Sabtu, 06 Desember 2008

Kebijakan RI soal Biodiesel Dipuji Internasional


Kompas/Hendra A Setyawan
Biodiesel menjadi energi alternatif yang terus dikembangkan, seperti dilakukan akademisi dari jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Malang, Jawa Timur, Jumat (4/4), dengan membangun laboratorium produksi biodiesel berkapasitas 3 ton per har
i.

NUSA DUA, SABTU — Dunia internasional memuji kebijakan pemerintah Indonesia mewajibkan pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar fosil secara efektif mulai 1 Januari 2009. Langkah bijaksana ini patut didukung dengan memberikan subsidi agar pengembangan industri bahan bakar terbarukan tidak menjadi retorika belaka.


Hal ini disampaikan para analis pasar minyak nabati internasional dalam "Indonesian Palm Oil Conference and Market Outlook 2009" di Nusa Dua, Bali, Kamis (4/12) malam.

Pada hari pertama konferensi, Rabu (3/12), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi, dan Deputi Bidang Pertanian dan Kelautan Menko Bidang Perekonomian Bayu Krisnamurthi menegaskan keseriusan pemerintah mengimplementasikan wajib pakai biodiesel kepada industri, pembangkit listrik, dan transportasi.

Pada tahap awal kebijakan ini bisa menyerap sedikitnya 1 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan naik menjadi 2,5 juta ton setahun kemudian. Kebijakan wajib campur BBN tersebut bakal mengurangi stok CPO domestik dengan signifikan.

Menurut analis Godrej International yang berbasis di London, Dorab E Mistry, Pemerintah Indonesia sudah menempuh langkah yang tepat dengan kebijakan wajib pakai BBN. Namun, bahan bakar nabati tetap membutuhkan subsidi sementara ini agar tidak kalah bersaing dengan harga bahan bakar fosil yang tengah murah.  

Keputusan pemerintah Indonesia mewajibkan pemakaian biodiesel merupakan langkah terbaik untuk membantu industri CPO. "Tetapi, kebijakan ini tetap saja membutuhkan subsidi dari pemerintah agar aturan yang sudah dibuat tidak sekadar menjadi seperti bualan belaka," kata Dorab.

Pujian serupa juga disampaikan analis LMC yang berbasis di Oxford, Inggris, James Fry. Menurutnya, Eropa dan Amerika Serikat memulai konsumsi biodiesel dengan subsidi.

Jerman memberikan insentif pajak bagi produsen biodiesel dan konsumennya. Namun, Pemerintah Federal Jerman memberikan target pencampuran yang jika tak dipenuhi akan diberi penalti. Adapun Amerika Serikat memberikan insentif pajak sampai 20 persen bagi industri yang memilih memakai biodiesel daripada bahan bakar fosil.

Pemberian subsidi memang tidak bisa serta-merta mencontoh negara maju. Indonesia harus menentukan sendiri insentif yang layak diberikan untuk mendorong pertumbuhan pasar biodiesel domestik dengan baik.  

"Mengembangkan biodiesel memang tidak bisa instan. Tetap harus ada peran pemerintah dalam mendorong konsumsi di pasar (dengan subsidi)," ujar Fry.

Pengembangan pasar biodiesel untuk kedaulatan energi nasional memang membutuhkan peranan serius pemerintah. Kalangan industri kini menanti strategi pemerintah selanjutnya untuk mendorong pertumbuhan pasar biodiesel lebih cepat.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaluddin Hasibuan mengatakan, pemerintah harus konsisten mengembangkan pasar biodiesel jangka panjang. Tanpa strategi jangka panjang dengan target waktu yang jelas, dikhawatirkan kebijakan wajib pakai biodiesel tidak efektif.

Indonesia diprediksi memproduksi 18,5 juta sampai 18,8 juta ton CPO tahun 2008 dan hanya 5 juta ton diserap untuk pasar domestik. Dari 13 juta ton yang diekspor, sebanyak 48 persen berbentuk CPO dan 52 persen berbentuk produk olahan seperti minyak goreng dan oleokimia. CPO merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia yang pada tahun 2008 diperkirakan bernilai 9,1 miliar dollar AS.

 
HAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar