Ajip Rosidi
(Ketua Dewan
Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage)
Pikiran Rakyat, Rabu, 1 Agustus 2012)
Pada awal tahun
1950-an, dalam masyarakat Sunda timbul ketidakpuasan terhadap orang Jawa,
sehingga timbul gerakan kasundaan
baik di kalangan orang-orang yang sudah aktif dalam gerakan kasundaan sejak sebelum perang, maupun
di kalangan para pemuda dan mahasiswa. Tokoh-tokoh Sunda yang sudah aktif sejak
masa sebelum perang seperti Ema Bratakusumah, Soetsn (Soetisna Sendjaj), Iwa
Koesoemasoemantri, Otong Kosasih, Djoearsa, Joedakoesoemah, dll. Yang
mendirikan organisasi al. Daya Sunda, Badan Musyawarah Sunda, dll. Sedang para
mahasiswa dan pemuda di Bandung, Bogor, dan Jakarta seperti Adjam Syamsupradja,
Hasan Wargakusumah, Saikin Suriawidjaja, Alibasjah Natapradja, dll., mendirikan
organisasi al. Nonoman Sunda, Putra Sunda, Daya Nonoman Sunda, Front Pemuda
Sunda dll.
Dalam
majalah-majalah bahasa Sunda yang terbit waktu itu terutama dalam Kalawarta Kudjang (Bandung) dan majalah Warga (Bogor), banyak dimuat tulisan dan
karikatur yang menyatakan ketidakpuasan terhadap orang Jawa dan pemerintah
pusat dengan Presiden Soekarno (walaupun kekuasaan eksekutif di tangan perdana
menteri) yang dianggap lebih mementingkan rakyat Jawa.
Hal itu
disebabkan adanya kebijaksanaan dari pemerintah Republik Indonesia tentang
“non” dan “ko”. Yang disebut non (kooperator) ialah mereka yang menolak bekerja
pada pemerintah pendudukan Belanda, dan tetap bertahan sebagai “republikein”. Sedangkan ko (operator)
ialah mereka yang bersedia bekerja pada pemerintah pendudukan Belanda. Setelah
KMB (Konferensi Meja Bundar) dan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik
Indonesia, pemerintah Republik Indonesia dengan kebijaksanaan tentang “non” dan
“ko” itu menggeser orang-orang “ko” dari jabatannya dan menggantinya dengan
orang “non”. Padahal orang-orang Sunda yang menjadi “ko” di Jawa Barat itu
berbuat demikian setelah ada anjuran dari Wakil Presiden M. Hatta ―lama sebelum
KMB—yang membolehkan kaum republikein
yang tinggal di daerah pendudukan bekerja pada pemerintah pendudukan asal bukan
dalam lapangan kemiliteran dan pertahanan, karena pekerjaan itu niscaya besar
manfaatnya buat rakyat Republik Indonesia, seperti guru yang mengajar di
sekolah pendudukan karena yang diajarnya adalah anak-anak kaum republikein. Yang dianggap kaum “non”
ialah orang-orang Jawa yang pulang mengungsi dari Yogyakarta atau daerah Jawa
Tengah lainnya. Dan ternyata para pejabat baru itu bukan saja tidak mampu
melaksanakan pekerjaannya dengan baik, melainkan juga memboyong saudara-saudara
atau teman-temannya dari daerah asalnya untuk menduduki berbagai lowongan.
Karena itu, timbul perasaan dan umpatan tentang adanya “penjajahan oleh bangsa
sendiri”.
Peristiwa Bubat
dihidup-hidupkan kembali untuk menunjukkan bahwa orang Jawa (Gadjah Mada) itu
sifatnya khianat dan dalam peristiwa itu Raja Sunda dan Putrinya Citraresmi
atau Dyah Pitaloka menjadi korban. Untuk menunujukkan bahwa orang Sunda juga
ada yang berani melawan terhadap kekejaman tentara Jawa zaman Mataram,
dihidupkan kembali cerita tentang Dipati Ukur. Ceritanya ditulis kembali oleh
Rohendy Sumardinata & Supis (Supian Iskandar) diterbitkan oleh Daya Sunda
Pusat (Bandung) setelah dimuat bersambung dalam Kalawarta Kudjang.
Dalam cerita
Dipati Ukur yang itulah pertama kali ditulis bahwa orang Sunda berperang dengan
menggunakan senjata khusus yang disebut kujang. Sejak itu dimitoskan bahwa
kujanglah senjata orang Sunda, sedangkan keris adalah senjata orang Jawa.
Pendeknya orang Sunda tidak kalah oleh orang Jawa. Kalau orang Jawa punya
senjata keris, orang Sunda punya kujang. Padahal keris juga sebenarnya senjata
orang Sunda, seperti juga senjata orang Melayu, karena itu ada keris yang
disebut “keris Pajajaran”. Namun karena pada waktu itu ada semangat bahwa orang
Sunda itu lain dari orang Jawa, dan tidak kalah hebat, pemitosan kujang sebagai
senjata khas Sunda kian keras. Pada sekitar tahun 1960 sudah terbentuk anggapan
bahwa kujang adalah lambang Sunda, sehingga dijadikan lambang pemerintah Jawa
Barat.
Tidak mustahil
gagasan tersebut timbul dari Pak Ema Bratakusumah dan lingkungan Daya Sunda
yang menerbitkan Kalawarta Kudjang.
Dalam buku-buku dan naskah yang ditulis sebelum tahun 1950, termasuk dalam
wawacan-wawacan, tak pernah dilukiskan bahwa orang berperang dengan
mempergunakan kujang. Tidak mustahil gagasan tentang kujang sebagai senjata
orang Sunda itu berasal dari Pak Ema Bratakusumah dan lingkungan Daya Sunda
yang menerbitkan Kalawarta Kudjang.
Ahli sejarah dan
kesenian Sunda, almarhum Saleh Danasasmita dengan menggunakan nama samaran
Asmalasuta menulis dalam karangan berjudul Semar
djeung Kudjang (majalah Handjuang
No. 5, 1971) bahwa ia merasa berdosa kalau membiarkan saja, karena telah
terjadi kekeliruan yang telah diterima masyarakat secara luas tentang Semar dan
kudang. Menurut para ahli, ternyata kepercayaan itu bisa dibentuk. “Sanajan carita hayal mun ditabeuh unggal
waktu, dipasieup siga heueuh, lila-lila bakal dianggap enyaan.” (Meski
cerita hayal, kalau diberitakan tiap waktu, dibuat-buat seakan-akan benar,
lama-lama akan dianggap benar). Karena itu, dia merasa perlu menulis karanan untuk menjelaskan hal yang sebenarnya
walaupun ia tahu bahwa “mun beja geus
dipercaya hese ngabedokeunnana” (kalau berita sudah dipercaya, susah membatalkannya).
Saya tidak akan
mengutip yang ditulis Saleh mengenai Semar, melainkan hanya akan mengutip
tentang kujang. Menurut Saleh dia menunjukkan bahwa tentang kujang sudah
diteliti dan dibahas oleh Snouck Hurgronje dalam majalah TBG (Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen) jilid 41 (1904). Snouck melakukan
penelitiannya di daerah Priangan yang masih ditemukan berbagai macam kujang.
Tapi pada waktu itu pun (awal abad ke-20), sudah tidak dapat diperoleh
keterangan tentang bagaimana menggunakannya. Kujang yang sekarang populer
adalah kujang Bandung yang dengan fantasi yang cukup dapat dianggap sebagai
senjata. Padahal kujang-kujang yang terdapat di daerah-daerah lain bukanlah
bentuk senjata untuk perang. Yang terdapat di daerah Banten lebih dekat dengan
bentuk arit.
Dalam naskah
Sundah Kuno koropak 630 (Siksa Kanda ng Kareysian) waktu
menguraikan tentang dina nataan senjata buat pakakasd poertang yang disebut ialah pedang, abeet panusuk, golok, peso poateundeut, nusuk, golok, dan keris. Kujang
tidak disebut. Kujang disebut sebagai alat bertani, yaitu kujang, baliung, patik, kored, sadap. Di Banten ada peribahasa yang
kira-kira berbunyi “mun aya bentang
kidang, turun kujang” (kalau bintang kidang telah tampak, kujang pun diturunkan
untuk digunakan). Bintang kidang menjadi tanda bahwa musim hujan sudah tiba,
waktunya turun ke ladang. Dari perbahasa itu jelas bahwa kujang itu alat
bertani.
Setelah kujang
dimitoskan sebagai senjata orang Sunda, wajarlah kalau tumbuh kebanggan
terhadap kujang dan didorong oleh rasa bangga itu lantas banyak orang yang
membuat kujang senjata sesuai dengan fungsinya. Konon Prof. Dr. Kusnaka
Adimihardja pernah mengemukakan pendapat bahwa kujang memang mempunyai beberapa
fungsi. Ada yang memang sebagai perkakas bertani, tetapi ada juga sebagai
senjata perang, di samping kujang yang diberikan oleh penguasa sebagai
penghargaan, yang disebut “kujang nugraha”.
Apakah penemuan fungsi-fungsi (yang tidak diperoleh Snouck Hurgronje pada awal
abad ke-20) itu berdasarkan penelitian yang cermat dan ilmiah? Sebab mungkin
saja, karena didorong oleh kebanggaan terhadap senjata warisan leluhur seperti
yang dimitoskan, belakangan banyak orang membuat kujang sesuai dengan
fantasinya.
Karena itu, saya
merasa lucu (dan sedih) waktu membaca berita “Kujang Didaftarkan ke UNESCO” Pikiran Rakyat Sabtu, 21 Juli 2012).
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat bersama dengan Tim Gugus Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) hendak mengajukan agar UNESCO mengakui kujang
“sebagai senjata tradisional orang Sunda”. Selain Tim Gugus HKI ada juga dosen
ITB dan para sarjana pejabat pemda staf gubernur dan wakil dari komunikasi
kesundaan.
Entah siapa yang
pernah mengadakan penelitian tentang kujang. Yang jelas dalam berita itu alasan
yang dikemukakan oleh Aris Kurniawan, MSn, staf pengajar Seni Rupa ITB sama
sekali tidak bersifat ilmiah, melainkan “ngelmu”
karena alasan itu merupakan kirata basa.
Katanya setelah melakukan penelitian selama tujuh tahun, dia sampai pada
kesimpulan bahwa “Kudi dalam arti Kudia atau Ku Anjeun, memberi pengertian “Titah” atau perintah dari Kahyangan
kepada manusia atau manu. Kudi dianggap mempunyai bentuk
menyerupai kepala burung, hal ini memberi makna bahwa manusia sebagai bentuk
perwakilan Hyang Tunggal atau Tuhan yang senantiasa harus meningkatkan bakti
dan bukti kepada negara dan Tuhan Yang Mahakuasa di marcapada atau buwana panca tengah. Nah lu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar