Rabu, 31 Desember 2008

Cigadung, Bukit Beracun Sianida

Coba ingat-ingat lagi, apakah yang dimakan itu keripik kentang ataukah keripik gadung? Bisakah membedakan dengan cepat, mana keripik kentang dan mana keripik gadung? Kadang sulit membedakannya, apalagi bila irisannya sama tipisnya.

Atau, bisa jadi keripik gadung yang kita makan itu berasal dari Desa Citangtu, Kecamatan Kuningan, Kabupaten Kuningan. Masyarakat di desa ini sudah membudidayakan gadung sebab peluangnya jauh lebih menguntungkan. Keripik gadung mempunyai pasar yang potensial seperti DI Jakarta dan Bandung. Setiap tahunnya, petani gadung dari Desa Citangtu mampu menjual keripik gadung siap saji sebanyak 100-150 ton per sekali panen. Dengan harga yang menjanjikan dan stabil, ternyata tidak kalah dengan harga padi, singkong, atau ubi jalar. 

Gadung (Dioscorea hispida DENNST) yang pernah bercitra sebagai bahan makanan orang miskin yang kelaparan, kini menjadi makanan ringan orang gedongan. 

Bagi orang tua yang pernah mengalami masa-masa sulit beras, makan gadung menjadi pilihan. Ketika sawah tak memberikan hasil karena gagal panen, rakyat pergi ke hutan. Bukan untuk membabat hutan atau untuk menjarah kayu, tetapi untuk mencari umbi gadung. Ketika hutan alam masih utuh, belum dijadikan hutan produksi dan kebun sayur seperti sekarang, hutan benar-benar menjadi sumber pangan masyarakat. 

Gadung sudah sangat dikenal di berbagai daerah dengan nama yang berbeda-beda. Di tatar Sunda dikenal dengan nama gadung, yang tumbuh liar di berbagai tempat. Begitu pun tumbuh subur di hutan alami di perbukitan sekeliling Bandung atau di lereng-lereng gunung yang melingkung Bandung.

Di tatar Sunda banyak tempat yang bernama Cigadung, begitu pun di utara Bandung. Kawasan yang asalnya berupa perbukitan dengan tumbuhan alami, di lantai hutan di perbukitan itu tumbuh gadung.

**

Gadung merupakan tanaman sejenis umbi-umbian dengan batangnya yang berduri, merambat, dan relatif tanpa gangguan, sebab babi hutan pun tak suka. Dalam satu batang gadung, umbinya bisa mencapai puluhan seukuran rantang yang agak pipih, sampai-sampai tanah di atasnya menggunung, bahkan pecah-pecah. 

Umbinya berwarna putih kekuningan dan daunnya berbulu halus. Saat kemarau, daun gadung meranggas, ini pertanda umbi gadung sudah siap untuk digali, untuk dipanen. 

Tidak seperti singkong, umbi gadung tidak dapat dikonsumsi atau dimasak secara langsung karena umbi gadung mengandung racun atau zat alkaloid yang disebut dioscorin (C13H19O2N). Racun ini bila dikonsumsi dengan kadarnya rendah, dapat menyebabkan pusing. Bila kandungan racunnya cukup banyak, bisa mengakibatkan mabuk gadung. 

Racun yang terkandung dalam umbi gadung itu harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dimakan. Racun dioscorin itu dapat dihilangkan dengan beberapa cara yang khusus, seperti yang dilakukan di daerah Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Cara ini dapat menghilangkan kadar racun dalam umbi gadung sehingga layak dikonsumsi. 

Langkah-langkah itu adalah sebagai berikut: umbi gadung diiris dengan pisau yang tajam dan tipis, lalu dilumuri dengan abu sambil sedikit diremas-remas hingga lunak, dan dijemur di terik matahari sampai kering. Kemudian irisan gadung itu dicuci di air mengalir. Masukkan irisan gadung yang telah dicuci ke keranjang dan direndam dalam air mengalir selama 3-4 hari. Setiap hari irisan itu diaduk-aduk. Setelah 3-4 hari, cuci sampai bersih, lalu cuci lagi dengan air garam. Angkat dan tiriskan. 

Untuk mendapatkan kepastian bahwa umbi gadung sudah tidak beracun, biasa diberikan dahulu pada ternak. Apabila ternak yang memakan umbi gadung tersebut tidak menunjukkan gejala apa-apa, berarti umbi gadung tersebut sudah tidak mengandung racun. Namun sebaliknya, apabila ternak yang memakannya menunjukkan gejala pusing-pusing, berarti umbi gadung masih mengandung racun. 

Proses perendaman umbi gadung dalam air harus diulang sehingga racunnya benar-benar hilang. Melalui perendaman ini, selain melarutkan senyawa linamarin dan lotaustralin, juga dapat memacu pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menguraikan racun gadung menjadi asam organik. 

Bila dinilai sudah aman, masyarakat yang sudah menanti ingin segera mengonsumsinya, gadung yang telah ditiriskan itu langsung dikukus. Setelah matang, kukusan irisan gadung ditaburi dengan parutan kelapa. Wah, sedap sekali. Atau, irisan gadung yang telah ditiriskan tadi kemudian dijemur di bawah terik matahari sampai kering. 

Gadung sudah teruji dapat memenuhi kebutuhan energi tubuh dan enak bila kandungan racunnya sudah dinetralkan. Asam sianida atau asam biru baru timbul saat jaringan umbi gadung dikupas atau diiris. Bila jaringan rusak, dua senyawa prekursor, yaitu linamarin dan lotaustralin, akan kontak dengan enzim linamarase dan oksigen udara hingga menjadi glukosa dan sianohidrin. 

Sianohidrin, pada suhu kamar dan kondisi basa (pH di atas 6,8), akan terpecah membentuk racun sianida (HCN) dan aseton. Namun, senyawa linamarin dan lotaustralin sangat mudah larut dalam air dan tidak tahan panas sehingga mudah dihilangkan. Oleh karena itu, proses menghilangkan racun yang dilakukan masyarakat sudah tepat. Dengan cara itu, residu HCN yang mematikan itu tinggal 1-10 mg per kg gadung. Residu itu dapat dihilangkan dengan proses pemanasan yang cukup saat gadung dimasak atau digoreng. Gadung pun aman dikonsumsi.

Terjadinya keracunan saat mengonsumsi gadung karena tidak diproses dengan baik. Beberapa pengalaman menunjukkan, dapat dicegah dengan makanan berkadar asam amino esensial dan iodin tinggi, seperti ikan asin atau sumber protein lain, dan sayuran.

**

Sudah lama umbi yang mengandung racun sianida ini berkhasiat dan dapat digunakan dalam pengobatan, seperti banyak diuraikan dalam buku K. Heyne (1927). Ini merupakan tantangan para ahli obat untuk memublikasikan hasil-hasil penelitiannya, agar masyarakat secara mandiri dapat mengobati dirinya sendiri. Kita tidak peduli terhadap potensi yang dimiliki bangsa ini. Namun begitu dipatenkan orang lain, baru kita ngeh. Baru kita kebakaran jenggot, lalu diam lagi.

Beberapa contoh penyakit yang oleh masyarakat dapat diobati dengan gadung adalah: penyakit kusta (lepra), kencing manis, nyeri empedu, keputihan, mulas, nyeri haid, radang kandung empedu, rematik, bahkan kapalan (obat luar). Akarnya pun berkhasiat sebagai obat rematik, kencing nanah, dan disentri.

Gadung yang selama ini identik dengan makanan warga miskin, ternyata telah naik daun menjadi makanan cemilan orang gedongan. Gengsinya pun akan semakin naik lagi bila gadung dapat diolah menjadi obat-obatan, yang selama ini terabaikan. (T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar