Sabtu, 20 Desember 2008

Daeng Soetigna dan Modernisasi Angklung

Tak Lagi Diremehkan Sebagai Alat Musik yang Hanya Dipakai "Baramaen"

Dalam konteks mengangkat musik rakyat untuk dinikmati dunia inilah, Daeng Soetigna, sebagaimana digambarkan Prof. Drs. A.D. Pirous, berhasil mengkreasi angklung menjadi alat musik yang "baru" di tatar Sunda. "Baru" dalam konteks ini adalah menjadi lain bunyinya, sedangkan wujudnya sama. Tak ada yang berubah, kecuali tangga nadanya.

ADA dua tokoh penting dalam sejarah dan perkembangan seni angklung modern di Jawa Barat, yakni Daeng Soetigna dan Udjo Ngalagena. Daeng mengembangkan kreasinya dengan berbasis pada tangga nada do-re-mi-fa-so-la-si-do yang berasal dari Barat. Sementara Udjo bermain pada tangga nada da-mi-na-ti-la-da, yang secara keilmuan baru dirumuskan almarhum Machyar pada awal abad ke-20.

Dua tokoh budaya itu memang tercatat dalam sejarah seni musik, khususnya yang berbasis bambu. Mereka pulalah yang mengharumkan negeri ini ke mancanegara. Namun, sosok Daeng Soetigna-lah yang telah berhasil "membumikan" idiomatik musik Barat di Timur lewat waditra angklung yang hasil dikreasinya kemudian dikenal dengan angklung padaeng. 

Dalam jurnal Rekacipta Volume 2 No. 1 Tahun 2006, Hari Nugraha, Yasraf Amir Piliang, dan Duddy W. mencatat bahwa awal keberadaan angklung tidak terlepas dari keberadaan seni karawitan di dalam masyarakat Sunda. Hipotesis awal dapat dipastikan bahwa angklung telah ada sebelum kerajaan Sunda berdiri, sekitar tahun 952 Saka atau 1.030 Masehi, berdasarkan pada prasasti yang ditemukan di Cibadak, Kab. Sukabumi. Saat itu, angklung hanya digunakan untuk ritus, terutama upacara jelang musim tanam padi.

Pakar karawitan Sunda, Nano S. mengatakan, tangga nada angklung Sunda pada saat itu belum selengkap sekarang, sebagaimana yang dikembangkan Udjo Ngalagena. "Orang yang berhasil mengembangkan tangga nada da-mi-na-ti-la-da dalam karawitan Sunda, yang mengubahnya ilmu titi-laras itu adalah almarhum Machyar. Jadi, Pak Udjo pernah belajar kepada Pak Machyar soal ilmu titi-laras," katanya.

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui berbagai eksperimen, Daeng berhasil membuat angklung baru dengan tangga nada milik orang barat. Muncullah angklung padaeng yang kemudian disebut sebagai angklung modern.

Pada waktu itu bukan hanya Daeng yang berupaya mengembangkan angklung. Ada juga orang Belanda, yakni J.C. Deagan, guru musik Daeng. Namun, yang berhasil justru Daeng Soetigna karena fungsi angklung yang dikembangkannya bertujuan fungsional untuk mendapatkan suara dan nada diatonik-kromatik. 

Lebih lanjut, Hari Nugraha dkk. menyebutkan, untuk mencapai standar nada diatonik-kromatik (12 nada), angklung Daeng Soetigna tidak berpatokan pada jumah angklung yang digunakan pada angklung buhun dan subetnik. Perubahan susunan angklung padaeng dengan tujuan pendidikan itu dikelompokkan menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya terdiri atas 11-13 angklung. Instrumen bambu itu disusun dari yang berukuran besar dengan suara nada rendah sampai angklung berukuran kecil dengan suara nada tinggi.

Komposer Dwiki Dharmawan, generasi musikus sesudah Daeng, berkata, "Saya selalu mengagumi seseorang yang inovatif, yang mengembangkan sesuatu, apalagi menjadi berskala internasional. Angklung merupakan bagian kesenian yang berkesinambungan antara seni tradisi dan kreasi yang terus berproses. Bagi saya, Pak Daeng adalah pahlawan kesenian yang telah merintis dunia yang dicintainya, dunia pendidikan, dan dunia angklung."

**

Secara fisik, wujud angklung Daeng adalah tradisional. Namun, secara bunyi bisa disebut modern. Angklung yang dikreasi Daeng tidak mungkin didapatkan dalam upacara-upacara tradisional, baik di pedalaman Baduy maupun pada acara-acara upacara adat lainnya di tatar Sunda. 

Bahkan, angklung yang dipakai untuk upacara adat pun bukanlah angklung yang bertangga nada da-mi-na-ti-la-da, melainkan hanya beberapa tangga nada yang dibunyikan secara monoton. "Jadi, kesan magis dan mistisnya terasa," kata musikolog dari Barat, Jaap Kunst.

Karena angklung pada masa awalnya kerap digunakan untuk upacara-upacara ritus menanam dan memetik padi di tatar Sunda, tak aneh bila waditra angklung merupakan alat musik tradisional masyarakat Sunda yang hanya tumbuh di kalangan bawah, bukan kalangan menak, seperti musik kecapi untuk tembang cianjuran. 

Dalam konteks mengangkat musik rakyat untuk dinikmati dunia inilah, Daeng Soetigna, sebagaimana digambarkan oleh Prof. Drs. A.D. Pirous, berhasil mengkreasi angklung menjadi alat musik yang "baru" di tatar Sunda. "Baru" dalam konteks ini adalah menjadi lain bunyinya, sedangkan wujudnya sama. Tak ada yang berubah, kecuali tangga nadanya.

**

Ketertarikan Daeng terhadap angklung sebagaimana dikatakan Erna Ganarsih, salah seorang anak Daeng Soetigna, berawal dari dua orang pengemis yang memainkan angklung di hadapannya. Ketika itu, Daeng jatuh cinta terhadap alat musik tersebut. Lalu, Daeng berpikir keras untuk membuat angklung yang lain, yang bisa dipakai sebagai alat pendidikan seni musik. 

Selain sebagai guru kesenian, Daeng juga mengajar kepanduan, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan pramuka. Ide membuat angklung yang lain itu, ia peroleh saat bertugas di Kab. Kuningan.

"Setelah membeli angklung dari pengemis, Pak Daeng berpikir keras untuk membuat angklung. Ia lalu mendatangi seorang tua yang mahir bikin angklung untuk belajar membuat angklung. Pak Djadja namanya. Pak Djaja bilang apakah dengan belajar membuat angklung, Pak Daeng akan alih profesi jadi pengemis?" kata Erna Ganarsih yang dipersunting A.D. Pirous.

Setelah pandai membuat angklung dengan bambu pilihan yang liat dan kering, Daeng kemudian berpikir keras untuk memakai tangga nada do-re-mi-fa-so-la-si-do. Berbagai eksperimen pun dilakukan. Hasilnya cukup memuaskan. 

Daeng pun memakai angklung hasil ciptaannya itu di kalangan anak-anak didiknya, yakni di kepanduan. "Saat itu, Pak Daeng diprotes banyak orang juga karena mengajarkan seni angklung dianggap mengajar jadi pengemis!" ujar Erna.

Akan tetapi, sejarah bicara lain. Apa yang diperjuangkan Daeng dalam perkembangan kreasi angklungnya membuat Presiden Soekarno terkagum-kagum. Itu terjadi pada 12 November 1946 saat Presiden Soekarno mengadakan jamuan makan malam untuk para diplomat asing di Kab. Kuningan. 

Pada malam perjamuan itu, acara hiburan yang digelar adalah pertunjukan musik angklung karya Daeng Soetigna dan anak didiknya. Pertunjukan itu sukses. Lagu-lagu Barat ternyata bisa dimainkan melalui instrumen angklung diatonik-kromatis.

Sejak itulah angklung diatonik-kromatis yang dikreasi lelaki kelahiran Garut 13 Mei 1908 terangkat pamornya. Angklung tidak lagi diremehkan sebagai alat musik yang hanya dipakai baramaen (pengemis). Angklung yang dikreasi Daeng menjadi sebuah instrumen musik baru dalam perbendaharaan musik dunia. 

Persoalannya kini, seberapa bangga orang Sunda terhadap seni angklung? Setelah diklaim oleh Malaysia bahwa seni angklung adalah produk negeri jiran itu, bagaimana sikap kita, urang Sunda, mempertahankan dan mengembangkannya? (Soni Farid Maulana/"PR")***

1 komentar:

  1. Saya mangga dan merinding bila membaca tentang angklung padaeng, teringat ketika sedang main angklung di Istana, di Gubernuran pada tahun 70-an bersama Tim Kesenian Guriang.

    Alhamdullihan ternyata masih ada kegiatan dan suara angklung itu. Saya tidak bisa hadir mendengarkan langsung pd acara Konser Angklung pa daeng, Desember 2008 kemarin.

    Nampaknya masih ada Kang Obby conductor kawakan, Kang Madi murid padaeng yg mendapatkan ilmu membuat angklung, kamarana yang lain, Kang Eddy NU, kumaha sehat? Yayo, Maman Betot waahh banyaklah Kapan Re-Uni lagi.

    Terima kasih yang menyampaikan i nformasi tentang angklung melalui Blog ini, mudah-an tetap terus dibaca diketahui oleh generasi muda.

    BalasHapus