Rabu, 04 Maret 2015

Kisah "Sniper" Terbaik Dunia Pegang Teguh Prinsip Hidup Sederhana (3)

Selasa, 3 Maret 2015 | 20:04 WIB

KOMPAS.com/Reni Susanti
Tatang Koswara


BANDUNG, KOMPAS.com - Tatang Koswara ialah tentara Indonesia yang masuk ke daftar penembak jitu atau sniper terbaik di dunia, seperti tercantum dalam buku "Sniper Training, Techniques and Weapons". Dalam buku yang ditulis Peter Brookesmith itu, nama Tatang masuk ke daftar 14 besar Sniper’s Roll of Honour di dunia.

Kendati menyandang predikat sniper terbaik dunia, namun Tatang tetap hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan tersebut menjadi prinsip hidup pria yang kini sudah berusia 68 tahun itu.[Baca juga: Kisah "Sniper" Terbaik Dunia Selamat dari Maut karena Merah Putih (2) dan Kisah "Sniper" Terbaik Dunia yang Kini Hidup dari Warung Makan (1)]

Suara mesin jahit terdengar sayup dari ruang keluarga. Tidak lebih dari 15 menit suara tersebut hilang, beriringan dengan kemunculan seorang perempuan setengah baya dari balik pintu ruangan tersebut.

“Silakan diminum. Maaf seadanya,” ujar Tati Hayati, istri Tatang Koswara (68), salah satu sniper (penembak jitu) terbaik dunia di kediamannya, Cibaduyut, Bandung, Senin (2/3/2014).

Tati mengatakan, sejak menikah dengan Tatang pada 1968, ia sudah terbiasa hidup sederhana. Misalnya dalam hal pakaian. Untuk pakaian keluarganya, ia jarang membeli baju. Biasanya ia membeli kain kiloan di Cigondewah atau Pasar Baru Bandung untuk kemudian dijahit.

“Pakaian untuk dipakai sendiri saja, tidak untuk dijual,” ucapnya sambil tersenyum.

Tatang menuturkan, kepandaian Tati dalam menjahit telah membantu ekonomi keluarga. Karena dengan menjahit, ada nilai ekonomi yang bisa dihemat. Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu melihat pakaian di toko harganya Rp 300.000. Meski memiliki uang dengan jumlah tersebut, Tatang tidak membelinya. Ia mengantar sang istri mencari kain kiloan dan menjahitnya.

Hidup sederhana memang sudah diterapkan Tatang dan Tati sejak membina rumah tangga. Bahkan bagi Tatang, ketika dirinya menyatakan bergabung ke TNI, bayangan hidup sebagai orang kaya tak pernah terlintas sedikitpun. Karena menjadi TNI seperti burung yang diberi gaji maupun makan tepat pada waktunya.

“Menjadi TNI tidak akan kelaparan, tapi tidak akan kaya. Saya sudah siap dengan itu. Makanya, saat akan menikah saya bertanya pada istri apa siap hidup sederhana dan mungkin pas-pasan. Ternyata istri saya mau,” imbuhnya.

Begitupun saat pertama kali ia menyerahkan gaji ke istrinya. Saat itu, Tatang berpesan agar Tati pintar dalam mengelola keuangan yang seadanya. Namun tanpa diberi tahu, sang istri pintar dalam mengelola keuangan. Pengalamannya di Persatuan Istri Prajurit (Persit) memberi banyak keahlian.

“Istri saya ini pintar memasak apapun. Mau makanan Padang, Madura, Sunda atau apapun. Ini semua belajar dari Persit,” tuturnya.

Karena kelihaiannya tersebut, ia dan sang istri pernah berbisnis katering untuk pabrik. Pegawai pabrik menyukai masakan sang istri, selain karena enak, menu yang ditawarkan beragam. Misalnya, hari Senin makanan Sunda, lalu Selasa makanan Padang, Rabu makanan Madura, dan seterusnya.

Namun kini ia dan istrinya hanya menjalankan bisnis rumah makan di Kodiklat TNI AD Bandung. Di Pujasera Serdadu, rumah makan berukuran 4x3 meter tersebut, Tatang dan istrinya bahu-membahu menjalankan bisnisnya. Kini, setelah divonis penyakit jantung, rumah makan tersebut dilanjutkan oleh anaknya.

Tatang mengatakan, suka duka menjadi tentara yang mengabdikan hidup hanya bagi negara menjadi bagian hidupnya sehari-hari. Namun ia tidak pernah menyesal menjadi tentara. Bahkan, ia merasa bangga, apalagi ketika ia berhasil membesarkan keempat anaknya dengan baik. Bahkan anak laki-lakinya kini menjadi pengacara.

“Anak saya enggak ada yang jadi tentara. Tapi ada menantu saya yang jadi tentara. Satu mantunya lagi seorang arsitek,” tutupnya menceritakan buah dari kehidupan sederhananya. (habis)


Penulis: Kontributor Bandung, Reni Susanti
Editor: Farid Assifa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar