lebih dari jumlah jari di tangan. Salah satunya adalah layanan Glide (www.glidedigital.com). Selain via komputer (baik notebook atau pun PC desktop), Anda juga bisa mengaksesnya lewat ponsel seperti iPhone dan PDA ber-internet browser, hanya dengan mengunjungi alamat https://xmobile.glidesociety.com.

Tampilan utamanya serupa desktop di PC dengan icon-icon fasilitas yang tersedia. Di sisi kirinya terdapat panel berisi root dan folder berisi file dan dokumen. Di luar fasilitas untuk urusan kantor, Anda bisa mencicipi pemutar musik, video dengan dukungan aneka format video, serta memanfaatkan aplikasi pengolah foto yang bisa mengolah file Adobe Photoshop berformat PSD. Fasilitas RSS feed juga ada.

Untuk urusan kantoran, ada fasilitas program mailer serupa Outlook Express, kalender, bookmark Web, Web publishing, pengolah tabel, kalkulator, chat, penyusun presentasi, dan, tentu saja, pengolah kata. Sekali mendaftar, Anda akan mendapatkan Personal Hard Drive Container untuk menyimpan semua data yang dibutuhkan pada server Glide. Versi gratis layanan ini memberikan kapasitas sampai 4GB untuk menyimpan data.

Pengolah katanya, Glide Write, tak beda dengan program pengolah kata pada umumnya. Ada fasilitas pengelolaan huruf, format, pemeriksa ejaan, sampai fasilitas thesaurus. Setiap dokumen secara default akan disimpan dalam format HTML, tetapi bisa juga diubah menjadi format DOC, PDF, RTF, dan TXT.

Fitur pembuat presentasi, Glide Presenter, menawarkan banyak dukungan multimedia dan kemudahan pemakaian. Themes, format teks, sampai filter telah tersedia dan siap pakai. Multimedia files yang tersimpan dalam container Anda bisa dipakai sebagai penghias presentasi. Data presentasi bisa disimpan dalam server atau diekspor menjadi file berformat PPT.

Layanan ini juga menyediakan Glide Web Publishing, fasilitas untuk membuat halaman Website — serupa Microsoft FrontPage. Aplikasi ini menyediakan template Web siap-pakai yang bisa langsung disiarkan secara online.

Namun fasilitas yang paling menarik sebenarnya adalah PhotoEdit. Aplikasi pengedit foto online ini menawarkan aneka fitur serupa aplikasi pengolah foto di PC. Ada sekitar 50 filter, efek, dan tool manipulasi foto yang disediakan. Bahkan ada pula fasilitas auto-contrast, auto-color, auto-redeye reduction, equalize, invert, substract background, edge detection, dan juga penambah noise.
Mencicipi Online OS

Bagaimana menggunakannya? Gampang saja. Ikut saja panduan berikut mengenai cara cepat menggunakannya. Oh ya, aplikasi yang tersedia di sistem operasi ini adalah Contacts (daftar alamat), Chat (instant messaging), E-mail (e-mail client), Share (P2P client), Calendar, Edit (drawing tool), Write (text editor), Crunch (spreadsheet), Present (presentation), Publish (web editor), Photos (photo retouching), Music (music player), Video (video player), Docs (file management), dan Bookmark.

Ketika masuk ke dalam halaman ini, Anda tinggal klik [Sign Up] untuk mendaftarkan diri dengan mengisi sejumlah formulir online. Konfirmasi akan diberikan via e-mail dan secara otomatis Anda juga akan mendapatkan sebuah akun e-mail dari Glide.

Tunggu beberapa saat sampai jendela aplikasi muncul di layar. Sistem operasi online ini memiliki dua panel. Panel kanan berisi daftar aplikasi (yang nantinya berubah menjadi jendela kerja setiap aplikasi) dan panel kiri berisi direktori folder simpan file-file yang Anda buat dan olah. Folder simpan (disebut container) ini berada di drive virtual yang diberikan Glide untuk Anda.

Daftar aplikasi di sini ada sekitar 15 aplikasi, mulai untuk urusan kerja sampai hiburan. Untuk menggunakannya, Anda tinggal klik salah satu aplikasi, misalnya Glide Write, dan sebuah dokumen kosong akan tampil di layar dalam sebuah jendela baru. Selanjutnya, Anda tinggal mengetikkan dokumen. Toolbar dan fitur yang tersedia cukup mudah dipahami sehingga Anda akan mudah mengelolanya.

Jika sudah, Anda tinggal klik tombol [Save] bericon disket yang ada di toolbar atas. Secara otomatis, file akan disimpan dalam drive virtual. Namun Anda juga bisa melakukan [Save as], lalu menyimpan dokumen ke dalam removable disk seperti flash drive. Jika sudah, untuk berpindah aplikasi, Anda tinggal klik tab [Application] yang ada di bagian atas desktop online. Gampang, bukan?

(sumber: PCplus)

Tentang Glide

Alamat web: www.glidedigital.com
Jenis: Gratis

Persyaratan sistem: Windows XP/2003/Vista, Mac OS X, Linux, RIM BlackBerry, Palm, Windows Mobile, Symbian and iPhone; browser Internet Explorer 6.0+, Firefox 2.0+, Camino 2.0+


Alternatif Sistem Operasi Online

Tak puas dengan Glide? Silakan cicipi beberapa layanan desktop online di bawah ini. Hampir semuanya gratis dan bisa Anda akses dari mana saja — hanya dengan bermodalkan PC terkoneksi Internet dan browser Internet. Selain itu, beberapa aplikasi membutuhkan Flash Player dan Java Environment System untuk menjalankannya.
http://giffard.dynalias.net/ssoe
http://g.ho.st
http://live.gnome.org/OnlineDesktop
www.craythur.com
www.desktoptwo.com
www.eyeos.org
www.glidedigital.com
www.goowy.com
www.mygoya.de
www.orcaa.com
www.stone-ware.com/webos/index.html
www.wiredcomfort.com
www.youos.com