Jumat, 18 April 2014

Membawa Angklung Keliling Dunia



Taufik Hidayat Udjo


Pikiran Rakyat 10032013

 
Taufik Hidayat Udjo (Harry Surjana/"PR")

Dilahirkan sebagai anak seniman besar yang membesarkan alat musik tradisional angklung, Udjo Ngalagena, bukan berarti otomatis langsung mencintai angklung. Alih-alih mencintai, Taufik Hidayat (48), anak kesembilan dari sepuluh bersaudara purtar Udjo Ngalagena ini, awalnya malah tidak menyukai angklung. Namun, seperti kata pepatah Sunda “Cikaracak ninggang batu, lila lila jadi legok” (air menetas terus-menerus di atas batu, lama-lama batu pun jadi berlubang), begitu juga yang terjadi kepada Taufik.

Taufik awalnya tidak menyukai angklung. Namun, karena di lingkungan sekitarnya hampir setiap hari melihat dan mendengar orang bermain angklung, maka sedikit-demi sedikit rasa cinta terhadap alat musik dari bambu itu pun tumbah di hati Taufik. Terlebih sang ayah juga kerap mengajari anak-anaknya memainkan angklung. Bahkan tak jarang pelajaran yang diberikan berlangsung hingga larut malam. “Sampai-sampai saat itu, kami tak memiliki kamar masing-masing karena digunakan untuk pertunjukan dan segala keperluan angklung,” ujar Taufik ketika ditemui di “Saung Angklung Udjo” (28/2).

Taufik salut akan keteguhan orang tuanya dalam menjaga kelestarian seni angklung ini. Semangatnya pun terpacu ketika mendengar perkataan ayahnya di hadapan para wisatawan asing yang datang ke Saung Udjo. “Anda lihat kami bermain angklung, suatu saat akan mendunia,” ungkap Udjo saat itu.

Setelah Udjo Ngalagena meninggal dunia, Taufik dipercaya untuk mengelola Saung Udjo. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan seni yang diwariskan orangtuanya, dipadu dengan jiwa entepreneur dari latar pendidikannya di bidang ekonomi, Taufik ingin meneruskan semangat sang ayah sekaligus membuktikan apa yang telah diungkapkan ayahnya saat itu. Dan dia berhasil, alat musik angklung saat ini telah mendunia, dan diakui UNESCO sebagai budaya milik bangsa Indonesia. Taufik pun telah membawa rombongan angklungnya untuk tampil di mancanegara. “Saya hanya ingin memelihara budaya, lingkungan, dan pendidikan lewat angklung, sedangkan masalah bisnis hanya dampaknya saja”, kata jebolan STIE angakatan 1984 ini.

Padahal, jika saja mau berkhianat kepada negeri sendiri,ia bersama seluruh warga Saung Udjo, bisa pindah bedol desa ke salah satu negeri. Mereka dijanjikan akan diberi fasilitas ynag dan tempat khusus di suatu pulau. Namun, Taufik bersama pemain, perajin angklung, dan yang terlibat di Saung Udjo, seperti sudah menyatu. Angklung dan saung Udjo sudah menjadi bagian napas hidup, sudah mendarah daging. Betapa tidak, mereka telah menjalani kehidupan dengan Saung Udjo secara turun-temurun. Ada sekitar 450 jiwa yang terlibat berkiprah di Saung Udjo.

“Anak-anak yang memainkan pertunjukan angklung di sini, sejak dalam kandungan ibu mreka sudah ikut bermain, karena ibu-ibu mereka dulu pemain angklung sehingga mereka tak sulit menguasai kesenian angklung ini,” kata Taufik.
Saat ini, kata Taufik, di Saung Udjo digelar tak kurang dari 1500 pertunjukan per tahunnya. “Saya kelola semuanya dengan kecintaan jaditak terasa melelahkan,” kata Taufik Hidayat Udjo mengungkapkan kiatnya mengelola Saung Angklung Udjo ini.

Ditambahkannya, saat berada di mana pun ia selalu menyerap gagasan buat kemajuan kawasan wisata seni yang dikelolanya. Meski telah menjadi bos di kawasan wisata yang banyak menarik pengunjung turis domestik maupun mancanegara itu, ayah tiga anak ini tetap terjun langsung membenahi yang terasa kurang.

“Makanan kecil yang disajikan di (Saung Udjo) adalah makanan khas Jawa Barat. Ini sebagai upaya untuk memelihara alam dan memberdayakan lingkungan sekitar sini, sehingga warga tak hanya sekadar jadi penonton atau terganggu lalu-lalang mobil yang masuk dan keluar Saung,” kata pria yang hobi nonton pertunjukan seni dan berenang serta fitness ini.

Etalase seni
Keberadaan Saung Udjo di tangan Taufik banyak melahirkan inovasi dan kreasi. “Saya ingin tempat ini menjelma menjadi etalase seni Jawa Barat, jadi Taman Mini-nya lah serperti itu. Jadi bukan pertunjukan seni angklung saja, tetapijuga seni lain termasuk kerajinan di tatar Sunda yang sangat kaya ini,“ tuturnya.

