ASAP hitam dari ban yang terbakar mengepul saat seorang mahasiswa berorasi pada aksi menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) di depan Gedung Sate Jln. Diponegoro Kota Bandung, Rabu (24/12). Disahkannya UU BHP oleh DPR memicu aksi penolakan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia.* ADE BAYU INDRA/"PR"
Sepanjang tahun 2008, dunia pendidikan di Indonesia tidak ditandai perubahan berarti, sehingga membuat wajah pendidikan tetap menyedihkan. Persoalan-persoalan yang sejak lama muncul mewarnai wajah pendidikan negeri ini, belum menunjukkan penyelesaian ke arah yang lebih baik.
Demikian disampaikan mantan Ketua Komite Aksi Mahasiswa Unpad (KAMU) Oky Syeiful Harahap di depan peserta "Malam Renungan Pendidikan 2008" yang diselenggarakan Forum Aktivis Bandung (FAB) di Sekretariat FAB, Senin (29/12).
Disebutkan Oky, tahun 2008 ditandai dengan dua fenomena penting di dunia pendidikan. Pertama, keputusan konstitusi mengenai keharusan pemerintah mengalokasikan anggaran sedikitnya 20 persen untuk bidang pendidikan. "Keputusan tersebut seolah-olah berpihak pada dunia pendidikan, padahal nyatanya tidak sama sekali," ujarnya.
Kemudian, fenomena kedua yang cukup krusial terjadi tahun ini ialah saat DPR mengesahkan Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi Undang-undang di tengah kontroversi dan penolakan yang masih ramai. "Sudah sejak lama pemerintah senang membuat peraturan baru hingga jumlahnya bertumpuk. Akan tetapi, tidak satu pun yang diterapkan dengan baik," ujarnya.
Ia mencontohkan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) , hingga kini tujuannya sama sekali tidak jelas. Untuk itu, pengesahan UU BHP ini semestinya dijadikan momentum untuk bergerak menuntut adanya perubahan demi pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi," tutur Oky.
Tidak responsif
Pakar hukum dari Universitas Pasundan Bandung Anthon Freddy Susanto menyatakan, banyaknya penolakan yang muncul pascapengesahan UU BHP menunjukkan aturan tersebut sama sekali tidak responsif karena sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
"Lama-lama aturan tersebut akan makin represif dan ujung-ujungnya akan berakibat pada tindak kekerasan yang menimpa lembaga pendidikan. Kalau sudah demikian, kembali masyarakat yang akan dirugikan," kata Anthon. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pun akan makin tergerus kapitalisme pendidikan.
Menurut Anthon, pendidikan di Indonesia semestinya jangan terlalu terpaku pada kebijakan regulasi. Sebab, Indonesia sudah dibanjiri produk hukum di bidang pendidikan yang masih rapuh dan miskin implementasi. Sementara semakin banyaknya undang-undang seolah memperlihatkan nilai moral yang terkandung di masyarakat selama ini tidak baik.
Semestinya Indonesia berkaca pada Jepang, Korea, dan Cina. Di ketiga negara tersebut, sistem pendidikan yang disusun pemerintah dapat berjalan seiring dengan pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan kearifan lokal yang ada.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi D DPRD Kota Bandung Arif Ramdani mengurai empat hal yang merupakan permasalahan di Kota Bandung. Keempat permasalah tersebut berada di kebijakan, fungsi DPRD, kebijakan di tingkat Dinas Pendidikan, dan juga satuan tingkat pendidikan.
Permasalahan kebijakan ditandai dengan banyaknya peraturan yang tidak sinkron antara satu dengan yang lain. Kemudian, permasalahan pada fungsi DPRD terlihat saat penentuan besaran anggaran untuk pendidikan. "Selama ini yang memiliki wewenang membahas untuk kemudian menentukan besaran anggaran ialah panitia anggaran. Semestinya komisi terkait perlu pula dilibatkan, karena mereka yang tahu permasalahan di dunia pendidikan untuk kemudian menentukan besaran anggaran yang dibutuhkan hingga akhirnya memudahkan dalam hal menjalankan fungsi pengawasan," kata Arif. (A-184)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar