Taufik Hidayat
Udjo
Pikiran Rakyat
10032013
|
Taufik Hidayat Udjo (Harry Surjana/"PR") |
Dilahirkan
sebagai anak seniman besar yang membesarkan alat musik tradisional angklung,
Udjo Ngalagena, bukan berarti otomatis langsung mencintai angklung. Alih-alih
mencintai, Taufik Hidayat (48), anak kesembilan dari sepuluh bersaudara purtar
Udjo Ngalagena ini, awalnya malah tidak menyukai angklung. Namun, seperti kata
pepatah Sunda “Cikaracak ninggang batu, lila lila jadi legok”
(air menetas terus-menerus di atas batu, lama-lama batu pun jadi berlubang),
begitu juga yang terjadi kepada Taufik.
Taufik awalnya
tidak menyukai angklung. Namun, karena di lingkungan sekitarnya hampir setiap
hari melihat dan mendengar orang bermain angklung, maka sedikit-demi sedikit
rasa cinta terhadap alat musik dari bambu itu pun tumbah di hati Taufik.
Terlebih sang ayah juga kerap mengajari anak-anaknya memainkan angklung. Bahkan
tak jarang pelajaran yang diberikan berlangsung hingga larut malam.
“Sampai-sampai saat itu, kami tak memiliki kamar masing-masing karena digunakan
untuk pertunjukan dan segala keperluan angklung,” ujar Taufik ketika ditemui di
“Saung Angklung Udjo” (28/2).
Taufik salut akan
keteguhan orang tuanya dalam menjaga kelestarian seni angklung ini. Semangatnya
pun terpacu ketika mendengar perkataan ayahnya di hadapan para wisatawan asing
yang datang ke Saung Udjo. “Anda lihat kami bermain angklung, suatu saat akan
mendunia,” ungkap Udjo saat itu.
Setelah Udjo
Ngalagena meninggal dunia, Taufik dipercaya untuk mengelola Saung Udjo. Dengan
bekal pengetahuan dan keterampilan seni yang diwariskan orangtuanya, dipadu
dengan jiwa entepreneur dari latar pendidikannya di bidang ekonomi,
Taufik ingin meneruskan semangat sang ayah sekaligus membuktikan apa yang telah
diungkapkan ayahnya saat itu. Dan dia berhasil, alat musik angklung saat ini
telah mendunia, dan diakui UNESCO sebagai budaya milik bangsa Indonesia. Taufik
pun telah membawa rombongan angklungnya untuk tampil di mancanegara. “Saya
hanya ingin memelihara budaya, lingkungan, dan pendidikan lewat angklung,
sedangkan masalah bisnis hanya dampaknya saja”, kata jebolan STIE angakatan
1984 ini.
Padahal, jika
saja mau berkhianat kepada negeri sendiri,ia bersama seluruh warga Saung Udjo, bisa pindah
bedol desa ke salah satu negeri. Mereka dijanjikan akan diberi fasilitas ynag
dan tempat khusus di suatu pulau. Namun, Taufik bersama pemain, perajin
angklung, dan yang terlibat di Saung Udjo, seperti sudah menyatu. Angklung dan
saung Udjo sudah menjadi bagian napas hidup, sudah mendarah daging. Betapa
tidak, mereka telah menjalani kehidupan dengan Saung Udjo secara turun-temurun.
Ada sekitar 450 jiwa yang terlibat berkiprah di Saung Udjo.
“Anak-anak yang memainkan pertunjukan angklung di sini,
sejak dalam kandungan ibu mreka sudah ikut bermain, karena ibu-ibu mereka dulu
pemain angklung sehingga mereka tak sulit menguasai kesenian angklung ini,”
kata Taufik.
Saat ini, kata Taufik, di Saung Udjo digelar tak kurang dari
1500 pertunjukan per tahunnya. “Saya kelola semuanya dengan kecintaan jaditak
terasa melelahkan,” kata Taufik Hidayat Udjo mengungkapkan kiatnya mengelola
Saung Angklung Udjo ini.
Ditambahkannya, saat berada di mana pun ia selalu menyerap
gagasan buat kemajuan kawasan wisata seni yang dikelolanya. Meski telah menjadi
bos di kawasan wisata yang banyak menarik pengunjung turis domestik maupun
mancanegara itu, ayah tiga anak ini tetap terjun langsung membenahi yang terasa
kurang.
“Makanan kecil yang disajikan di (Saung Udjo) adalah makanan
khas Jawa Barat. Ini sebagai upaya untuk memelihara alam dan memberdayakan
lingkungan sekitar sini, sehingga warga tak hanya sekadar jadi penonton atau
terganggu lalu-lalang mobil yang masuk dan keluar Saung,” kata pria yang hobi
nonton pertunjukan seni dan berenang serta fitness ini.
Etalase
seni
Keberadaan Saung Udjo di tangan Taufik banyak melahirkan
inovasi dan kreasi. “Saya ingin tempat ini menjelma menjadi etalase seni Jawa
Barat, jadi Taman Mini-nya lah serperti itu. Jadi bukan pertunjukan seni
angklung saja, tetapijuga seni lain termasuk kerajinan di tatar Sunda yang
sangat kaya ini,“ tuturnya.
Dari keadaan ini pula, Saung Udjo diusahakan tetap membuta
pertunjukan yang menarik. Bagi Taufik, orang menyenangi angklung bukan sekadar
seperti ungkapan “Tak kenal maka tak sayang”. Namun,ketika orang sudah mengenal
angklung maka harus lebih mencintai angklung.
Cetusan pemikiran Taufik ini berawal dari sebuah peristiwa
krisis moneter yang berujung huru-hara dan pergantian pemerintahan di Indonesia
pada tahun 1998. Imbas peristiwa itu juga melanda dunia pariwisata di
Indonesia. Tak terkecuali Saung Udjo yang banyak dikunjungi wisatawan
mencanegara. Padahal saat itu, kunjungan turis asing sedang booming ke
Saung Udjo.
Setelah peristiwa kejatuhan rezim Soeharto,Saung Udjo nyaris
sepi pengunjung sampai dengan tahun 2000. “Ada sepuluh orang pun sudah dianggap
bagus.” kata Taufik, yang kemudian mengolah talenta seni dan bisnisnya untuk
membangkitkan kembali Saung Udjo terutama angklung. Maka sebagai anak muda,
pilihan yang paling mudah lewat internet.
Namun, keberadaan internet saat itu, masih terbatas dengan
berbagai laman jejaring sosial. Meski begitu, ia memanfaatkan yang ada. “Saya
menjalin pertemanan dan chatting dengan berbagai kalangan, terutama
remaja, bahwa saya seolah-olah seorang anak SMA yang baru berkunjung ke Saung
Udjo”, tutur Taufik.
Kiprahnya yang terasa lucu tetapi menyedihkan ini, lambat
laun membuahkan hasil. Satu dua orang anak
remaja berpakaian SMA mulai berdatangan. “Saya langsung
mendekatinya,sehingga waktu itu, saya multiperan. Ya, sebagai pimpinan
pengelola, ya sebagai PR (public relation). Sedangkan malamnya saya
berperan sebagai remaja yang baru berkunjung ke sini,” katanya sambil tertawa.
Dengan keinginannya untuk lebih menyentuh kalangan muda, ia
mulai mengadakankolaborasi dengan sejumlah artis yang digandrungi remaja waktu
itu. Misalnya Titi DJ, dan paling “menghebohkan” ketika menggaet artis Sherina,
yang saat itu sedang naik daun setelah filmnya “Petualangan Sherina”.
Lebih mengharukan lagi, pertunjukan di Sabuga yang dipenuhi
penonton itu,kembali menghidupkan kesenian angklung di mata remaja. Bahkan
Sherina menghadiahkan hasil penjualan tiket pertunjukannya untuk Saung Udjo.
Sebagai penerus keberadaan Saung Udjo, ada yang ingin
diwujudkan Taufik Hidayat, yaitu membangun museum angklung. Inilah yang ingin
diminta bantuan pda dinas terkait pemerintah. Dengan demikian, sebagai bentuk
kesenian, angklung dapat ditelusuri awalnya. Mulaiangklung buhun sampai dengan
bentuk angklung yang sekarang. Dalam museum itu, katanya, bukan hanya wujud
alat seni angklung, tetapi juga ada video pertunjukan angklung serta
pernak-pernik tentang angklung.
Taufik juga mengharapkan, akses jalan masuk dan tempat
parkir, serta lahan penanaman bambu untuk bahan pembuatan angklung. Saat ini,
ada sekitar seratus pembuat angklung yang dikerjakan secara home industry.
Selain itu, dalam hatinya ada kegundahan tersendiri pada
lingkungan tempat wisata Saung Udjo. Ia berharap, jangan sampai hadir hotel
berbintang di dekatnya. Sehingga akan merusak keasriannya. Sekarang
“keberadaan” Saung Udjo dari lahan yang
awalnya kecil, kini telah berkembang seluas 1,2 ha. “Kalau orang lain membeli
lahan hijau dibangun rumah,sebaliknya Saung Udjo membeli rumah jadi lahan
hijau,” katanya.
Namun, ia mengungkapkan, ketersediaan air di sini tergantung
di hulunya yang keadaanya semakin mengkhawatirkan. “Saung Udjo agak kesulitan
air manakala kemarau, sedangkan musim hujan terkena banjir,” katanya.
Jika terjadi, sungguh sangat ironis. Bagaimanapun, sebagai
pagar budaya, keberadaan Saung Udjo menjadi tempat wisata satu-satunya yang
telah siap dengan segala infrastruktur dan pertunjukannya di Kota Bandung. (Ahmad
Yusuf/”PR”)
Biodata Taufik Hidayat Udjo
Tempa, tanggal lahir
|
:
|
Bandung, 26 Februari 1966
|
Istri
|
:
|
Wiwin Setiawati
|
Anak
|
:
|
Muharam Rizky
|
|
|
Kamila Putri Hidayat
|
|
|
Karina Chainull Nisa
|
Pendidikan
|
:
|
STIE YPKP Bandung
|
Jabatan
|
:
|
Direktur PT Saung Angklung Udjo
|
|
|
Pementasan Anglung di berbagai negara di lima
benua antara lain: Malaysia, Singapura, China, Belanda, Inggris, Jerman,
Yugoslavia, Rusia, Ukraina, Uzbekistan, Aljazair, Afrika, dan Argentina
|