Dari keadaan ini pula, Saung Udjo diusahakan tetap membuta pertunjukan yang menarik. Bagi Taufik, orang menyenangi angklung bukan sekadar seperti ungkapan “Tak kenal maka tak sayang”. Namun,ketika orang sudah mengenal angklung maka harus lebih mencintai angklung.

Cetusan pemikiran Taufik ini berawal dari sebuah peristiwa krisis moneter yang berujung huru-hara dan pergantian pemerintahan di Indonesia pada tahun 1998. Imbas peristiwa itu juga melanda dunia pariwisata di Indonesia. Tak terkecuali Saung Udjo yang banyak dikunjungi wisatawan mencanegara. Padahal saat itu, kunjungan turis asing sedang booming ke Saung Udjo.

Setelah peristiwa kejatuhan rezim Soeharto,Saung Udjo nyaris sepi pengunjung sampai dengan tahun 2000. “Ada sepuluh orang pun sudah dianggap bagus.” kata Taufik, yang kemudian mengolah talenta seni dan bisnisnya untuk membangkitkan kembali Saung Udjo terutama angklung. Maka sebagai anak muda, pilihan yang paling mudah lewat internet.

Namun, keberadaan internet saat itu, masih terbatas dengan berbagai laman jejaring sosial. Meski begitu, ia memanfaatkan yang ada. “Saya menjalin pertemanan dan chatting dengan berbagai kalangan, terutama remaja, bahwa saya seolah-olah seorang anak SMA yang baru berkunjung ke Saung Udjo”, tutur Taufik.

Kiprahnya yang terasa lucu tetapi menyedihkan ini, lambat laun membuahkan hasil. Satu dua orang anak  remaja berpakaian SMA mulai berdatangan. “Saya langsung mendekatinya,sehingga waktu itu, saya multiperan. Ya, sebagai pimpinan pengelola, ya sebagai PR (public relation). Sedangkan malamnya saya berperan sebagai remaja yang baru berkunjung ke sini,” katanya sambil tertawa.
Dengan keinginannya untuk lebih menyentuh kalangan muda, ia mulai mengadakankolaborasi dengan sejumlah artis yang digandrungi remaja waktu itu. Misalnya Titi DJ, dan paling “menghebohkan” ketika menggaet artis Sherina, yang saat itu sedang naik daun setelah filmnya “Petualangan Sherina”.

Lebih mengharukan lagi, pertunjukan di Sabuga yang dipenuhi penonton itu,kembali menghidupkan kesenian angklung di mata remaja. Bahkan Sherina menghadiahkan hasil penjualan tiket pertunjukannya untuk Saung Udjo.

Sebagai penerus keberadaan Saung Udjo, ada yang ingin diwujudkan Taufik Hidayat, yaitu membangun museum angklung. Inilah yang ingin diminta bantuan pda dinas terkait pemerintah. Dengan demikian, sebagai bentuk kesenian, angklung dapat ditelusuri awalnya. Mulaiangklung buhun sampai dengan bentuk angklung yang sekarang. Dalam museum itu, katanya, bukan hanya wujud alat seni angklung, tetapi juga ada video pertunjukan angklung serta pernak-pernik tentang angklung.

Taufik juga mengharapkan, akses jalan masuk dan tempat parkir, serta lahan penanaman bambu untuk bahan pembuatan angklung. Saat ini, ada sekitar seratus pembuat angklung yang dikerjakan secara home industry.

Selain itu, dalam hatinya ada kegundahan tersendiri pada lingkungan tempat wisata Saung Udjo. Ia berharap, jangan sampai hadir hotel berbintang di dekatnya. Sehingga akan merusak keasriannya. Sekarang “keberadaan” Saung Udjo dari  lahan yang awalnya kecil, kini telah berkembang seluas 1,2 ha. “Kalau orang lain membeli lahan hijau dibangun rumah,sebaliknya Saung Udjo membeli rumah jadi lahan hijau,” katanya.

Namun, ia mengungkapkan, ketersediaan air di sini tergantung di hulunya yang keadaanya semakin mengkhawatirkan. “Saung Udjo agak kesulitan air manakala kemarau, sedangkan musim hujan terkena banjir,” katanya.

Jika terjadi, sungguh sangat ironis. Bagaimanapun, sebagai pagar budaya, keberadaan Saung Udjo menjadi tempat wisata satu-satunya yang telah siap dengan segala infrastruktur dan pertunjukannya di Kota Bandung. (Ahmad Yusuf/”PR”)

Biodata Taufik Hidayat Udjo
Tempa, tanggal lahir
:
Bandung, 26 Februari 1966
Istri
:
Wiwin Setiawati
Anak
:
Muharam Rizky


Kamila Putri Hidayat


Karina Chainull Nisa
Pendidikan
:
STIE YPKP Bandung
Jabatan
:
Direktur PT Saung Angklung Udjo


Pementasan Anglung di berbagai negara di lima benua antara lain: Malaysia, Singapura, China, Belanda, Inggris, Jerman, Yugoslavia, Rusia, Ukraina, Uzbekistan, Aljazair, Afrika, dan Argentina

1 komentar:

  1. Harapan kita terus memberi inovasi yang baru, up to date dalam menyampaikan berita.

    BalasHapus