Rabu, 04 Juli 2012

Baduy Dalam Boleh Melanggar Hukum Adat, Asal...

Jodhi Yudono | Selasa, 3 Juli 2012 | 03:58 WIB
 
BUYUNG WIJAYA KUSUMA 
Salah satu perkampungan Baduy di punggung Gunung Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, sepi saat matahari terbit karena penghuni ke ladang. 
 Oleh Asep Fathulrahman dan Mansyur
Memilih patuh hukum adat atau menyelamatkan nyawa, dua-duanya sama penting dan hal ini juga dipegang oleh warga Baduy Dalam Kabupaten Lebak Banten.

Tapi, tetap hanya satu pilihan yang dapat diambil Canirah (25) warga Baduy Dalam dari Kampung Cikertawana di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Peristiwa pelik ibarat pepatah "Bagai Makan Buah Simalakama" itu justru terjadi saat dia harusnya bergembira menyambut kelahiran anak pertama buah perkawinan dengan Jahadi (29), sang suami tercinta.

Setelah menanti sembilan bulan, bayi yang dikandung Canirah "memilih" hari Selasa malam tanggal 15 Mei 2012 pukul 22.30 Wib untuk lahir.

Maka untuk menolong persalinan Canirah, Jahadi bergegas memanggil Ambu (ibu) Paruga (68), "paraji" atau dukun beranak yang biasa menolong proses persalinan warga Baduy Dalam.

Di kalangan warga Baduy Dalam sendiri ada banyak paraji semacam bidan. Biasanya seorang paraji menangani dua sampai tiga kampung warga Baduy Dalam.

Sebagian paraji, kebanyakan yang masih muda, sudah berinteraksi dengan Bidan di Puskemas sehingga mereka sudah mengenal penggunaan obat pencegah infeksi seperti "betadine" dan "pil antibiotik".

Sebagian lainya, terutama paraji yang sudah senior, masih menolak obat modern hingga hanya menggunakan ramuan tanaman dan jampi-jampi dalam menolong persalinan termasuk Ambu Paruga.

Akhirnya proses persalinan pun berlangsung dan alangkah bahagianya Canirah mendapati bayi laki-laki lahir dalam kondisi sehat.

Namun masih ada yang belum tuntas. Plasenta bayi yang ditunggu-tunggu tak kunjung keluar.

Ambu berupaya keras menolong dengan membaca semua jampi yang dihafalnya, tapi hari sudah berganti dan ari-ari bayi yang ditunggu tak juga keluar.

Canirah makin keras didera perut mulas, pening, sesak bercampur baur.

Dia mengusulkan agar Ambu berkonsultasi dengan Bidan Desa di Puskesdes Kanekes.

Ambu yang merasa sarat pengalaman memakai ramuan dan jampi-jampi tetap menolak.

Suhu tubuh Canirah makin tinggi dan hatinya mulai galau apakah akan meminta pendapat Bidan Puskesdes yang pasti akan memakai metode pengobatan modern atau tetap patuh pada ketentuan adat seperti yang ditekankan Ambu.

Proses pengobatan dilakukan Ambu berlangsung hingga hari keempat dan tidak membuahkan hasil.

Harus operasi
Tak tega melihat isteri tercinta makin menderita, hari Jumat (18/6) Jahadi bersama ayahnya Jaro Sana mengambil inisiatif menemui Bidan Eros Rosita (40) warga Ciboleger yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Cikertawana tanpa akses kendaraan bermotor yang memadai atau hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Berangkat sebelum matahari terbit dari Cikertawana, pukul 10.00 Wib Jahadi baru tiba di rumah Bidan Rosita di Ciboleger, tentu saja dengan berjalan kaki.

"Begitu mendengar kabar tentang kejadian yang menimpa Canirah, langsung terbayang betapa menderitanya dia selama empat hari itu dan tak ada cara lain untuk menolongnya kecuali dia harus menjalani operasi kiret untuk mengangkat plasenta bayi yang masih tertinggal," kata bidan Rosita yang memang sudah empat belas tahun mengabdi naik turun gunung mengobati warga Baduy yang sakit.

Maka dengan meminta tolong dua bidan lainnya Yeni (33) dan Yuniarsih (31), mereka langsung merencanakan cara untuk sesegera mungkin bisa mengevakuasi Canirah ke Rumah Sakit Aji Darmo yang terletak di Rangkas Bitung, Ibukota Kabupaten Lebak.

Kendalanya sangat banyak. Canirah sudak dalam kondisi kritis. Medan menuju lokasi selama ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dan tidak pernah dilalui kendaraan bermotor.

Hukum adat yang mengikat tidak membolehkan semua warga Baduy Dalam untuk naik kendaraan dalam kondisi apa pun termasuk Canirah.

Ketiga Bidan Desa itu langsung berembug dengan tokoh Baduy Luar Saija dan "Jaro tangtu" (tokoh Baduy Dalam) Nasina ditambah Jahadi dan Jaro Sana yang juga "kokolot" (tokoh) Kampung Cikertawana.

Rembugan berjalan alot dan nyaris menemui jalan buntu karena semua tokoh Baduy yang berembug bersikukuh bahwa hukum adat "teu meunang dirobah" (tidak bisa diubah), maka Canirah harus diobati di rumahnya mengingat larangan naik kendaraan untuk warga Baduy Dalam.

"Tapi semua tokoh itu tak bisa menjawab saat ditanya `eta Canirah sina hirup atawa diantep sina paeh` (apakah canirah akan ditolong supaya hidup atau akan dibiarkan mati)," kata Rosita, peraih penghargaan Bidan Teladan se-Indonesia itu seraya mengajukan syarat kalau tak boleh dievakuasi maka Jaro harus sanggup menyediakan listrik di Cikertawana.

"Keur naon eta kudu aya listrik sagala? (Buat apa harus ada listrik?)" tanya Jaro Nasina. "Supaya Canirah bisa ditolong agar tetap hidup dengan menyedot plasenta dalam rahimnya yang hanya bisa dikeluarkan dengan alat vakum yang memerlukan listrik," jelas Bidan yang juga sempat meraih penghargaan Danamon dan SCTV award itu.

"Mun kitu mah kami sumerah, pek bae kumaha Canirah jeung ibu-ibu bidan (Kalau begitu kami serahkan gimana Canirah dan ibu-ibu bidan)," kata Jaro Nasina.

Setelah melewati rembugan sekitar tiga jam akhirnya Canirah dievakuasi ke Puskesdes Kanekes. Pukul 17.00 baru diambil keputusan dengan persetujuan Canirah untuk berobat ke RSUD Aji Darmo di Rangkas Bitung.

Putusan paling berat terpaksa diambil Canirah - Jahadi untuk melanggar larangan naik kendaraan demi upaya menyelamatkan nyawa.

"Kami memutuskan untuk memberikan izin pelanggaran hukum adat karena untuk menyelamatkan nyawa manusia, namun hukum tetap dijalankan setelah proses penyembuhan selesai dilaksanakan Canirah-Jahadi seperti yang disepakati para ketua adat bersama pihak keluarga," ujar Ayah Mursid, selaku salah seorang Ketua Adat (Jaro Tangtu) Suku Baduy Dalam.

Hukuman adat bagi Canirah dan Jahadi menjalani masa pengasingan di luar Baduy selama 40 hari.

Perjuangan untuk menyelamatkan nyawa Canirah masih terkendala beratnya medan dari Kanekes menuju Coboleger yang melewati jalan berbatu dan tanjakan sangat curam.

Kebetulan suami Bidan Yuni yang berprofesi pedagang getah karet memiliki Hardtop bak terbuka dengan penggerak empat roda.

Maka kendaraan itulah yang digunakan untuk mengangkut Canirah bersama Jahadi dan ketiga Bidan Desa sampai ke Ciboleger untuk selanjutnya berganti kendaraan naik ambulan puskesmas.

Tiba di Ciboleger, ujung perbatasan Baduy Luar, Jahadi masih tak mengalami gangguan dengan pengalaman pertamanya naik kendaraan bermotor dalam seumur hidup.

Namun saat tiba di jalan aspal dan rombongan harus berganti kendaraan memakai ambulan Puskesmas, Jahadi mengalami stres berat.

"Saya baru melihat sekali itu efek stres pada orang yang pertama sekali naik kendaraan dengan kecepatan tinggi, tiap satu jam Jahadi buang air besar hingga kami berkali-kali harus berhenti," kenang Bidan Rosita.

Setelah minum pil penangkal mabuk perjalanan, kondisi Jahadi lebih stabil.

Tapi rupanya dia punya cara sendiri untuk meredam rasa stres dengan bersembunyi di kolong jok yang diduduki Canirah.

"Kami semua sempat kaget karena dicari-cari Jahadi menghilang. Setelah kami panggil dengan suara keras dia menjawab dari bawah jok `keur nyekelan korsi pamajikan bisi hiber. (sedang memegangi jok tempat isteri, supaya tidak terbang)" ujar Bidan Ros menirukan teriakan Jahadi.

Setibanya di RSUD Aji Darmo Canirah langsung menjalani operasi pengangkatan plasenta dan perawatan selama 4 hari.

"Saya kagum dengan ketahanan kondisi tubuhnya yang luar biasa, mana ada 5 hari plasenta dalam rahim yang sudah terinveksi kuman tapi masih bisa berjalan tegak. Pasien biasa paling kuat hanya satu hari setelah itu kritis. Karena itu saya percaya sumber makan an alami serta lingkungan yang tidak tercemar sumber kekuatan luar biasa sehingga kita wajib menjaga makan an dan lingkungan kita," ujar dr Priyono SPOG yang merawat Canirah.
 
Sumber :ANT
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar