Kepada para mahasiswa Osaka Gaidai yang hendak pergi ke Indonesia untuk pertama kalinya, saya selalu mengingatkan mereka tentang macam-macam makanan dan minuman. Saya katakan banyak makanan yang namanya sama, tetapi ternyata di setiap daerah ada variasi yang berlainan satu dengan yang lain. Sebaliknya ada juga makanan yang namanya berlainan, tetapi ternyata wujud dan rasanya sama di daerah yang satu dengan di daerah yang lain.
Contoh yang sering saya kemukakan adalah kalau memesan minuman di restoran di Singapura (Kuala Lumpur), Bandung dan Yogyakarta. Di Singapura (Kuala Lumpur) kalau kita memesan teh (tea), kita akan mendapat teh manis yang telah dicampur dengan susu. Kalau mau teh tanpa susu, kita harus meminta tea kosong atau tea o. Kalau mau teh tawar, kita harus memesan tea o tak bergula.
Di Bandung kalau kita memesan teh yang kita peroleh adalah teh tawar (tak bergula). Kalau mau minum teh manis, harus tegas disebut minta teh manis. Sebaliknya di Yogyakarta atau di daerah Jawa (Tengah dan Timur), kalau kita memesan teh, yang datang adalah teh manis. Kalau mau minum teh tawar, harus tegas-tegas menyebutkan bahwa kita meminta teh tawar.
Begitu juga dengan makanan. Yang disebut soto, variasinya banyak sekali. Soto bandung, soto banjar, soto makasar, soto kudus, rasanya berlainan. Begitu juga berdasarkan bahannya ada soto babat, soto ayam, soto daging, dan lain-lain. Buat orang Jepang (dan juga buat orang asing lainnya), niscaya hal itu bisa membingungkan. Buat kita sendiri tidak mudah, terutama karena setiap daerah mempunyai nama yang berlainan untuk berbagai jenis makanan. Gado-gado di Jakarta, disebut lotek di Bandung. Padahal apa yang disebut lotek di Bandung, di kampung saya Jatiwangi disebut uleg, karena yang dinamakan lotek di kampung saya adalah semacam pecel di Jawa, yaitu yang bumbunya dikucurkan di atas sayur-sayuran, hanya rasanya lebih masam karena banyak memakai asam. Gado-gado di Jakarta juga ada dua macam, yang diulek di atas coet batu, biasanya dijajakan dalam dorongan walaupun banyak yang mangkal di tempat tertentu di pinggir jalan. Ada juga gado-gado yang kuahnya dikucurkan di atas sayuran yang sudah direbus - biasanya gado-gado itulah yang disediakan di restoran-restoran. Di Jawa disebut pecel. Rasanya tentu berlainan, karena masing-masing mempunyai resep yang berbeda.
Mi yang berasal dari Cina, di Jepang juga dikenal. Disebut ramen. Warnanya kuning. Akan tetapi, ramen di Jepang biasanya direbus dengan tulang babi, sehingga meskipun tidak pakai daging (biasanya pakai daging babi), harus dihindari orang Islam. Di Indonesia, mi terdapat dalam berbagai variasi, tergantung daerahnya. Ada mi kuah (rebus) ada mi goreng. Kebanyakan memakai ayam, tetapi banyak yang memakai baso. Tentang baso ini juga ada yang dibuat dari daging (sapi) atau dari ikan. Ternyata banyak anak Jepang yang menyukai baso.
Ada juga mi jawa yang dimasak secara khusus, di atas anglo dengan arang, biasanya sekali masak untuk satu porsi, sehingga pemesan harus antre lama.
Variasi makanan yang begitu beragam di Indonesia bisa membingungkan orang Jepang yang pertama kali datang. Akan tetapi sebenarnya bukan hanya orang Jepang atau orang asing lainnya saja yang bisa bingung menghadapi ragamnya makanan di Indonesia. Kita pun orang Indonesia bisa salah. Misalnya kalau di Cirebon kita memesan empal yang datang adalah semacam gulai daging berwarna kuning. Sekarang disebut empal gentong meskipun tidak selalu ditempatkan dalam gentong. Tambahan nama itu baru belakangan muncul, mungkin supaya jangan ketukar dengan gepuk, karena di beberapa tempat di Priangan, gepuk disebut empal juga.
Kawan saya pernah marah-marah kepada tukang kupat tahu, karena ternyata memakai kecap dan rasanya manis. "Tahu tidak kupat tahu?" katanya berang kepada pedagang kupat tahu baru di pinggir jalan utama di Bandung. Kupat tahu di Bandung atau di Priangan memang tidak pakai kecap dan rasanya tidak manis. Akan tetapi kemudian saya tahu bahwa kupat tahu yang disuguhkan kepada teman saya itu, kupat tahu dari Magelang, yang memang pakai kecap dan rasanya manis. Rupanya kupat tahu Magelang melakukan ekspansi ke Bandung, yang tentu saja tidak dapat diterima oleh orang Bandung asli yang seumur hidup mengenal kupat tahu yang lain cara memasaknya dan lain pula rasanya.
Akan tetapi, kecuali nama yang sama jenisnya lain, banyak juga yang jenisnya sama atau hampir sama tetapi namanya lain-lain. Dodol di Garut, jenang di Kudus. Ketoprak di Jakarta, lengko di Cirebon. Cendol di Bandung, dawet di Banjarnegara, dan lain-lain.
Saya sendiri pernah kejeblos. Di sebuah restoran di dekat Cikampek saya memesan pecel lele karena mengira ikan lele yang dibakar kemudian dipecel, yaitu dimasukkan ke dalam bumbu santan atau bumbu kecap. Ternyata lele goreng yang disajikan bersama dengan pecel (Jawa = semacam gado-gado). Makanan yang berasal dari Jawa itu sekarang sudah umum baik di Bandung maupun di Jakarta, tetapi ada waktu itu belum populer.
Padahal sekarang macam-macam masakan daerah kian merebak di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Kalau kita belum mencobanya mungkin kita akan bertemu dengan makanan yang namanya kita kenal namun wujudnya berlainan dengan apa yang sudah kita kenal. Nasi liwet, misalnya, yang dijual di Solo dengan yang dijual di Limbangan, Garut, banyak bedanya. Liwet Solo banyak menggunakan daging ayam yang kadang dimasukkan ke dalam pendil-nya, sedangkan di Priangan yang dimasukkan ke dalam pendil bersama beras itu ikan asin jambal roti atau teri. Bahkan sekarang banyak restoran yang menyuguhkan nasi uduk sebagai liwet. Untung bahwa kebanyakan orang sekarang tidak tahu apa liwet, karena seumur hidupnya tak pernah makan nasi liwet, sehingga nasi uduk itulah yang dianggapnya liwet. Hal demikian tampaknya terjadi juga dengan berbagai makanan asli yang sudah hilang tetapi sekarang dipopulerkan oleh para pengusaha yang menyesuaikannya dengan selera manusia masa kini tanpa mempedulikan apakah sesuai dengan yang aslinya ataukah tidak, yang penting laku.***
Penulis, budayawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar