| Heru Margianto | Sabtu, 7 Januari 2012 | 09:32 WIB
SRI REJEKI
KOMPAS.com - Sebenarnya Sukiyat tidak pernah bermimpi untuk membuat mobil. Pada awalnya dia hanya ingin membantu para siswa Jurusan Otomotif Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Dia ingin siswa di sekolah itu bisa melakukan praktik membuat bodi mobil. Apalagi, di sekolah itu, dia menjadi ketua komitenya.
Sukiyat kemudian menyumbangkan bodi mobil Toyota Kijang untuk dibongkar dan dipelajari bagian-bagian bodi dan mesinnya kepada sekolah. Sebelumnya, ia juga mengajari siswa dengan menggunakan mobil Toyota Crown yang lantas dibongkar, kemudian disisakan bagian kisi-kisi, lantai, dan rangkanya saja.
Siswa lantas diajari cara membuat badan mobil secara manual, yakni membentuk pelat eser dengan teknik ketok (kenteng). Mesinnya menggunakan yang sudah jadi karena saat itu target Sukiyat adalah mengajari siswa membuat badan mobil.
Uniknya, meski aslinya mobil itu sedan, dia mengarahkan siswa untuk membuat bodi Toyota Land Cruiser. Sedan itu pun berubah menjadi mobil sport utility vehicle (SUV).
”Saya sendiri terheran-heran, kok bisa ya? Dari sinilah saya lalu terpikir, mengapa tidak sekalian saja mereka membuat mobil,” ceritanya.
Maka, dalam suatu acara di Bayat, Klaten, ia dipertemukan dengan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Joko Sutrisno yang tertarik dengan kemampuan Sukiyat. Bengkel Kiat Motor miliknya lantas menjadi mitra perusahaan dalam program perakitan mobil oleh siswa SMK, yang telah dimulai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun sebelumnya.
SMK-SMK pun mengirimkan siswa mereka ke Kiat Motor di Ceper, Klaten, untuk belajar membuat bodi mobil, termasuk bagian interior dan eksterior mobil, serta rangkanya.
”Para siswa itu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Banyak siswa yang setelah lulus suka main ke tempat kami. Mereka bercerita sudah mendapat pekerjaan dengan gaji baik,” kata Sukiyat.
Saat merintis pembuatan prototipe mobil SUV yang kini dinamai Kiat Esemka, Sukiyat terlebih dahulu mengajari siswa membuat miniatur menyerupai badan Toyota Hardtop. Setelah berhasil, siswa lantas didampinginya membuat bodi mobil prototipe yang belakangan dinamakan Kiat Esemka.
Untuk desain bodi mobil, Sukiyat terinspirasi bentuk Toyota Land Cruiser Prado dan Ford Everest. Adapun mesin mobilnya menggunakan hasil rakitan siswa, yang komponennya sebagian besar juga dibuat siswa bersama mitra industri.
”Untuk bodi, interior dan eksterior dibikin manual oleh siswa dalam waktu 2-3 bulan. Kalau sudah ada mesin dies, sehari saja bisa jadi ratusan bodi, tetapi harga dies sangat mahal,” katanya.
Dari sepeda ”onthel”
Sukiyat merintis bengkelnya tahun 1977, dengan bantuan Yayasan Dharmais sebesar Rp 75.000. Awalnya, bengkel yang dia buka di kampung halamannya, Kradenan, Trucuk, Klaten, ini hanya melayani perbaikan sepeda motor dan sepeda onthel (kayuh).
Lama-kelamaan bengkel itu berkembang sampai menempati lahan seluas 4.500 meter persegi. Tahun 2004 Sukiyat membangun bengkel di Jalan Solo-Yogya, tepatnya di Ngaran, Mlese, Ceper, Klaten, dengan luas lahan 2.500 meter persegi. Kedua bengkel tersebut kini dikelola anak pertamanya, Ida Hartono.
Tahun 2012 Sukiyat berencana mendirikan bengkel baru di kawasan Manahan, Solo. Bengkel ini akan dipadukannya dengan pusat pelatihan bagi penyandang cacat, yakni Difabel Training Center, lengkap dengan asrama. Di kompleks dengan lahan seluas 8.500 meter persegi ini juga akan didirikan pompa bensin dan restoran cepat saji.
”Keinginan saya adalah mencetak tenaga andal di bidang otomotif dan body repair dari para penyandang cacat. Ini agar mereka tak perlu turun ke jalan menjual kecacatannya. Dana pendidikan mereka akan dicarikan pemerintah daerah dan pusat,” kata Sukiyat yang sejak berusia enam tahun menderita polio.
Ia bercerita, saat kecil ia sempat merasa minder. Bahkan, Sukiyat nekat tak menamatkan pendidikan di sekolah teknik menengah karena tak tahan dengan ejekan teman-temannya.
Ia lalu belajar menjahit di Rehabilitasi Centrum Prof Dr Soeharso, Solo, selama enam bulan. Keterampilan ini mengantarkan dia ke Jakarta untuk bekerja pada usaha konfeksi dan percetakan yang dimiliki Yayasan Harapan Kita. ”Saya bekerja di bagian obras dan setting huruf,” ujarnya.
Kembali ke Solo
Namun, orangtuanya meminta Sukiyat kembali ke kampung halamannya. Akan tetapi, dia memilih tinggal di Solo dan bekerja di sebuah bengkel. Baru empat bulan bekerja, bengkel tersebut bangkrut. Dia lantas bekerja di bengkel lain yang didirikan mantan kepala bengkelnya.
Di sini dia memperoleh kemampuan di bidang otomotif. Keterampilan Sukiyat semakin terasah saat berkesempatan mengikuti pelatihan otomotif ke Jepang dan Jerman yang dibiayai Departemen Sosial. Dalam mengembangkan bengkelnya, Sukiyat memilih spesialisasi di bidang cat oven dan body repair.
Pengalaman masa kecil Sukiyat yang sering diminta orangtuanya untuk membuat pewarna kain lurik rupanya bermanfaat saat diterapkan dalam pengecatan mobil. Demikian pula pengalamannya saat membantu orangtua bekerja di penggilingan padi dan oven tembakau.
Tugas yang diberikan orangtuanya itu membuat Sukiyat terbiasa bekerja keras. Dia mengaku bisa bekerja selama ”24 jam” sehari. Pikirannya tak berhenti memikirkan pengembangan bisnisnya.
”Pekerjaan itu seperti istri. Kalau istri sakit, ya, ditunggu, dirawat, jangan lantas kita ganti istri. Begitu juga dengan pekerjaan,” ujar Sukiyat.
Pedomannya dalam bekerja adalah 3N, yakni niteni (memperhatikan), nirokke (meniru), dan nambahi (menambahkan). Hal itu sering pula disebutnya ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Pedoman itu diamatinya dari pekerja Jepang, Korea, dan China saat dulu mereka memulai industri mobil nasionalnya.
”Kalau sekarang kita punya mobil buatan sendiri, ya, harus berani menghargai produk kita sendiri,” tegasnya.
Meski pekerja keras, Sukiyat berusaha tetap memberikan jatah seimbang untuk kehidupan berkeluarga. Ia menyempatkan diri shalat berjemaah dan membina keakraban dengan semua anggota keluarga.
Setiap Jumat, ia suka berziarah ke makam mendiang ayahnya dan menjenguk sang bunda. Sebulan sekali Sukiyat menggelar evaluasi, baik bersama keluarga maupun karyawan. Ia juga mengadakan pengajian dan pemeriksaan kesehatan gratis lewat Klinik Ahad Pagi Kiat Sehat di rumahnya di Trucuk, Klaten.
Sumber : Kompas Cetak
KOMPAS/SRI REJEKI
Sukiyat dengan mobil Kiat Esemka.
Sukiyat dengan mobil Kiat Esemka.
SRI REJEKI
KOMPAS.com - Sebenarnya Sukiyat tidak pernah bermimpi untuk membuat mobil. Pada awalnya dia hanya ingin membantu para siswa Jurusan Otomotif Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Dia ingin siswa di sekolah itu bisa melakukan praktik membuat bodi mobil. Apalagi, di sekolah itu, dia menjadi ketua komitenya.
Sukiyat kemudian menyumbangkan bodi mobil Toyota Kijang untuk dibongkar dan dipelajari bagian-bagian bodi dan mesinnya kepada sekolah. Sebelumnya, ia juga mengajari siswa dengan menggunakan mobil Toyota Crown yang lantas dibongkar, kemudian disisakan bagian kisi-kisi, lantai, dan rangkanya saja.
Siswa lantas diajari cara membuat badan mobil secara manual, yakni membentuk pelat eser dengan teknik ketok (kenteng). Mesinnya menggunakan yang sudah jadi karena saat itu target Sukiyat adalah mengajari siswa membuat badan mobil.
Uniknya, meski aslinya mobil itu sedan, dia mengarahkan siswa untuk membuat bodi Toyota Land Cruiser. Sedan itu pun berubah menjadi mobil sport utility vehicle (SUV).
”Saya sendiri terheran-heran, kok bisa ya? Dari sinilah saya lalu terpikir, mengapa tidak sekalian saja mereka membuat mobil,” ceritanya.
Maka, dalam suatu acara di Bayat, Klaten, ia dipertemukan dengan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Joko Sutrisno yang tertarik dengan kemampuan Sukiyat. Bengkel Kiat Motor miliknya lantas menjadi mitra perusahaan dalam program perakitan mobil oleh siswa SMK, yang telah dimulai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun sebelumnya.
SMK-SMK pun mengirimkan siswa mereka ke Kiat Motor di Ceper, Klaten, untuk belajar membuat bodi mobil, termasuk bagian interior dan eksterior mobil, serta rangkanya.
”Para siswa itu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Banyak siswa yang setelah lulus suka main ke tempat kami. Mereka bercerita sudah mendapat pekerjaan dengan gaji baik,” kata Sukiyat.
Saat merintis pembuatan prototipe mobil SUV yang kini dinamai Kiat Esemka, Sukiyat terlebih dahulu mengajari siswa membuat miniatur menyerupai badan Toyota Hardtop. Setelah berhasil, siswa lantas didampinginya membuat bodi mobil prototipe yang belakangan dinamakan Kiat Esemka.
Untuk desain bodi mobil, Sukiyat terinspirasi bentuk Toyota Land Cruiser Prado dan Ford Everest. Adapun mesin mobilnya menggunakan hasil rakitan siswa, yang komponennya sebagian besar juga dibuat siswa bersama mitra industri.
”Untuk bodi, interior dan eksterior dibikin manual oleh siswa dalam waktu 2-3 bulan. Kalau sudah ada mesin dies, sehari saja bisa jadi ratusan bodi, tetapi harga dies sangat mahal,” katanya.
Dari sepeda ”onthel”
Sukiyat merintis bengkelnya tahun 1977, dengan bantuan Yayasan Dharmais sebesar Rp 75.000. Awalnya, bengkel yang dia buka di kampung halamannya, Kradenan, Trucuk, Klaten, ini hanya melayani perbaikan sepeda motor dan sepeda onthel (kayuh).
Lama-kelamaan bengkel itu berkembang sampai menempati lahan seluas 4.500 meter persegi. Tahun 2004 Sukiyat membangun bengkel di Jalan Solo-Yogya, tepatnya di Ngaran, Mlese, Ceper, Klaten, dengan luas lahan 2.500 meter persegi. Kedua bengkel tersebut kini dikelola anak pertamanya, Ida Hartono.
Tahun 2012 Sukiyat berencana mendirikan bengkel baru di kawasan Manahan, Solo. Bengkel ini akan dipadukannya dengan pusat pelatihan bagi penyandang cacat, yakni Difabel Training Center, lengkap dengan asrama. Di kompleks dengan lahan seluas 8.500 meter persegi ini juga akan didirikan pompa bensin dan restoran cepat saji.
”Keinginan saya adalah mencetak tenaga andal di bidang otomotif dan body repair dari para penyandang cacat. Ini agar mereka tak perlu turun ke jalan menjual kecacatannya. Dana pendidikan mereka akan dicarikan pemerintah daerah dan pusat,” kata Sukiyat yang sejak berusia enam tahun menderita polio.
Ia bercerita, saat kecil ia sempat merasa minder. Bahkan, Sukiyat nekat tak menamatkan pendidikan di sekolah teknik menengah karena tak tahan dengan ejekan teman-temannya.
Ia lalu belajar menjahit di Rehabilitasi Centrum Prof Dr Soeharso, Solo, selama enam bulan. Keterampilan ini mengantarkan dia ke Jakarta untuk bekerja pada usaha konfeksi dan percetakan yang dimiliki Yayasan Harapan Kita. ”Saya bekerja di bagian obras dan setting huruf,” ujarnya.
Kembali ke Solo
Namun, orangtuanya meminta Sukiyat kembali ke kampung halamannya. Akan tetapi, dia memilih tinggal di Solo dan bekerja di sebuah bengkel. Baru empat bulan bekerja, bengkel tersebut bangkrut. Dia lantas bekerja di bengkel lain yang didirikan mantan kepala bengkelnya.
Di sini dia memperoleh kemampuan di bidang otomotif. Keterampilan Sukiyat semakin terasah saat berkesempatan mengikuti pelatihan otomotif ke Jepang dan Jerman yang dibiayai Departemen Sosial. Dalam mengembangkan bengkelnya, Sukiyat memilih spesialisasi di bidang cat oven dan body repair.
Pengalaman masa kecil Sukiyat yang sering diminta orangtuanya untuk membuat pewarna kain lurik rupanya bermanfaat saat diterapkan dalam pengecatan mobil. Demikian pula pengalamannya saat membantu orangtua bekerja di penggilingan padi dan oven tembakau.
Tugas yang diberikan orangtuanya itu membuat Sukiyat terbiasa bekerja keras. Dia mengaku bisa bekerja selama ”24 jam” sehari. Pikirannya tak berhenti memikirkan pengembangan bisnisnya.
”Pekerjaan itu seperti istri. Kalau istri sakit, ya, ditunggu, dirawat, jangan lantas kita ganti istri. Begitu juga dengan pekerjaan,” ujar Sukiyat.
Pedomannya dalam bekerja adalah 3N, yakni niteni (memperhatikan), nirokke (meniru), dan nambahi (menambahkan). Hal itu sering pula disebutnya ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Pedoman itu diamatinya dari pekerja Jepang, Korea, dan China saat dulu mereka memulai industri mobil nasionalnya.
”Kalau sekarang kita punya mobil buatan sendiri, ya, harus berani menghargai produk kita sendiri,” tegasnya.
Meski pekerja keras, Sukiyat berusaha tetap memberikan jatah seimbang untuk kehidupan berkeluarga. Ia menyempatkan diri shalat berjemaah dan membina keakraban dengan semua anggota keluarga.
Setiap Jumat, ia suka berziarah ke makam mendiang ayahnya dan menjenguk sang bunda. Sebulan sekali Sukiyat menggelar evaluasi, baik bersama keluarga maupun karyawan. Ia juga mengadakan pengajian dan pemeriksaan kesehatan gratis lewat Klinik Ahad Pagi Kiat Sehat di rumahnya di Trucuk, Klaten.
Sumber : Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar