Riana Afifah | Jumat, 12 Oktober 2012 | 07:02 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan terus berlanjut. Kali ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berhadapan dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menilai bahwa UN bertentangan dengan undang-undang.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh membenarkan adanya kontroversi terkait penyelenggaraan UN pada 2013 mendatang. Menurut DPD, UN dianggap bertentangan dengan undang-undang secara legal yuridis.
"Tapi, menurut Kemendikbud, UN ini tidak bertentangan dengan undang-undang. Landasan legalitasnya jelas pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas," kata Nuh, saat jumpa pers mengenai Penyelenggaraan UN 2013 di Gedung A Kemendikbud, Jakarta, Kamis (11/10/2012).
Ia menjelaskan bahwa dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas terdapat pasal-pasal. Dalam hal ini, DPD hanya mengambil Pasal 58 ayat 1 saja yang berbunyi Pendidik berperan mengevaluasi hasil belajar untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Ia melanjutkan, jika hanya merujuk Pasal 58 ayat 1, pihak luar tidak bisa mengevaluasi. Namun, ada pasal lanjutannya, yaitu Pasal 58 ayat 2 bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
"Dari ayat 2, itu eksternal juga perlu. Yang kami lakukan sekarang kan mengombinasikan dua ayat itu," jelas Nuh.
Menurutnya, UN ini berfungsi untuk menguji masalah kognitif siswa. Sementara untuk masalah afektif dan psikomotorik dilakukan oleh pendidik atau guru sekolah yang bersangkutan. Untuk mencapai penilaian yang optimal, ketiga hal ini harus terpenuhi dan disimpulkan bahwa yang menentukan kelulusan peserta didik adalah sekolah.
Ia juga menjelaskan bahwa pelaksanaan UN di Indonesia sudah ada setelah proklamasi kemerdekaan. Memang seiring berjalannya waktu, UN berganti nama beberapa kali dengan rumusan angka penentu kelulusan yang juga ikut berubah.
"Dari dulu juga sudah ada, dari namanya Ujian Negara, Ebtanas, UAN, sampai UN. Yang belakangan, penilaiannya sudah dibagi antara sekolah dan pemerintah," tandasnya.
KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh.
JAKARTA, KOMPAS.com — Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan terus berlanjut. Kali ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berhadapan dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menilai bahwa UN bertentangan dengan undang-undang.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh membenarkan adanya kontroversi terkait penyelenggaraan UN pada 2013 mendatang. Menurut DPD, UN dianggap bertentangan dengan undang-undang secara legal yuridis.
"Tapi, menurut Kemendikbud, UN ini tidak bertentangan dengan undang-undang. Landasan legalitasnya jelas pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas," kata Nuh, saat jumpa pers mengenai Penyelenggaraan UN 2013 di Gedung A Kemendikbud, Jakarta, Kamis (11/10/2012).
Ia menjelaskan bahwa dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas terdapat pasal-pasal. Dalam hal ini, DPD hanya mengambil Pasal 58 ayat 1 saja yang berbunyi Pendidik berperan mengevaluasi hasil belajar untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Ia melanjutkan, jika hanya merujuk Pasal 58 ayat 1, pihak luar tidak bisa mengevaluasi. Namun, ada pasal lanjutannya, yaitu Pasal 58 ayat 2 bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
"Dari ayat 2, itu eksternal juga perlu. Yang kami lakukan sekarang kan mengombinasikan dua ayat itu," jelas Nuh.
Menurutnya, UN ini berfungsi untuk menguji masalah kognitif siswa. Sementara untuk masalah afektif dan psikomotorik dilakukan oleh pendidik atau guru sekolah yang bersangkutan. Untuk mencapai penilaian yang optimal, ketiga hal ini harus terpenuhi dan disimpulkan bahwa yang menentukan kelulusan peserta didik adalah sekolah.
Ia juga menjelaskan bahwa pelaksanaan UN di Indonesia sudah ada setelah proklamasi kemerdekaan. Memang seiring berjalannya waktu, UN berganti nama beberapa kali dengan rumusan angka penentu kelulusan yang juga ikut berubah.
"Dari dulu juga sudah ada, dari namanya Ujian Negara, Ebtanas, UAN, sampai UN. Yang belakangan, penilaiannya sudah dibagi antara sekolah dan pemerintah," tandasnya.
Editor :Caroline Damanik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar