KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO/HENDRA A SETYAWAN
Identitas kemodernan dalam berkebaya, bertumpu pada satu pedoman kunci: kesederhanaan.
Identitas kemodernan dalam berkebaya, bertumpu pada satu pedoman kunci: kesederhanaan.
KOMPAS.com - Ratusan perempuan hadir Minggu (24/4/2011) lalu di Sasono Utomo, Taman Mini Indonesia Indah, menyajikan pemandangan nyaris seragam. Mereka berkebaya dengan potongan sederhana. Selendang polos berwarna senada, lengkap dengan kain batik yang diwiron sempurna.
Tentu saja, ingatan melayang ke masa lampau ketika gaya busana seperti itu lekat dengan aktivitas perempuan di berbagai lapisan. Mulai dari ibu negara, istri menteri, ibu-ibu Dharma Wanita, sampai ke para perempuan pedagang di pasar-pasar.
Kenangan itu terbangkitkan kembali malam itu. Perancang kebaya Andre Frankie menggelar karyanya dalam acara bertajuk ”Pesona Untaian Melati Ibu Pertiwi, Mengenang Ibu Tien Soeharto dalam Busana dan Kebaya”.
”Saya terinspirasi dengan Ibu Tien karena beliau itu konsisten dengan kebaya. Misalnya saja, kalau untuk jamuan kenegaraan memang sudah harus memakai kebaya. Tapi banyak juga kegiatan di lapangan seperti acara swasembada pangan, ternyata Ibu Tien tetap mengenakan kebaya sekalipun di sawah. Jadi kebaya itu tidak selalu untuk acara formal, bisa juga untuk sehari-hari,” kata Andre.
Namun, lebih dari itu, acara ini juga ingin menekankan betapa pentingnya menghormati ”pakem” dalam berkebaya. Berdasarkan tradisi berkebaya yang sudah turun-temurun di Indonesia, ada ciri khas yang menjadi ”jiwa” kebaya, yaitu kesederhanaannya.
”Intinya sederhana. Tidak perlu pakai payet dan macam-macam. Bahannya juga sederhana. Saya juga penganut modernisasi kebaya, kok, tapi saya melihat saat ini kesederhanaan kebaya mulai hilang. Padahal kesederhanaan itu mencerminkan keindonesiaannya,” kata Andre pada Kompas.
Sebanyak 15 peragawati kehormatan, di antaranya Andang Gunawan, Anita Chairul Tandjung, Etty Djodi, Miana Sudwikatmono, dan Titiek Soeharto, membawakan busana kebaya dengan rancangan khas, berupa kebaya kutubaru (buka depan dan tutup depan) dengan bef, dilengkapi selendang polos berwarna senada, setagen hitam, dan jarik yang diwiron. Motif kebaya bisa polos atau bercorak, dengan bahan dari beludru, brokat, maupun sifon.
Semua peragawati juga mengenakan sanggul jawa lengkap dengan tusuk kondenya, tas tangan yang diletakkan di dekat siku, kipas tangan, dan selop yang terbuka di bagian jari kaki.
Andre juga menganjurkan kalung tidak dipadankan dengan kebaya, tetapi cukup dengan menyematkan bros yang besarnya sedang di bagian bef, atau bros yang berukuran lebih kecil di bagian selendang. Meski demikian, pengguna kebaya dianjurkan mengenakan giwang, bukan anting.
Ciri modern
Di tempat terpisah, perancang Edward Hutabarat juga melontarkan pandangan senada. Berkebaya modern pada hakikatnya justru harus memperlihatkan kesederhanaan.
”Modern bukan berarti kebayanya harus diobrak-abrik. Untuk menjadi modern, justru si pemakai kebayanya yang harus berpikir modern, kreatif, serta berkualitas. Semua identitas itu kemudian dibungkus dalam penampilan yang sederhana,” tuturnya.
Perancang yang biasa disapa Edo ini berbicara tentang kebaya dalam acara ”“Kebaya Modern, The Less is More” di Museum Tekstil, Jakarta, Kamis (28/4/2011) lalu. Acara tersebut menjadi salah satu rangkaian acara Pameran Koleksi Batik dan Songket Warisan Rahmi Hatta dan Raharty Subijakto yang berlangsung pada 11 April-1 Mei.
Kesederhanaan dua tokoh perempuan inilah yang kemudian menjadi inspirasi Edo sewaktu memperlihatkan lima set padu padan kebaya modifikasi di hadapan undangan yang didominasi ibu-ibu pencinta kain tradisional. Rahmi Hatta, istri wakil presiden pertama Bung Hatta, dan adiknya, Raharty (istri Laksamana Pertama Angkatan Laut Republik Indonesia R Subijakto), dikenal sebagai perempuan yang pandai menjaga citra mereka dengan berpenampilan sederhana namun elegan.
Rahmi dan Raharty termasuk pelopor pemakaian kebaya dan kain sebagai pakaian resmi dan pakaian sehari-hari perempuan Indonesia. Mereka juga turut memopulerkan kebaya kutubaru sebagai pelengkap model yang sudah populer sebelumnya, yaitu kebaya kartini.
Raharty bahkan sempat dikenal sebagai perempuan berbusana terbaik saat suaminya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Turki. Sementara Rahmi termasuk perempuan yang berani memadukan warna dan motif kebaya dan kain dalam nuansa yang kontras.
”Penampilan Ibu Rahmi selalu simpel, tetapi elegan. Sementara Tante Titi (Raharty) selalu memukau di antara istri-istri duta besar lainnya tanpa perlu rambut disasak dan lain sebagainya,” tutur Edo.
Terinspirasi dari kesederhanaan dua tokoh perempuan inilah, Edo memperlihatkan padu padan kebaya modifikasi dengan berbagai gaya. Pada penampilan pertama, misalnya, Edo membuat kebaya dengan inspirasi kimono. Kebaya bergaya kimono dari kain cina peranakan bermotif bunga pagi sore dipadukan Edo dengan batik madura dari Pamekasan. Meski berupa kebaya, padu padan ini tidak terkesan busana resmi.
Selain kimono dari Jepang, baju tradisional Indonesia, seperti baju bodo dari Makassar, juga menjadi inspirasi Edo untuk membuat kebaya modifikasi. Edo mendesain kebaya kurung dengan potongan sederhana dari lurik bergaris horizontal yang dipadukan dengan kain sarung dari Pekalongan. Pada padu padan lainnya, lurik yang dibuat model jaket dikombinasikan dengan kain bermotif bunga padma karya Iwan Tirta.
”Ketika mindset orangnya modern, seleranya bagus, pasti akan berpengaruh pada penampilan. Jadi ketika ingin terlihat modern, bukan berarti kebayanya harus diubah dan diberi macam-macam,” kata Edo, yang berencana menyosialisasikan berkebaya sederhana ke kota-kota di Indonesia pada tahun ini.
(Myrna Ratna/Yulia Sapthiani)
Sumber: Kompas Cetak