Rabu, 8 Oktober 2014 | 07:30 WIB
KOMPAS.com - Bukan hanya gerhana Bulan total biasa yang bakal terjadi Rabu (8/10/2014) senja ini. Ada fenomena lebih langka yang berpotensi untuk diamati, yaitu selenelion.
Selenelion adalah fenomena di mana Bulan dan Matahari berada dalam posisi saling berseberangan atau berjarak 180 derajat dari sudut pandang manusia di Bumi.
Astronom amatir Ma'rufin Sudibyo mengatakan, selenelion adalah fenomena yang secara geometris sebenarnya tidak mungkin.
Pasalnya, bila Matahari dan Bulan saling berseberangan, keduanya takkan terlihat dari sudut pandang pengamat di Bumi.
Ma'rufin mengungkapkan, selenelion bisa terlihat akibat kemampuan atmosfer tebal Bumi dalam membiaskan cahaya, membuat benda-benda langit terangkat dari posisi aktualnya.
Pembiasan membuat Bulan yang sejatinya sudah tenggelam 4 menit sebelumnya masih tampak ada di ufuk barat dalam pengamatan manusia.
"Demikian juga saat kita lihat Matahari tepat hendak terbit, sejatinya ia baru akan terbit 4 menit kemudian," katanya.
Selenelion bisa terjadi saat senja ataupun fajar. Saat selenelion senja, yang teramati adalah Bulan terbit di timur dan Matahari tenggelam di barat.
Sementara, saat fajar, selenelion yang terlihat adalah Bulan belum tenggelam di ufuk barat saat Matahari sudah terbit di ufuk timur.
Asal-usul Istilah Selenelion
Tak seperti "supermoon" yang populer, istilah selenelion tak banyak dikenal oleh kalangan publik dan astronom amatir.
Catatan William Poole berjudul "Antonie-Francois Payen, the 1666 Selenelion, and a Rediscovered Letter to Robert Hooke" mengungkap asal-usul istilah tersebut.
Dalam catatan yang dipublikasikan di The Royal Society Journal of the History of Science tahun 2007 itu, Poole mengungkap, selenelion dipopulerkan oleh Antonie-Francois Payen.
Selenelion adalah penggabungan dari dua nama Dewa dalam mitologi Yunani, yaitu dewa Bulan yang bernama Selene dan dewa Matahari yang bernama Helios.
Para astronom pada masa lalu menyebut selenelion dengan gerhana horizontal atau gerhana parallax.
Dahulu, para astronom masih berdebat kemungkinan manusia bisa melihat gerhana horizontal. Dan jika bisa, faktor apa yang membuat manusia bisa melihatnya.
Payen yang seorang pengacara sipil tertarik dengan fenomena selenelion itu. Ia banyak berkorespondensi dengan ilmuwan, termasuk astronom Perancis, Peter Gassendi.
Gassendi adalah astronom yang juga penasaran dengan gerhana horizontal. Ia memburu fenomena ini dari 1643 hingga 1648 dan hanya sekali melihat.
Tahun 1666, Payen bersama rekannya, Henri Justel dan Ismael Boulliau, pergi ke puncak Montmatre di Paris untuk mengamati fenomena itu. Selenelion diprediksi terjadi pada 16 Juni 1666.
Ekspedisi Payen dan rekannya gagal. Paris berawan. Namun, Payen mendapat laporan pengamatan dari utusan Pangeran Leopold di Florence yang mengamati dari Pulau Gorgona.
Laporan pengamatan itu ditulis oleh seorang akademisi bernama Alessandro Segni. Payen lalu menulis ulasan tentang pengamatan itu dengan judul "Selenelion ou Apparition Luni-Solaire."
Dalam ulasan itulah, istilah "selenelion" pertama kali digunakan. Istilah itu adalah buatan Payen.
Selain menulis ulasan, Payen juga berkorespondensi dengan Robert Hooke, ilmuwan penemu hukum elastisitas dan pioneer penggunaan mikroskop, yang saat itu menjadi kurator eksperimen di Royal Society.
Dalam suratnya, Payen mendorong pembuktian selenelion dan menawarkan dirinya untuk membantu eksperimen bila diperlukan.
Hooke kemudian menjadi salah satu ilmuwan yang menerangkan bahwa selenelion memang bisa diamati manusia karena adanya pembiasan cahaya Matahari.
Penampakan Selenelion
Astrofisikawan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengatakan bahwa hari ini, "wilayah Jawa dan Sumatera berpeluang menyaksikan selenelion."
Dari Jakarta, selenelion yang teramati adalah Bulan yang terbit dalam kondisi gerhana dan berwarna merah dan Matahari yang juga semburat merah dan akan tenggelam di barat.
Fenomena ini akan teramati sekitar pukul 17.44-17.45 WIB nanti. Bulan sendiri nanti akan terbit pukul 17.43 WIB sementara Matahari akan tenggelam pukul 17.46 WIB.
Dalam percakapan dengan Kompas.com, Selasa (7/10/2014), Ma'rufin menyebut bahwa fenomena selenelion ini "sangat langka."
Sementara, Thomas mengungkapkan, "ini mungkin pertama kalinya selenelion teramati dari Indonesia."
Belahan Bumi lain yang berpeluang mengamati selenelion diantaranya adalah wilayah Amerika Serikat.
Warga Amerika Serikat bakal menyaksikan selenelion pada pagi hari. Bulan akan tenggelam di sisi barat sementara Matahari terbit di sisi timur.
Dengan langkanya keajaiban alam ini, selenelion yang terjadi bersamaan dengan gerhana senja ini terlalu sayang untuk dilewatkan.
Diagram mengungkap kemungkinan manusia menyaksikan Matahari dan Bulan yang letaknya berseberangan dalam fenomena selenelion.
KOMPAS.com - Bukan hanya gerhana Bulan total biasa yang bakal terjadi Rabu (8/10/2014) senja ini. Ada fenomena lebih langka yang berpotensi untuk diamati, yaitu selenelion.
Selenelion adalah fenomena di mana Bulan dan Matahari berada dalam posisi saling berseberangan atau berjarak 180 derajat dari sudut pandang manusia di Bumi.
Astronom amatir Ma'rufin Sudibyo mengatakan, selenelion adalah fenomena yang secara geometris sebenarnya tidak mungkin.
Pasalnya, bila Matahari dan Bulan saling berseberangan, keduanya takkan terlihat dari sudut pandang pengamat di Bumi.
Ma'rufin mengungkapkan, selenelion bisa terlihat akibat kemampuan atmosfer tebal Bumi dalam membiaskan cahaya, membuat benda-benda langit terangkat dari posisi aktualnya.
Pembiasan membuat Bulan yang sejatinya sudah tenggelam 4 menit sebelumnya masih tampak ada di ufuk barat dalam pengamatan manusia.
"Demikian juga saat kita lihat Matahari tepat hendak terbit, sejatinya ia baru akan terbit 4 menit kemudian," katanya.
Selenelion bisa terjadi saat senja ataupun fajar. Saat selenelion senja, yang teramati adalah Bulan terbit di timur dan Matahari tenggelam di barat.
Sementara, saat fajar, selenelion yang terlihat adalah Bulan belum tenggelam di ufuk barat saat Matahari sudah terbit di ufuk timur.
Asal-usul Istilah Selenelion
Tak seperti "supermoon" yang populer, istilah selenelion tak banyak dikenal oleh kalangan publik dan astronom amatir.
Catatan William Poole berjudul "Antonie-Francois Payen, the 1666 Selenelion, and a Rediscovered Letter to Robert Hooke" mengungkap asal-usul istilah tersebut.
Dalam catatan yang dipublikasikan di The Royal Society Journal of the History of Science tahun 2007 itu, Poole mengungkap, selenelion dipopulerkan oleh Antonie-Francois Payen.
Selenelion adalah penggabungan dari dua nama Dewa dalam mitologi Yunani, yaitu dewa Bulan yang bernama Selene dan dewa Matahari yang bernama Helios.
Para astronom pada masa lalu menyebut selenelion dengan gerhana horizontal atau gerhana parallax.
Dahulu, para astronom masih berdebat kemungkinan manusia bisa melihat gerhana horizontal. Dan jika bisa, faktor apa yang membuat manusia bisa melihatnya.
Payen yang seorang pengacara sipil tertarik dengan fenomena selenelion itu. Ia banyak berkorespondensi dengan ilmuwan, termasuk astronom Perancis, Peter Gassendi.
Gassendi adalah astronom yang juga penasaran dengan gerhana horizontal. Ia memburu fenomena ini dari 1643 hingga 1648 dan hanya sekali melihat.
Tahun 1666, Payen bersama rekannya, Henri Justel dan Ismael Boulliau, pergi ke puncak Montmatre di Paris untuk mengamati fenomena itu. Selenelion diprediksi terjadi pada 16 Juni 1666.
Ekspedisi Payen dan rekannya gagal. Paris berawan. Namun, Payen mendapat laporan pengamatan dari utusan Pangeran Leopold di Florence yang mengamati dari Pulau Gorgona.
Laporan pengamatan itu ditulis oleh seorang akademisi bernama Alessandro Segni. Payen lalu menulis ulasan tentang pengamatan itu dengan judul "Selenelion ou Apparition Luni-Solaire."
Dalam ulasan itulah, istilah "selenelion" pertama kali digunakan. Istilah itu adalah buatan Payen.
Selain menulis ulasan, Payen juga berkorespondensi dengan Robert Hooke, ilmuwan penemu hukum elastisitas dan pioneer penggunaan mikroskop, yang saat itu menjadi kurator eksperimen di Royal Society.
Dalam suratnya, Payen mendorong pembuktian selenelion dan menawarkan dirinya untuk membantu eksperimen bila diperlukan.
Hooke kemudian menjadi salah satu ilmuwan yang menerangkan bahwa selenelion memang bisa diamati manusia karena adanya pembiasan cahaya Matahari.
Penampakan Selenelion
Astrofisikawan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengatakan bahwa hari ini, "wilayah Jawa dan Sumatera berpeluang menyaksikan selenelion."
Dari Jakarta, selenelion yang teramati adalah Bulan yang terbit dalam kondisi gerhana dan berwarna merah dan Matahari yang juga semburat merah dan akan tenggelam di barat.
Fenomena ini akan teramati sekitar pukul 17.44-17.45 WIB nanti. Bulan sendiri nanti akan terbit pukul 17.43 WIB sementara Matahari akan tenggelam pukul 17.46 WIB.
Dalam percakapan dengan Kompas.com, Selasa (7/10/2014), Ma'rufin menyebut bahwa fenomena selenelion ini "sangat langka."
Sementara, Thomas mengungkapkan, "ini mungkin pertama kalinya selenelion teramati dari Indonesia."
Belahan Bumi lain yang berpeluang mengamati selenelion diantaranya adalah wilayah Amerika Serikat.
Warga Amerika Serikat bakal menyaksikan selenelion pada pagi hari. Bulan akan tenggelam di sisi barat sementara Matahari terbit di sisi timur.
Dengan langkanya keajaiban alam ini, selenelion yang terjadi bersamaan dengan gerhana senja ini terlalu sayang untuk dilewatkan.
Penulis | : Yunanto Wiji Utomo |
Editor | : Yunanto Wiji Utomo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar