Rabu, 28 November 2012 | 09:38 WIB
DOHA, KOMPAS.com - Ancaman datang dari ”melelehnya” permafrost karena gas rumah kaca yang membeku demikian lama akan lepas ke atmosfer. Pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah besar itu akan mempercepat proses pemanasan global, pemicu perubahan iklim.
”Potensi dampak menghangatnya permafrost pada iklim, ekosistem, dan infrastruktur sudah demikian lama diabaikan,” kata Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Achim Steiner, Selasa (27/11/2012), di Doha, Qatar.
Steiner membacakan laporan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim itu di depan Konferensi Perubahan Iklim PBB Pertemuan Para Pihak ke-18 (COP-18)/Konferensi Para Pihak untuk Pertemuan Protokol Kyoto ke-8 (CMP-8).
Permafrost, lapisan tanah yang membeku, ada di daerah Siberia dan Kanada, sebagian China, serta di sebagian wilayah AS.
Permafrost yang tak lagi beku akan melepaskan gas rumah kaca metana dan karbon dioksida dari tumbuhan yang tersimpan ribuan tahun. Gas rumah kaca itu akan meningkatkan pemanasan global yang selanjutnya akan memicu ”melelehnya” permafrost.
Deklarasi aset alam
Di Jakarta, kemarin, untuk pertama kalinya secara formal peran masyarakat adat dan unsur masyarakat lain dalam mengelola aset alam diakui. Pengakuan dituangkan dalam deklarasi yang ditandatangani pihak pemerintah, masyarakat (adat), unsur koperasi, dan pengusaha.
Penandatanganan dilakukan di tengah-tengah diskusi ”Melampaui Karbon: REDD+ Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial”.
Menurut Ketua Satgas REDD+ (Pengurangan Emisi Melalui Deforestasi dan Degradasi Lahan) Kuntoro Mangkusubroto, ”Soal REDD+ bukan soal karbon semata. Bicara REDD+ adalah bicara kemiskinan.”
Saat ini ada 40 juta orang di sekitar hutan yang hidup di bawah garis kemiskinan, berpendapatan di bawah 1 dollar (sekitar Rp 10.000) per hari. (AFP/ISW)
Geological Survey Canada
Penampang lintang permafrost
DOHA, KOMPAS.com - Ancaman datang dari ”melelehnya” permafrost karena gas rumah kaca yang membeku demikian lama akan lepas ke atmosfer. Pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah besar itu akan mempercepat proses pemanasan global, pemicu perubahan iklim.
”Potensi dampak menghangatnya permafrost pada iklim, ekosistem, dan infrastruktur sudah demikian lama diabaikan,” kata Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Achim Steiner, Selasa (27/11/2012), di Doha, Qatar.
Steiner membacakan laporan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim itu di depan Konferensi Perubahan Iklim PBB Pertemuan Para Pihak ke-18 (COP-18)/Konferensi Para Pihak untuk Pertemuan Protokol Kyoto ke-8 (CMP-8).
Permafrost, lapisan tanah yang membeku, ada di daerah Siberia dan Kanada, sebagian China, serta di sebagian wilayah AS.
Permafrost yang tak lagi beku akan melepaskan gas rumah kaca metana dan karbon dioksida dari tumbuhan yang tersimpan ribuan tahun. Gas rumah kaca itu akan meningkatkan pemanasan global yang selanjutnya akan memicu ”melelehnya” permafrost.
Deklarasi aset alam
Di Jakarta, kemarin, untuk pertama kalinya secara formal peran masyarakat adat dan unsur masyarakat lain dalam mengelola aset alam diakui. Pengakuan dituangkan dalam deklarasi yang ditandatangani pihak pemerintah, masyarakat (adat), unsur koperasi, dan pengusaha.
Penandatanganan dilakukan di tengah-tengah diskusi ”Melampaui Karbon: REDD+ Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial”.
Menurut Ketua Satgas REDD+ (Pengurangan Emisi Melalui Deforestasi dan Degradasi Lahan) Kuntoro Mangkusubroto, ”Soal REDD+ bukan soal karbon semata. Bicara REDD+ adalah bicara kemiskinan.”
Saat ini ada 40 juta orang di sekitar hutan yang hidup di bawah garis kemiskinan, berpendapatan di bawah 1 dollar (sekitar Rp 10.000) per hari. (AFP/ISW)
Sumber :Kompas Cetak
Editor : yunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar