| Egidius Patnistik | Kamis, 20 Oktober 2011 | 09:53 WIB
BEIJING, KOMPAS.com - Gambar video tentang seorang bocah China yang ditabrak lari dan dibiarkan sekarat oleh 18 pelintas di pasar yang sibuk di kota Foshan, Provinsi Guandong, Kamis (13/10/2011), memunculkan pertanyaan. Ada apa dengan masyarakat negara itu. Benarkah mereka telah jadi apatis, tak peduli dengan sesamanya yang sedang celaka. Kalau benar, mengapa?
Video yang diambil dari rekaman kamera pemantau dan diposting di YouTube serta situs sejenis di China, Youku, memperlihatkan, seorang pengemudi van menabrak bocah dua tahun itu, yang bernama Yue Yue. Van itu hanya berhenti sejenak tetapi kemudian melaju lagi. Adegan selanjutnya sulit dipercaya! Selama tujuh menit tercatat 18 orang melintas dan melihat bocah itu terkapar-sekarat dalam kubangan darah tetapi tak seorang pun yang berhenti untuk menolongnya. Dalam selang waktu itu, Yue Yue justru dilindas lagi oleh sebuah truk. Seorang perempuan pemulung, Chen Xianmei (58 tahun), orang ke 19 yang melintas. Baru dia yang tergerak hatinya. Chen memindahkan bocah itu sebelum ibunya sendiri datang dan menggendongnya.
Sikap apatis para pelintas itu memicu kecaman dan debat emosional tentang kondisi moralitas masyarakat China yang tengah berkembang pesat secara ekonomi. Sejumlah pengguna media sosial di China telah menyuarakan bahwa ketidakpedulian warga atas gadis cilik itu sebagai tanda sebuah masyarakat yang moralnya memburuk.
Di Sina Weibo, situs microblogging China yang mirip Twitter, kisah itu terus menjadi topik utama. Pada saat bersamaan di situs itu muncul kampanye online bertopik "stop apatisme". Seorang pengguna Sina Weibo menyebut kejadian itu "memalukan orang-orang China". Pengguna lain, Xiaozhong001 menulis, "Sesungguhnya, ada apa dengan masyarakat kita? Saya melihat kejadian ini dan hati saya jadi beku." Microblogger lain yang menyebut dirinya Patton Yu menulis, "Bangsa macam apa ini?" "Masyarakat ini sakit parah," komentar microblogger lain. "Bahkan kucing dan anjing pun tidak seharusnya diperlakukan tanpa perasaan seperti itu."
Insiden itu pun menjadi berita media-media arus utama dunia, dengan pertanyaan mendasar, apakah apatisme jadi trend umum di China. Jika ya, mengapa? New York Times dalam sebuah artikel di situsnya yang terbit Rabu yang mengulas peristiwa itu, memuat prolog tentang sebuah peristiwa lain yang terjadi Jumat, sehari setelah drama tagis di pasar Fosham itu.
Pada peristiwa Jumat itu, seorang perempuan yang tampaknya ingin bunuh diri melompat ke danau di Hangzhou, sebuah kota di barat daya Shanghai. Ketika perempuan itu tampaknya mulai tenggelam, seorang perempuan, yang secara luas dilaporkan sebagai turis Amerika, langsung menanggalkan mantelnya. Perempuan itu terjun juga ke air, lalu berenang ke arah orang yang mau bunuh diri. Secara tangkas si penolong menarik perempuan itu ke tepi danau. Kemudian, ketika melihat perempuan itu selamat, si penolong pergi tanpa memberitahukan namanya.
Dua kejadian itu tentu tak dapat dikatakan mewakili moralitas dari dua bangsa itu. Namun ribuan microblogger di China telah menggunakan dua kejadian itu, yang satu memperlihatkan sifat tak berperasaan dan yang lain menunjukkan heroisme, sebagai bahan bakar dalam perdebatan memilukan atas apakah masyarakat China tidak berbelas kasih dan, jika benar demikian, mengapa. Topik itu jadi perbincangan nasional dan semakin umum. Sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya di negara yang media cetak dan media penyiarannya sebagian besar tetap dikendalikan Partai Komunis yang lebih tertarik dalam mengarahkan opini publik daripada merefleksikan suasana bangsa.
Seorang microblogger berkata tentang penyelamatan di Hangzhou. "Kemarin Obama minum bir dengan pekerja konstruksi yang kehilangan pekerjaan. Hari ini, saya membaca sebuah cerita tentang seorang turis Amerika yang melompat ke dalam air untuk menyelamatkan seseorang. Saya akhirnya menyadari mengapa Amerika menjadi negara yang kuat dan akan terus menjadi yang terkuat."
Booming ekonomi China dan kesenjangan yang menganga antara yang kaya dan miskin telah membuat perubahan nilai-nilai sosial menjadi topik perdebatan. Sejumlah orang meratapi bahwa materialisme telah menggantikan moral. Materialisme dinilai telah menjadikan orang-orang China bak mayat berjalan, tak punya spirit untuk berbelas kasih. Konsep ying yang, yang mengutamakan kesimbangan, dalam konteksnya ini berarti antara yang material dan yang spiritual, yang menjadi prinsip dasar filsafat China seakan hilang tak berbekas.
Namun sejumlah orang menduga, sistem hukum negara itu mungkin telah menghalangi munculnya orang Samaria yang murah hati, yang mau membantu mereka yang mengalami kecelakaan. Media Kanada, Toronto Star, dalam situsnya, Rabu, menulis bahwa di Ontario, dan sejumlah tempat lain di dunia, ada undang-undang tentang orang Samaria yang murah hati yang melindungi orang yang tidak profesional secara medis yang melakukan pertolongan pertama pada korban kecelakaan di tempat kejadian. Di banyak negara Eropa, seperti Perancis dan Jerman, UU tentang Orang Samaria yang Murah Hati malah mengharuskan warga yang ada di lokasi untuk melakukan tindakan penyelamatan.
Nah di China, tidak ada UU semacam itu, kata Pitman Potter, seorang profesor hukum di University of British Columbia. Ketiadaan UU semacam itu, kata Potter menghalangi orang untuk membantu.
Cerita tentang orang Samaria yang murah hati berasal dari Kitab Suci Kristen. Nabi Isa mengisahkan, ada seorang yang tengah bepergian, yang mungkin orang Yahudi tapi mungkin juga bukan. Orang itu dipukuli, dirampok dan dibiarkan sekarat di tengah jalan. Dua orang Yahudi, termasuk seorang imam, melintas tetapi mereka mengabaikan orang yang sekarat itu. Lalu orang Samaria lewat. Orang Samaria dan Yahudi sering berselisih. Namun orang Samaria itulah yang justru menolang si korban, yang mungkin saja seorang Yahudi.
Di China, kata Potter, yang terjadi sebaliknya. "Orang telah digugat oleh keluarga orang yang terluka atau diminta bertanggung jawab oleh pihak berwenang. Maka, terlibat dalam hal seperti itu (menjadi orang Samaria yang murah hati) merupakan sesuatu yang orang hindari."
Tahun 2006, seorang pria Nanjing yang mendampingi seorang perempuan tua ke rumah sakit setelah perempuan itu mengalami patah kaki justru diperintahkan untuk membayar 40 persen tagihan rumah sakit perempuan itu. Alasannya? Tidak bisa dipercaya bahwa pria itu rela pergi sejauh itu demi membantu perempuan tersebut jika ia sama sekali tidak bertanggung jawab atas kecelakaan dan cedera yang dialami perempuan itu.
"Alasan pengadilan adalah, jika Anda tidak melakukannya, mengapa Anda harus membawa mereka ke rumah sakit? Tidak ada orang waras yang akan membawa mereka (ke rumah sakit)," kata Donald Clarke, seorang profesor hukum di George Washington University yang punya sebuah blog tentang hukum di China seperti dikutip Toronto Star.
Sejumlah sumber China juga menduga, sopir van itu membiarkan bocah itu tewas karena kompensasi untuk kematian seringkali lebih ringan daripada untuk sebuah cedera jangka panjang. Untuk yang terakhir itu, kompensasinya mungkin termasuk biaya medis dan kompensasi pendapatan atas hilangnya kesempatan kerja selama bertahun-tahun.
"Jika dia (gadis itu) tewas, saya mungkin hanya membayar sekitar 20.000 yuan (3.180 dollar AS)," kata sopir van yang menabrak Yue Yue kepada China Daily sebelum dia menyerahkan diri kepada polisi. "Tapi jika dia cedera, itu mungkin membebani saya hingga ratusan ribu yuan."
China memperkenalkan asuransi wajib untuk mobil lima tahun lalu. Namun sebuah artikel di Hong Kong South China Morning Post pada awal tahun ini mengatakan, banyak pengemudi yang mengabaikan ketentuan itu.
Menurut Potter, pertangungan asuransi pribadi juga jarang. Itu berarti akan bijaksana secara finansial bagi pengemudi untuk melarikan diri dari kecelakaan.
AP
Yue Yue, bocah dua tahun dari Provinsi Guandong, China, yang terlindas mobil dua kali dalam waktu kurang dari lima menit dan diabaikan oleh 18 pelintas ketika ia sekarat di jalanan sudah stabil.
Yue Yue, bocah dua tahun dari Provinsi Guandong, China, yang terlindas mobil dua kali dalam waktu kurang dari lima menit dan diabaikan oleh 18 pelintas ketika ia sekarat di jalanan sudah stabil.
BEIJING, KOMPAS.com - Gambar video tentang seorang bocah China yang ditabrak lari dan dibiarkan sekarat oleh 18 pelintas di pasar yang sibuk di kota Foshan, Provinsi Guandong, Kamis (13/10/2011), memunculkan pertanyaan. Ada apa dengan masyarakat negara itu. Benarkah mereka telah jadi apatis, tak peduli dengan sesamanya yang sedang celaka. Kalau benar, mengapa?
Video yang diambil dari rekaman kamera pemantau dan diposting di YouTube serta situs sejenis di China, Youku, memperlihatkan, seorang pengemudi van menabrak bocah dua tahun itu, yang bernama Yue Yue. Van itu hanya berhenti sejenak tetapi kemudian melaju lagi. Adegan selanjutnya sulit dipercaya! Selama tujuh menit tercatat 18 orang melintas dan melihat bocah itu terkapar-sekarat dalam kubangan darah tetapi tak seorang pun yang berhenti untuk menolongnya. Dalam selang waktu itu, Yue Yue justru dilindas lagi oleh sebuah truk. Seorang perempuan pemulung, Chen Xianmei (58 tahun), orang ke 19 yang melintas. Baru dia yang tergerak hatinya. Chen memindahkan bocah itu sebelum ibunya sendiri datang dan menggendongnya.
Sikap apatis para pelintas itu memicu kecaman dan debat emosional tentang kondisi moralitas masyarakat China yang tengah berkembang pesat secara ekonomi. Sejumlah pengguna media sosial di China telah menyuarakan bahwa ketidakpedulian warga atas gadis cilik itu sebagai tanda sebuah masyarakat yang moralnya memburuk.
Di Sina Weibo, situs microblogging China yang mirip Twitter, kisah itu terus menjadi topik utama. Pada saat bersamaan di situs itu muncul kampanye online bertopik "stop apatisme". Seorang pengguna Sina Weibo menyebut kejadian itu "memalukan orang-orang China". Pengguna lain, Xiaozhong001 menulis, "Sesungguhnya, ada apa dengan masyarakat kita? Saya melihat kejadian ini dan hati saya jadi beku." Microblogger lain yang menyebut dirinya Patton Yu menulis, "Bangsa macam apa ini?" "Masyarakat ini sakit parah," komentar microblogger lain. "Bahkan kucing dan anjing pun tidak seharusnya diperlakukan tanpa perasaan seperti itu."
Insiden itu pun menjadi berita media-media arus utama dunia, dengan pertanyaan mendasar, apakah apatisme jadi trend umum di China. Jika ya, mengapa? New York Times dalam sebuah artikel di situsnya yang terbit Rabu yang mengulas peristiwa itu, memuat prolog tentang sebuah peristiwa lain yang terjadi Jumat, sehari setelah drama tagis di pasar Fosham itu.
Pada peristiwa Jumat itu, seorang perempuan yang tampaknya ingin bunuh diri melompat ke danau di Hangzhou, sebuah kota di barat daya Shanghai. Ketika perempuan itu tampaknya mulai tenggelam, seorang perempuan, yang secara luas dilaporkan sebagai turis Amerika, langsung menanggalkan mantelnya. Perempuan itu terjun juga ke air, lalu berenang ke arah orang yang mau bunuh diri. Secara tangkas si penolong menarik perempuan itu ke tepi danau. Kemudian, ketika melihat perempuan itu selamat, si penolong pergi tanpa memberitahukan namanya.
Dua kejadian itu tentu tak dapat dikatakan mewakili moralitas dari dua bangsa itu. Namun ribuan microblogger di China telah menggunakan dua kejadian itu, yang satu memperlihatkan sifat tak berperasaan dan yang lain menunjukkan heroisme, sebagai bahan bakar dalam perdebatan memilukan atas apakah masyarakat China tidak berbelas kasih dan, jika benar demikian, mengapa. Topik itu jadi perbincangan nasional dan semakin umum. Sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya di negara yang media cetak dan media penyiarannya sebagian besar tetap dikendalikan Partai Komunis yang lebih tertarik dalam mengarahkan opini publik daripada merefleksikan suasana bangsa.
Seorang microblogger berkata tentang penyelamatan di Hangzhou. "Kemarin Obama minum bir dengan pekerja konstruksi yang kehilangan pekerjaan. Hari ini, saya membaca sebuah cerita tentang seorang turis Amerika yang melompat ke dalam air untuk menyelamatkan seseorang. Saya akhirnya menyadari mengapa Amerika menjadi negara yang kuat dan akan terus menjadi yang terkuat."
Booming ekonomi China dan kesenjangan yang menganga antara yang kaya dan miskin telah membuat perubahan nilai-nilai sosial menjadi topik perdebatan. Sejumlah orang meratapi bahwa materialisme telah menggantikan moral. Materialisme dinilai telah menjadikan orang-orang China bak mayat berjalan, tak punya spirit untuk berbelas kasih. Konsep ying yang, yang mengutamakan kesimbangan, dalam konteksnya ini berarti antara yang material dan yang spiritual, yang menjadi prinsip dasar filsafat China seakan hilang tak berbekas.
Namun sejumlah orang menduga, sistem hukum negara itu mungkin telah menghalangi munculnya orang Samaria yang murah hati, yang mau membantu mereka yang mengalami kecelakaan. Media Kanada, Toronto Star, dalam situsnya, Rabu, menulis bahwa di Ontario, dan sejumlah tempat lain di dunia, ada undang-undang tentang orang Samaria yang murah hati yang melindungi orang yang tidak profesional secara medis yang melakukan pertolongan pertama pada korban kecelakaan di tempat kejadian. Di banyak negara Eropa, seperti Perancis dan Jerman, UU tentang Orang Samaria yang Murah Hati malah mengharuskan warga yang ada di lokasi untuk melakukan tindakan penyelamatan.
Nah di China, tidak ada UU semacam itu, kata Pitman Potter, seorang profesor hukum di University of British Columbia. Ketiadaan UU semacam itu, kata Potter menghalangi orang untuk membantu.
Cerita tentang orang Samaria yang murah hati berasal dari Kitab Suci Kristen. Nabi Isa mengisahkan, ada seorang yang tengah bepergian, yang mungkin orang Yahudi tapi mungkin juga bukan. Orang itu dipukuli, dirampok dan dibiarkan sekarat di tengah jalan. Dua orang Yahudi, termasuk seorang imam, melintas tetapi mereka mengabaikan orang yang sekarat itu. Lalu orang Samaria lewat. Orang Samaria dan Yahudi sering berselisih. Namun orang Samaria itulah yang justru menolang si korban, yang mungkin saja seorang Yahudi.
Di China, kata Potter, yang terjadi sebaliknya. "Orang telah digugat oleh keluarga orang yang terluka atau diminta bertanggung jawab oleh pihak berwenang. Maka, terlibat dalam hal seperti itu (menjadi orang Samaria yang murah hati) merupakan sesuatu yang orang hindari."
Tahun 2006, seorang pria Nanjing yang mendampingi seorang perempuan tua ke rumah sakit setelah perempuan itu mengalami patah kaki justru diperintahkan untuk membayar 40 persen tagihan rumah sakit perempuan itu. Alasannya? Tidak bisa dipercaya bahwa pria itu rela pergi sejauh itu demi membantu perempuan tersebut jika ia sama sekali tidak bertanggung jawab atas kecelakaan dan cedera yang dialami perempuan itu.
"Alasan pengadilan adalah, jika Anda tidak melakukannya, mengapa Anda harus membawa mereka ke rumah sakit? Tidak ada orang waras yang akan membawa mereka (ke rumah sakit)," kata Donald Clarke, seorang profesor hukum di George Washington University yang punya sebuah blog tentang hukum di China seperti dikutip Toronto Star.
Sejumlah sumber China juga menduga, sopir van itu membiarkan bocah itu tewas karena kompensasi untuk kematian seringkali lebih ringan daripada untuk sebuah cedera jangka panjang. Untuk yang terakhir itu, kompensasinya mungkin termasuk biaya medis dan kompensasi pendapatan atas hilangnya kesempatan kerja selama bertahun-tahun.
"Jika dia (gadis itu) tewas, saya mungkin hanya membayar sekitar 20.000 yuan (3.180 dollar AS)," kata sopir van yang menabrak Yue Yue kepada China Daily sebelum dia menyerahkan diri kepada polisi. "Tapi jika dia cedera, itu mungkin membebani saya hingga ratusan ribu yuan."
China memperkenalkan asuransi wajib untuk mobil lima tahun lalu. Namun sebuah artikel di Hong Kong South China Morning Post pada awal tahun ini mengatakan, banyak pengemudi yang mengabaikan ketentuan itu.
Menurut Potter, pertangungan asuransi pribadi juga jarang. Itu berarti akan bijaksana secara finansial bagi pengemudi untuk melarikan diri dari kecelakaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar