Ajip Rosidi
Pikiran Rakyat,
Sabtu, 30 Juni 2012
Umumnya kita mempelajari bahasa tulisan di sekolah meskipun
ada anak-anak yang sejak belum masuk sekolah di rumahnya sudah belajar membaca
dan menulis, sehingga dia lebih awal berkenalan dengan huruf dan bahasa
tulisan.
Ya, bahasa tulisan kita jumpai dalam bentuk huruf-huruf. Ada
banyak macam huruf di dunia ini yang digunakan oleh berbagai bangsa dan dalam
berbagai peradaban. Ada bangsa yang mempunyai huruf sendiri dan terus
mempergunakannya sampai sekarang, ada juga bangsa yang mempunyai huruf sebagai
varian dari huruf orang lain. Dan ada juga bangsa yang meskipun (pernah)
mempunyai huruf sendiri kemudian menukarnya dengan huruf bangsa lain. Ada
banyak bangsa yang tidak mempunyai huruf sendiri, lalu mempergunakan huruf
pinjaman dari bangsa lain.
Kita bangsa Indonesia tidak mempunyai huruf sendiri. Dalam
batu-batu tertulis dari awal abad Masehi yang terdapat di Indonesia, digunakan
huruf Palawa dan bahasa Sanskerta. Kemudian berbagai suku bangsa di Indonesia
membuat huruf sendiri, umumnya varian dari huruf yang datang dari India seperti
huruf Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan lain-lain yang pernah digunakan seperti
kita saksikan dalam naskah-naskah yang masih tersimpan.
Namun, sekarang umumnya tidak lagi dipergunakan oleh ahli
warisanya. Bahasa Melayu, bahasa
Jawa, bahasa Sunda, bahasa Aceh, bahasa Banjar, dan lain-lain pernah
mempergunakan huruf arab untuk menuliskannya. Huruf arab yang dipergunakan
dalam bahasa Melayu dll. Itu disebut huruf Arab gundul atau huruf pegon. Akan tetapi, sejak di
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda mengharuskan
mempergunakan huruf Latin, pemakaian huruf Arab baik untuk menulis bahasa
Melayu maupun untuk bahasa-bahasa daerah kian berkurang. Ketika negara Republik
Indonesia berdiri pemerintah memilih huruf Latin untuk dipergunakan di
lingkungan bangsa dan negara Indonesia untuk menuliskan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah juga.
Orang Melayu di Malaysia yang pada awalnya lebih kuat mempertahankan
pemakaian huruf Arab, tetapi karena pengaruh Indonesia, akhrinya memilih
pemakaian huruf Romawi (Latin), meskipun huruf Arab juga masih dipergunakan
untuk keperluan tertentu.
Pemakaian huruf Latin untuk menulis bahasa Melayu
(Indonesia) pada tahun 1901 diatur melalui ejaan yang disusun oleh van Ophuysen
bersama Engkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moen dan Moehammad Ta’ib Soetan Ibrahim.
Ejaan van Ophuysen itu kemudian diperbarui oleh Ejaan Republik (1947) dan oleh
EYD (1972). Namun kalau kita teliti bahasa Indonesia tertulis dalam surat-surat
kabar dan majalah, bahkan dalam buku juga, pemakaian ejaan pun masih banyak
yang tidak tepat. Apalagi dengan berkembangnya pemakaian “bahasa gaul” secara
tertulis dalam penerbitan pers terkemuda maka keadaan bahasa Indonesia sangat
memprihatinkan.
Bahasa dalam surat-surat kabar dan majalah yang merupakan
acuan utama dalam berbahasa untuk bangsa Indonesia juga kian semaunya.
Pelajaran bahasa di sekolah sudah lama diakui tidak memuaskan. Kebiasaan
membaca buku sastra sangat rendah, terutama karena umumnya sekolah tidak
mempunyai perpustakaan dengan koleksi karya sastra nasional yang lengkap.
Memadai pun tidak. Belakangan karena dorongan hendak memetik keuntungan
secepatnya dan sebesar-besarnya belakangan para penerbit berlomba menerbitkan
buku-buku cerita dengan “bahasa gaul”, sedangkan penerbitan buku buku sastra
dihindari, karena dianggap hanya akan merugikan karena masyarakat tidak suka
membaca sastra yang dianggap “berat”.
Dengan demikian, orang Indonesia tidaklah mengikuti
perkembangan karya sastra nasionalnya. Yang mereka baca hanyalah karya-karya
yang populer yang kebetulan terbit pada waktu mereka sedang senang membaca
cerita. Hal itu disebabkan karena jarang sekali orang Indonesia yang gemar
membaca seumur hidup. Pada usia muda tertentu mereka suka membaca tetapi
terbatas pada buku-buku yang sedang populer pada waktu itu saja. Bahkan pada
saat tertentu banyak yang suka mendengarkan orang membaca sajak—apalagi kalau
oleh penyairnya sendiri—atau bahkan menulis sajak sendiri. Namun mereka tidak
tergugah minatnya untuk membaca buku-buku karya sastra yang sudah memperkaya
khazanah kesusastraan nasional, antara lain karena tidak mudah menemukan
buku-buku demikian. Pemerintah tidak
mendorong hal itu dengan menyediakan perpustakaan yang mempunyai koleksi
lengkap karya sastra nasional paling tidak di sekolah-sekolah. Sejak berdiri
pemerintah Republik Indonesia memang tidak pernah menganggap penting buku
karena tidak tahu manfaat membaca. Pemerintah lebih suka membiarkan rakyatnya
bodoh dan mengirimkannya sebagai babu dan jongos ke luar negeri untuk mencari
makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar