Utomo Dananjaya
(Direktur Institute
for Education Reform Universitas Paramadina)
Kompas, Senin 9
Juli 2012
Dunia pendidikan kita kembali heboh. Untuk kesikian kalinya,
sumber kehebohan terkait keberadaan buku teks ―sebagai sumber belajar―yang
ternyata banyak menulai masalah dan kekeliruan. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Siapa yang bertanggung jawab?
Guru memang dimudahkan oleh keberadaan buku teks untuk
memberikan materi sesuai
tingkat berpikir peserta didik. Buku-buku itu diterbitkan oleh Pusat Perbukuaan
dan dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hak cipta buku-buku
teks dibeli dari pengarang buku.
Menteri Pendidikan Nasional (kini Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan/Mendikbud) menerbitkan Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi
dan Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi. Masing-masing dengan
lampiran penjelasan yang berisi daftar mata pelajaran dan daftar Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), yang terdiri dari standar kompetensi lulusan satuan
pendidikan, standar komptensi mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan
mata pelajaran. Peraturan-peraturan menteri inilah yang menjadi dasar
penyusunan buku teks pelajaran pegangan guru.
Kecelakaan kekeliruan pada buku teks Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ) yang memuat cerita
“Bang Maman dari Kali Pasir” menyelamatkan Mendikbud. Sebab, buku teks PLBJ
adalah muatan lokal yang tanggung jawabnya ada pada Dinas Pendidikan Daerah
dalam hal ini DKI Jakarta.
Dinas Pendidikan pun dapat melepaskan tanggung jawab ini.
Argumentasinya, artikel “Bang Maman dari Kali Pasir” terdapat dalam lembar
kerja siswa (LKS) yang penggunaannya atas tanggung jawab guru. Maka, selamatlah
sang kepala dinas dengan melimpahkan tanggung jawab kepada guru pengajar PLBJ.
BSNP dan Pusat Perbukuan tentu tidak bisa melepaskan diri
dari tanggung jawab dalam menerbitkan buku teks. Buku-buku teks pelajaran yang
diterbitkan oleh Pusat Perbukuan yang dapat diunduh, digandakan, dicetak,
dialihmediakan, atau difotokopi oleh masyarakat menjadi tanggung jawab
pelaksanaan pendidikan dan mutu pendidikan.
Kepela Pusat Perbukuan mengharapkan buku-buku teks pelajaran
lebih mudah diakses sehingga siswa dari seluruh Indonesia memanfaatkan buku
yang telah dinilai BSNP. Kenyataannya, buku-buku masih ada yang keliru.
Tiga buku, tiga
contoh
Buku teks Ilmu
Pengetahuan Alam 2 (Sri Purwanti, CV Arya Duta-Pusat Perbukuan) adalah
salah satu contoh. Dalam buku ini ada banyak kejanggalan.
Pada Bab 8 tentang sumber energi tertulis bahwa tujuan
pembelajaran adalah mengidentifikasi sumber energi di lingkungan sekitar. Kejanggalan
terlihat mulai dari pembahasan bentuk-bentuk energi: bunyi adalah bentuk
energi, cahaya adalah bentuk energi, dan panas adalah bentuk energi.
Masing-masing dilengkapi gambar, pengganti kegiatan mengamati yang tidak cukup untuk mengantarkan anak pada pemahaman
tentang apa itu energi yang sesungguhnya.
Kejanggalan ini
diperparah dengan pembahasan lanjutan tentang alat rumah tangga. Pada halaman
102 tertulis, “di rumah banyak alat rumah tangga―alat-alat itu menghasilkan
energi ―contohnya televisi, radio, dan telepon”. Kutipan tersebut menunjukkan
bahwa pengarang salah memahami konsep energi dan dibenarkan oleh BSNP lewat
pengakuan kelayakan buku.
Energi tidak
dapat diciptakan dan tidak dapat pula dimusnahkan. Energi adalah kemampuan untuk melakukan perubahan. Jadi, kalimat
bahwa alat-alat rumah tangga dapat menghasikan energi adalah keliru. Alat-alat
rumah tangga itu bukan menghasilkan, tetapi menggunakan energi.
Menurut standar
kompetensi, pembelajaran tentang energi di pelajari di SD, SMP, dan SMA.
Pemahaman yang salah sejak SD akan berpengaruh sepanjang pembelajaran energi.
Kita simak pula
buku Ilmu Pengetahuan Sosial karangan
Tri Jaya Suranto dan A. Dakir (PT Ghalia Indonesia Printing-Pusat Perbukuan).
Salah satu standar kompetensi kelulusan ilmu pengetahuan sosial adalah memahami
identitas diri dan keluarga. Identitas diri diterjemahkan pengarang sebagai
pribadi dan keluarga. Maka, pembahasan ini masuk bagian berjudul “Dokumen
Pribadi dan Keluarga” dan yang dibahas adalah akta kelahiran, kartu keluarga,
kartu tanda penduduk, dan surat mengemudi.
Konsep tentang
identitas diri tentu saja bukan dokumen identitas administratif. Ini adalah
konsep menganali diri, karakter diri, kelebihan, dan kekurangan. Jika pemahaman
tentang konsep identitas diri ini saja salah diarahkan, tidak heran jika
pendidikan karakter hanya wacana karena pendekatannya bukan lewat pemahaman,
tetapi sekadar pengetahuan administratif.
Kesalahan konsep
juga terdapat pada buku teks matematika terbitan Pusat Perbukuan yang juga
mendapat penilaian kelayakan dari BSNP. Pada buku Matematika 2: Tematik, halaman 72, tertulis “Jadi 4 x 3 = 3 x 4”.
Lalu pada halaman 74 terdapat ilustrasi gambar untuk soal pembagian 6 : 3 =2.
“Jika dibalik, sebanyak 3 orang mendapatkan 2 es krim. Kalimat matematikanya
menjadi 2 x 3 = 6.”
Bukankah
seharusnya kalimat matematiknya adaah 3 x 2 = 6? Jika dibalik: 6 : 3 = 2.
Kalimat matematika tersebut adalah simbol dari 6 es krim yang dibagikan kepada
3 orang, setiap orang mendapat 2 es krim atau 3 orang masing-masing mendapat 2
es krim sehingga jumlahnya 6 es krim. Kalimat matematika ini tak menyimpulkan
secara benar dan menyimpang dari konsep.
Tanggung jawab BSNP
Tiga contoh buku
teks dengan kekeliruan masing-masing mengandung kekeliruan konsep yang
menyesatkan anak didik. Kekeliruan pemahaman bisa terbawa sampai dewasa.
Celakanya,
buku-buku ini diterbitkan oleh Pusat Perbukuaan dan telah dinilai oleh BSNP
sebagai buku yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses
pembelajaran sesuai Permendiknas No. 46/2007. Para penulis buku tersebut telah
mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya karena telah mengalihkan hak
ciptanya ke Pendidikan dan Kebudayaan untuk digunakan secara luas oleh pendidik
dan peserta didik.
Artinya,
kekeliruan konsep dalam buku-buku tersebut juga tersebar ke peserta didik
seluruh Indonesia. Saya dengar ada ratusan buku dibeli oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dan mungkin ada ratusan judul buku yang juga
mengandung kekeliruan.
Kekeliruan
konsep, kekeliruan pengertian, bahkan kekeliruan cetak ini justru terjadi pada
buku yang sudah dianggap layak oleh BSNP. Jadi, jelaslah siapa yang harus
bertanggung jawab. Tidak bisa dilemparkan ke pengarang, apalagi guru sebagai
pengguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar