Ary Wibowo | Heru Margianto | Jumat, 16 September 2011 | 09:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengapresiasi tindakan Pengadilan Deen Haag, Belanda, atas putusannya memenangkan gugatan janda korban Pembantaian Rawa Gede, 1974 dan mengakui negaranya bersalah dalam peristiwa tersebut.
Koordinator Kontras Haris Azhar menilai, putusan itu merupakan bentuk penegakan hukum independen dan berintegritas yang harus dijadikan inspirasi bagi penegakan hukum di Indonesia.
"Seharusnya hal ini bisa memberikan inspirasi bagi akuntabilitas dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Indonesia, terutama yang terjadi di masa lalu," ujar Haris dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, di Jakarta, Jumat (16/9/2011).
Gugatan hukum ini diajukan 11 janda korban brutalitas tentara Belanda pada 9 Desember 1947, dua tahun paska-kemerdekaan Indonesia. Gugatan dilakukan sejak 2008 di Pengadilan Belanda di Den Haag. Pada 14 September 2011 Pengadilan memutuskan, Pemerintah Belanda dinyatakan bersalah dan harus membayar kompensasi kepada para keluarga korban peristiwa itu.
Menurut Haris, keputusan tersebut memberikan sejumlah pembelajaran penting bagi Indonesia. Pengadilan Belanda telah mempertimbangkan fakta pelanggaran HAM meskipun terjadi di masa lalu yang dilakukan oleh pasukan Belanda kepada populasi sipil Indonesia di Rawagede.
Selain itu, pengadilan Belanda, kata Haris, menunjukkan keberpihakkannya kepada penghormatan HAM dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM dengan menolak penerapan statute of limitation atau kejadian yang telah kedaluarsa yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu.
"Dengan kata lain pengadilan Belanda telah mengakui bahwa sebuah pelanggaran HAM yang berat tidak mengenal kedaluarsa selama keadilan, terutama untuk korban, belum terpenuhi," jelas Haris.
Ditambahkan, pengadilan Belanda juga telah menunjukan independensinya dengan bergeming atas bantuan Pemerintah Belanda kepada masyarakat Rawagede sebelum putusan ini dikeluarkan dan mengajukan permintaan maaf berkali-kali.
Hal ini, menurut Haris, tidak menjadi pertimbangan untuk meniadakan tanggung jawab hukum pemerintah Belanda atas para korban. "Putusan itu juga menegaskan konteks tanggung jawab otoritas negara atas praktik pelanggaran HAM di masa lalu. Dan, Belanda juga memberikan pengakuan hukum atas sejarah kelam praktik buruk di masa paska-kemerdekaan Indonesia, lebih dari 60 tahun yang lalu. Ini yang harus dijadikan inspirasi penegakan hukum di negeri kita," kata Haris.
Pembantaian di Rawagede menginspirasi sajak Chairil Anwar, "Karawang-Bekasi". Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki Desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai kapten Kustario.
Perkiraan jumlah korban tewas dalam pembantaian tersebut bervariasi, mulai dari 150 orang hingga lebih dari 430 orang. Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejerkan dan ditembak mati.
Radio Nederland
Pemakaman korban Rawagede, Karawang, Jawa Barat.
Pemakaman korban Rawagede, Karawang, Jawa Barat.
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengapresiasi tindakan Pengadilan Deen Haag, Belanda, atas putusannya memenangkan gugatan janda korban Pembantaian Rawa Gede, 1974 dan mengakui negaranya bersalah dalam peristiwa tersebut.
Koordinator Kontras Haris Azhar menilai, putusan itu merupakan bentuk penegakan hukum independen dan berintegritas yang harus dijadikan inspirasi bagi penegakan hukum di Indonesia.
"Seharusnya hal ini bisa memberikan inspirasi bagi akuntabilitas dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Indonesia, terutama yang terjadi di masa lalu," ujar Haris dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, di Jakarta, Jumat (16/9/2011).
Gugatan hukum ini diajukan 11 janda korban brutalitas tentara Belanda pada 9 Desember 1947, dua tahun paska-kemerdekaan Indonesia. Gugatan dilakukan sejak 2008 di Pengadilan Belanda di Den Haag. Pada 14 September 2011 Pengadilan memutuskan, Pemerintah Belanda dinyatakan bersalah dan harus membayar kompensasi kepada para keluarga korban peristiwa itu.
Menurut Haris, keputusan tersebut memberikan sejumlah pembelajaran penting bagi Indonesia. Pengadilan Belanda telah mempertimbangkan fakta pelanggaran HAM meskipun terjadi di masa lalu yang dilakukan oleh pasukan Belanda kepada populasi sipil Indonesia di Rawagede.
Selain itu, pengadilan Belanda, kata Haris, menunjukkan keberpihakkannya kepada penghormatan HAM dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM dengan menolak penerapan statute of limitation atau kejadian yang telah kedaluarsa yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu.
"Dengan kata lain pengadilan Belanda telah mengakui bahwa sebuah pelanggaran HAM yang berat tidak mengenal kedaluarsa selama keadilan, terutama untuk korban, belum terpenuhi," jelas Haris.
Ditambahkan, pengadilan Belanda juga telah menunjukan independensinya dengan bergeming atas bantuan Pemerintah Belanda kepada masyarakat Rawagede sebelum putusan ini dikeluarkan dan mengajukan permintaan maaf berkali-kali.
Hal ini, menurut Haris, tidak menjadi pertimbangan untuk meniadakan tanggung jawab hukum pemerintah Belanda atas para korban. "Putusan itu juga menegaskan konteks tanggung jawab otoritas negara atas praktik pelanggaran HAM di masa lalu. Dan, Belanda juga memberikan pengakuan hukum atas sejarah kelam praktik buruk di masa paska-kemerdekaan Indonesia, lebih dari 60 tahun yang lalu. Ini yang harus dijadikan inspirasi penegakan hukum di negeri kita," kata Haris.
Pembantaian di Rawagede menginspirasi sajak Chairil Anwar, "Karawang-Bekasi". Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki Desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai kapten Kustario.
Perkiraan jumlah korban tewas dalam pembantaian tersebut bervariasi, mulai dari 150 orang hingga lebih dari 430 orang. Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejerkan dan ditembak mati.