Oleh: Agus Tri Haryanto-Job
Syiar - Jumat, 8 Februari 2013 | 06:45 WIB
Masjid tak harus berdiri megah. Yang utama dari mesjid adalah bisa jadi tempat khusus beribadah. Itulah kesan yang menyeruak dari Masjid Lautze 2. |
INILAH, Bandung - Masjid tak harus berdiri megah. Yang utama
dari mesjid adalah bisa jadi tempat khusus beribadah. Itulah kesan yang
menyeruak dari Masjid Lautze 2 di Jalan Tamblong No 27, Kota Bandung.
Jika
anda ingin melihat masjid yang dibuat etnis Tionghoa, datanglah ke
Masjid Lautze 2. Masjid ini memang memiliki keunikan tersendiri
dibanding masjid lainnya.
Berdiri sejajar dengan deretan ruko, masjid itu tampak berbeda dengan warna merah mencolok di bagian dindingnya. Dengan desain mirip bangunan kelenteng ini, tak ada yang menyangka kalau tempat tersebut adalah sebuah tempat peribadatan bagi orang Islam.
Sekilas, memang bangunan tersebut tidak tampak sebagai sebuah masjid. Tapi, dengan papan nama bertuliskan ‘Masjid Lautze 2’ memastikan bahwa bangunan tersebut adalah masjid.
Kalau umumnya masjid dibuka setiap waktu salat, Masjid Lautze hanya buka pada waktu-waktu tertentu saja. Dari hari Ahad sampai Jumat, masjid ini hanya buka dari jam sembilan pagi hingga jam empat sore. Jadi pada hari-hari tersebut, masjid ini hanya punya dua waktu salat yaitu Zuhur dan Asar.
Berawal dari tokoh muslim keturunan Tionghoa yang ingin menyediakan tempat untuk salat, Masjid Lautze pun dibangun. “Tahun 1991, Pak Haji Karim Oei yang mendirikan Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) di Jalan Lautze no. 89 di Jakarta,” ungkap Jesslyn, Humas Lautze 2.
Nama Lautze sendiri diambil dari nama jalan yang ada di Jakarta, tempat masjid pertama berdiri. “Kala itu, masyarakat sekitar kalau mau salat, yuk kita ke Masjid Lautze, sebetulnya itu nama jalan. Dari itu kita, brand-lah menjadi nama masjid,” jelas Jesslyn.
“Dengan visi dan misi sebagai pusat informasi Islam bagi etnis Tionghoa, enggakmungkin kan hanya ada di Jakarta. Maka dari itu salah satunya kami dirikan juga di Bandung,” imbuh wanita yang senang mengajar privat bagi anak-anak.
Tidak hanya untuk tempat aktivitas beribadat, Masjid Lautze 2 juga mempunyai sejumlah perpustakaan mini di lantai dua. Selain itu,terdapat juga tempat untuk mengaji, mengajar anak-anak, tempat berkonsultasi, dan di depannya terdapat toko.
Masjid Lautze 2 dibangun pada tahun 1997 dan ada perombakan tahun 2007. Dari segi ornamen yang ada di tempat beribadat tersebut, merupakan hasil kreasi Umar Widagdo dari ITB. Hasilnya warna merah mendominasi eksterior, interior, dan lampu bernuansa Cina.
Walau masjid ini didirikan oleh etnis keturunan Tionghoa, namun masjid yang dulu disebut masjid tanpa kubah ini terbuka untuk umum. “Yang sering datang ke sini itu warga pribumi. Malah warga Braga mengakui kalau masjid ini adalah masjid mereka,” tutur Jesslyn.
Mengenai perayaan Imlek Minggu (10/2/2013) ini, Jesslyn mengatakan kalau seseorang sudah berkonvensi menjadi Islam tidak ada sembahyang yang erat dengan ritual kepercayaan. “Tapi ketika kita mau silaturahmi, ketika kumpul keluarga datang saja,” jelasnya. [den]
Berdiri sejajar dengan deretan ruko, masjid itu tampak berbeda dengan warna merah mencolok di bagian dindingnya. Dengan desain mirip bangunan kelenteng ini, tak ada yang menyangka kalau tempat tersebut adalah sebuah tempat peribadatan bagi orang Islam.
Sekilas, memang bangunan tersebut tidak tampak sebagai sebuah masjid. Tapi, dengan papan nama bertuliskan ‘Masjid Lautze 2’ memastikan bahwa bangunan tersebut adalah masjid.
Kalau umumnya masjid dibuka setiap waktu salat, Masjid Lautze hanya buka pada waktu-waktu tertentu saja. Dari hari Ahad sampai Jumat, masjid ini hanya buka dari jam sembilan pagi hingga jam empat sore. Jadi pada hari-hari tersebut, masjid ini hanya punya dua waktu salat yaitu Zuhur dan Asar.
Berawal dari tokoh muslim keturunan Tionghoa yang ingin menyediakan tempat untuk salat, Masjid Lautze pun dibangun. “Tahun 1991, Pak Haji Karim Oei yang mendirikan Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) di Jalan Lautze no. 89 di Jakarta,” ungkap Jesslyn, Humas Lautze 2.
Nama Lautze sendiri diambil dari nama jalan yang ada di Jakarta, tempat masjid pertama berdiri. “Kala itu, masyarakat sekitar kalau mau salat, yuk kita ke Masjid Lautze, sebetulnya itu nama jalan. Dari itu kita, brand-lah menjadi nama masjid,” jelas Jesslyn.
“Dengan visi dan misi sebagai pusat informasi Islam bagi etnis Tionghoa, enggakmungkin kan hanya ada di Jakarta. Maka dari itu salah satunya kami dirikan juga di Bandung,” imbuh wanita yang senang mengajar privat bagi anak-anak.
Tidak hanya untuk tempat aktivitas beribadat, Masjid Lautze 2 juga mempunyai sejumlah perpustakaan mini di lantai dua. Selain itu,terdapat juga tempat untuk mengaji, mengajar anak-anak, tempat berkonsultasi, dan di depannya terdapat toko.
Masjid Lautze 2 dibangun pada tahun 1997 dan ada perombakan tahun 2007. Dari segi ornamen yang ada di tempat beribadat tersebut, merupakan hasil kreasi Umar Widagdo dari ITB. Hasilnya warna merah mendominasi eksterior, interior, dan lampu bernuansa Cina.
Walau masjid ini didirikan oleh etnis keturunan Tionghoa, namun masjid yang dulu disebut masjid tanpa kubah ini terbuka untuk umum. “Yang sering datang ke sini itu warga pribumi. Malah warga Braga mengakui kalau masjid ini adalah masjid mereka,” tutur Jesslyn.
Mengenai perayaan Imlek Minggu (10/2/2013) ini, Jesslyn mengatakan kalau seseorang sudah berkonvensi menjadi Islam tidak ada sembahyang yang erat dengan ritual kepercayaan. “Tapi ketika kita mau silaturahmi, ketika kumpul keluarga datang saja,” jelasnya. [den]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar