Oleh Cornelius Helmy
Dede Rukmiarna (48), perajin wayang golek asal Jelekong, Baleendah, Kabupaten Bandung, Jumat (19/12), asyik mewarnai mahkota karakter Bima. Paduan warna mewah, kuning, hijau, dan merah dianggap cocok bagi karakter paling kuat Pandawa Lima itu. Namun, kemewahan tersebut hanya milik golek buatannya. Bagi perajinnya, kemewahan merupakan hal langka.
"Wayang golek buatan saya banyak dibeli pencinta seni luar negeri, seperti Inggris. Minimnya hubungan tetap dengan pembeli luar negeri membuat penjualan tidak bisa dilakukan terus-menerus," katanya.
Potret buram perajin juga mulai dirasakan pelaku seni pertunjukan wayang golek. Menurut koordinator lapangan grup wayang golek Putra Giri Harja III, Hendri Chandra (35), selain pada Idul Fitri dan Idul Adha, wayang golek jarang ditampilkan. Harga belasan juta hingga ratusan juta rupiah untuk sekali pertunjukan dianggap terlalu mahal. Masyarakat cenderung beralih pada pertunjukan organ tunggal atau jaipongan yang lebih murah.
"Biaya besar itu memang harus dikeluarkan untuk banyak hal, di antaranya upah bagi minimal 40 personel beserta infrastruktur pertunjukan, seperti listrik dan dekorasi panggung," katanya.
Hal itu sangat disayangkan karena sebenarnya masyarakat masih meminatinya. Hal itu terbukti ketika grup pedalangannya pentas. Sekitar 1.000 orang pasti menyaksikan. Pementasan terbesar biasanya diadakan di Sukabumi, Subang, dan Kuningan.
Selain itu, peminat wayang golek juga banyak berasal dari luar negeri. Mahasiswa Perancis, Amerika Serikat, hingga Vietnam sengaja datang untuk belajar wayang golek ke Padepokan Giri Harja III di Jelekong. Pesanan wayang golek sebagai cendera mata juga masih berjalan, seperti dari Jepang dan Inggris.
"Kalau saat ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat gencar memperkenalkan industri kreatif. Saya kira wayang golek seharusnya menjadi bagiannya. Wayang golek adalah warisan budaya yang mempunyai potensi terus berkembang, terutama secara ekonomi," ungkapnya.
Sumber daya baru
Dalang Dadan Sunandar Sunarya, pemimpin grup wayang golek Putra Giri Harja III, melihat, sebagai karya seni, wayang golek seharusnya tidak sekadar menjadi warisan tradisional. Wayang golek pun menyimpan potensi ekonomi besar. Dengan kata lain, wayang golek bisa ditempatkan sebagai sumber daya baru yang harus diolah agar mendatangkan kesejahteraan bagi warga bangsa. Salah satunya ialah aktivitas pembuatan wayang golek yang dilakukan banyak penduduk di sekitar Jelekong.
Karena itu, menjadi tugas perajin dan dalang mencari jalan membuat wayang golek semakin diminati. Perajin bisa melakukannya dengan membuat desain wayang lebih menarik, seperti melalui keberagaman mimik muka dan inovasi kostum. Dalang juga bisa melakukan inovasi dengan pembaruan metode pertunjukan, di antaranya penyajian cerita, penggunaan bahasa, dan pemilihan tema. Semua diharapkan lebih dekat dengan kehidupan masyarakat.
"Semuanya bisa dilakukan tanpa melupakan tiga pakem, estetika, etika, dan logika," katanya.
Dalang kontemporer, Umar Darusman Sunandar, mengatakan, kesenian tradisional dianggap kuno dan membosankan oleh generasi muda. Mereka cenderung akrab dengan kebudayaan baru yang lebih mudah diterima, seperti organ tunggal. Oleh karena itu, dalang diharapkan menyesuaikan diri dengan selera penonton, misalnya melalui penyajian humor segar.
"Mungkin menurut dalang senior, banyolan yang saya bawakan dalam pertunjukan keluar pakem. Namun, saya rasa sah bila tujuan dan esensinya membangun masyarakat," katanya. Wayang golek efektif sebagai sarana penyampaian pesan kepada masyarakat. Pemerintah bisa menggunakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar