Kamis, 30 September 2010 | 11:24 WIB
BANDUNG, KOMPAS.com — Salah seorang maestro lagu pop Sunda, Nano Suratno atau Nano S, meninggal dunia di RS Immanuel, Kota Bandung, Rabu (29/9/2010) malam karena sakit yang memicu pembuluh darahnya pecah.
Pencipta lagu "Kalangkang" itu mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 23.30 dengan ditunggui keluarga besarnya.
Nano S yang akrab disapa Mang Nano S dirawat di ruang ICU RS Immanuel sejak Jumat (24/9/2010) malam setelah terjatuh di rumahnya di Jalan M Toha, Bandung, dan tak sadarkan diri.
Tim dokter menyatakan bahwa pembuluh darah di bagian kanan kepala Mang Nano pecah.
Rencananya, jenazah almarnum akan dimakamkan di pemakaman yang tidak jauh dari rumahnya di Jalan M Toha, Bandung.
Sejumlah seniman dan budayawan Sunda hadir melayat ke rumah duka. Selain itu, karangan bunga juga berjejer di sekitar kediamannya, baik dari pejabat pemerintah, BUMN, maupun kalangan seniman.
Editor: Eko Hendrawan Sofyan | Sumber : ANT
BANDUNG, KOMPAS.com -- Ratusan orang mulai dari seniman, birokrat, hingga masyarakat biasa, mengiringi pemakaman jenazah maestro pop Sunda, Nano Suratno (66), ke TPU Lengok Ciseureuh Perumahan Mekar Wangi Bandung, Kamis.
Akibat iring-iringan tersebut, arus lalu lintas di Jalan Muhammad Toha dari arah Jalan Soekarno Hatta Bandung menuju tol Muhammad Toha menjadi tersendat.
Dalang wayang golek Asep Sunandar Sunarya dan Acil "Bimbo", ikut serta berjalan kaki mengiri jenazah TPU Lengok Ciseureuh Perumahan Mekar Wangi yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah duka.
Salah satu maestro lagu pop Sunda, Nano Suratno atau Nano S meninggal dunia di RS Immanuel Kota Bandung, Rabu (29/9/2010) malam karena sakit pecah pembuluh darah.
Pencipta lagu "Kalangkang" itu menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 23.30 WIB didampingi keluarga besarnya.
Nano S yang akrab disapa Mang Nano S, dirawat di ruang ICU RS Immanuel Kota Bandung sejak Jumat (24/9) malam setelah terjatuh di rumahnya di Jalan M Toha Kota Bandung dan tak sadarkan diri hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Tim dokter menyatakan Mang Nano menderita pecah pembuluh darah pada bagian kanan kepalanya.
Semasa hidup hidupnya, almarhum Nano S (66) meninggalkan satu orang istri dan tiga orang anak.
BANDUNG, KOMPAS.com - Masyarakat Sunda kembali kehilangan putra terbaiknya, menyusul berpulangnya maestro pop Sunda Nano S, yang wafat pada Rabu (29/9/2010) di Bandung.
Kecintaannya terhadap budaya Sunda, terutama musik karawitan, telah ia perlihatkan sejak masih muda. Lahir di Garut, Jawa Barat, 4 April 1944, Nano mulai menunjukkan minatnya yang besar kepada musik karawitan. Setelah lulus SMP, dia melanjutkan sekolah di Konservatori Karawitan (Kokar) di Bandung (1961) yang ketika itu dipimpin Daeng Sutigna.
Setelah tamat, ia mengajar di SMP 1 Bandung dan kemudian pindah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Beberapa tahun kemudian, ia melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dan STSI Jurusan Karawitan Sunda sampai selesai.
Tahun 1964, Nano bergabung dengan kelompok Ganda Mekar pimpinan Mang Koko. Namun, beberapa tahun kemudian ia mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama Gentra Madya (1972). Di awal berkarya menciptakan karawitan Sunda, pengaruh sang guru, Mang Koko, masih sangat kentara. Namun, lambat laun, ia mulai memperlihatkan cirinya sendiri.
Meski tak menghilangkan pengaruh Mang Koko yang kerap mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat lewat karya-karyanya, Nano juga memberi ruang bagi orang untuk merefleksikannya terhadap diri sendiri. Karya-karyanya seakan-akan menertawakan diri sendiri, yang sering terjebak dalam situasi yang lucu.
Cara ini dibawakannya dalam pergelaran yang disebut Prakpilingkung (keprak, kacapi, suling, angklung). Hasilnya, pada Festival Komponis Muda Indonesia 1 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (1979), komposisinya, "Sang Kuriang" mendapat perhatian sebagai komposisi yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan Sunda yang penuh inovasi.
Ia pun pernah mendapat beasiswa fellowship dari The Japan Foundation selama setahun di Tokyo Gedai (Universitas Kesenian Tokyo) untuk mempelajari perbandingan tangga nada Sunda dan Jepang, terutama antara alam musik Kecapi dan Koto.
Selain itu, ia juga belajar meniup sakuhachi dan memetik shamisen, yang kemudian membuat kolaborasi alat-alat itu pada ciptaannya dan membuat beberapa lagu karawitan Sunda yang berbahasa Jepang, di antaranya "Katakana Hiragana Uta", "Ueno Koen", dan "D'enshano Uta" (1981-1982). Nano lalu pernah pula diundang oleh Departemen Musik Universitas Santa Cruz untuk mengajar dan membuat pergelaran dalam Spring Performance (1990).
Keprofesionalannya dalam kesenian Sunda semakin terbukti ketika ia diminta oleh Min on, impresario, sebuah kelompok kesenian besar di Jepang, untuk mengadakan pertunjukan kesenian Sunda di berbagai kota di seluruh Jepang selama 40 hari dengan 22 kali pertunjukan. Pertunjukan ini (1988) mendapat sambutan antusias karena keindahan yang ditampilkan dengan disiplin yang tinggi. Ia pun diminta menampilkan pertunjukan itu lagi di kota-kota lain.
Popularitasnya semakin menanjak setelah album-album rekaman kasetnya banyak diminati oleh masyarakat, di antaranya Kalangkang (Bayangan, 1989) dan Cinta Ketok Magic (1992) yang meledak di pasaran sehingga mendapat HDX Award tingkat nasional.
Meskipun lagu-lagu ciptaannya berjenis karawitan, dengan cepat ia memperoleh penggemar di seluruh Indonesia dan bukan hanya dari kalangan orang Sunda, apalagi setelah lagu-lagu itu dijadikan pop Sunda.
Selain itu, ia juga membuat lagu untuk Gending Karesmen bersama Wahyu Wibisana, Raf, dan lain-lain. Gending Karesmen ciptaannya antara lain Deugdeug Pati Jaya Perang, Raja Kecit, 1 Syawal di Alam Kubur, dan Perang.
Ia juga dikenal sebagai penulis sajak dan cerita pendek berbahasa Sunda. Karyanya pernah dimuat dalam majalah Mangle, Hanjuang, dan lainnya.
Cerita pendeknya dikumpulkan dengan judul Nu Baralik Manggung (Yang Pulang Sehabis Mengadakan Pertunjukan). Ia juga menyusun Buku Kawih untuk bahan pelajaran di sekolah menengah dengan judul Haleuang Tandang (1976).
Negara-negara yang pernah dikunjunginya untuk mengadakan pertunjukan antara lain Jepang, Hongkong, Filipina, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Pada bulan Oktober 1999, di Jepang, ia memainkan lagu ciptaannya yang berjudul "Hiroshima", yang dibuat khusus untuk memenuhi permintaan Wali Kota Hiroshima yang mengenalnya sebagai pencipta lagu. Terakhir, Nano diangkat menjadi Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Barat sejak 1995 sampai pensiun (2000).
Sumber: http://www.tamanismailmarzuki.com