Kurang Berkembang
Kamis, 02/10/2014 - 05:53
INA
Mariana (kiri) sedang memperlihatkan batik Kasumedangan motif
terbarunya “Lumbung Lingga” di rumah produksinya “Sanggar Batik Wijaya
Kusumah” di Jalan Pangeran Kornel, Kelurahan Pasanggrahan Baru, Kec.
Sumedang Selatan, Rabu (1/10/2014). Perajin batik kasumedangan meminta
perhatian Pemkab untuk membantu mereka.*
“Jika ketiga kebutuhan itu dibantu oleh Pemkab Sumedang, insya Allah, usaha perajin batik kasumedangan akan berkembang maju. Terus terang, selama ini, para perajin kurang perhatian dan bantuan dari pemerintah,” kata salah seorang perajin batik kasumedangan, Ina Mariana (57) pemilik “Sanggar Batik Wijaya Kusumah” di rumah produksinya di Jalan Pangeran Kornel, Kelurahan Pasanggrahan Baru, Kec. Sumedang Selatan, Rabu (1/10/2014).
Menurut dia, bantuan modal untuk para perajin tersebut, sehubungan produksi batik di Sumedang membutuhkan biaya tinggi dibanding daerah lainnya, seperti halnya Cirebon. Biaya tinggi tersebut, di antaranya akibat relatif mahalnya upah kerja serta tingginya ongkos pembelian bahan baku kain batik berikut peralatannya.
“Upah kerja membuat batik tulis di Sumedang per hari rata-rata Rp40.000, sedangkan di Cirebon bisa Rp12.000. Begitu juga upah memproduksi batik cap. Di Sumedang per lembar Rp 4.000, sedangkan di Cirebon hanya Rp1.000. Jadi, perbandingan upah kerja antara Sumedang dengan Cirebon sangat jauh,” ujar Ina.
Selain tingginya upah kerja, lanjut dia, juga mahalnya ongkos pembelian bahan baku. Karena di Sumedang tidak ada grosir besar yang menjual bahan baku kain batik, terpaksa para perajin membelinya ke Cirebon atau Pekalongan, Jawa Tengah. Kondisi itu, otomatis menaikan harga jual produk.
Harga batik kasumedangan satu warna minimal Rp60.000 per potong. Sementara batik Cirebon jauh lebih murah seharga Rp40.000 per potong. Bahkan masih bisa dijual Rp100.000 per tiga potong.
“Akibatnya, penjualan batik kasumedangan hanya orang-orang tertentu. Untuk membuka pasar seluas-luasnya, seharusnya harga batik kasumedangan bisa bersaing dengan daerah lainnya dan terjangkau oleh masyarakat umum. Akan tetapi, kami tidak mampu menekan harga produk semurah itu, karena mahalnya biaya produksi,” tuturnya. (Adang Jukardi-"PR"/A-88)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar