AFP/FETHI BELAID
Demonstran dan juga pengacara-pengacara Tunisia berunjuk rasa di depan Kementerian Dalam Negeri Tunisia di jalan raya Habib Bourguiba, Tunis, Jumat (14/1/2011), saat Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali (74) menyampaikan pidato. Ben Ali mengatakan tak akan mencalonkan diri lagi sebagai presiden setelah masa jabatannya berakhir pada 2014.
Oleh Lea Pamungkas
Mohammed Bouazizi, adalah seorang lelaki biasa yang bisa kita temukan di manapun. Seorang lelaki dengan harapan, bahwa dengan menamatkan sekolahnya kelak ia akan dapat memperbaiki situasi keuangan keluarganya. Tapi seperti banyak kisah di manapun, pendidikan yang cukup tak selalu menjanjikan segalanya. Pemerintahan yang korup membuat sejuta lapisan yang tak bisa ditembus Bouazizi, bahkan untuk sekadar mencukupi pangan sekalipun. Zine El Abidine Ben Ali yang memerintah Tunisia selama 24 tahun, menafikkan kebutuhan dasar Bouazizi, dan seperti banyak kisah lain: sibuk mengutuhkan sebuah rezim, dalam kekuasaan tanpa batas.
Halnya jutaan yang lain, pintu hati kaum jelata adalah hamparan harapan dan kerja keras. Kesibukan memperjuangkan asap dapur, adalah mekanisme ampuh untuk melupa bahwa ketakberdayaan ini bukan takdir yang sesungguhnya. Setiap hari Bouazizi (26) berangkat dengan kereta dorongnya berjualan buah-buahan di Pasar Sisi Bouzid, sekitar 4 jam dari ibukota Tunis. Menjadi penjual buah adalah martabat bagi Bouazizi. Atas keringatnya, ia dapat menghidupi ibu, dua saudara lelakinya, dan satu saudara perempuannya.
Tapi alih-alih berterima kasih dengan apa yang dilakukan Bouazizi, yang mandiri tak merepotkan pemerintah, dengan dalih tak punya ijin berjualan di kaki lima, aparat keamanan mengusirnya. Bukan sekali dua kali, kereta buahnya dijungkirbalikan dan buah-buahan Bouazizi diinjak lantak. “Mohammed demikian menikmati kerjanya, dengan segala kesulitan yang ada di dalamnya” jelas Samia, adik perempuan Bouazizi. “Apa yang ia inginkan hanyalah agar pekerjaannya tidak diganggu”.
Namun harapan sederhana Bouazizi, tetap tidak dimengerti. Pada 17 November lalu, kembali aparat keamanan menggerus para pedagang kaki lima di Pasar Sisi Bouzid. Hari Rabu siang saat itu, para ibu baru saja hendak berangkat berbelanja. Kali ini bukan hanya buah-buahan Bouazizi yang bergelimpangan di tanah, kepala Bouazizi dipukul, dan seorang perempuan petugas keamanan menampar wajahnya. Peristiwa terakhir membuatnya demikian terhina.
Dengan berang, Bouazizi mengadukan peristiwa ini baik di tingkat kabupaten maupun propinsi. Tak seorang pun menggubrisnya. Oleh ketakberdayaan, dan kemarahan yang bertahun dipendam, Bouazizi membeli segalon bensin. Berangkat ke gedung gubernur kota, di situ ia membakar dirinya. Ketakberdayaan dan kemarahan, daya itu menjalar dalam nafas kaum jelata Tunisia. Jadilah ini revolusi pertama di jazirah Arab, Rezim Ben Ali runtuh hanya dalam waktu 8 minggu.
Keluarga Bouazizi menatap seluruh rangkaian peristiwa ini. Bingung memilih perasaan. Mohammed Bouazizi dijadikan simbol perlawanan bagi Revolusi Melati, dan plaza kota Sisi Bouazizi diukir dalam namanya. Di Tunis, para petinggi berebut kekuasaan, kaum terdidik tersedak . Tidak siap. Baik ideologi, apalagi tindakan praksis.
Barangkali, sebentar, sebentar lagi mereka lupa apa dasar kemarahan seorang tukang buah. "Yang kami butuhkan hanyalah keadilan," desah Salem, anak tertua keluarga Bouazizi.
*Dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar