Catatan Akhir Tahun
Inggried DW, Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary | Selasa, 27 Desember 2011 | 09:41 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Soedijarto, mengatakan, pendidikan di Indonesia saat ini masih berada pada level pendidikan semesta. Pada level ini, menurut dia, pendidikan hanya untuk golongan mampu. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan wajib belajar sembilan tahun yang bermutu, adil, dan bebas biaya.
Menurut dia, semua siswa berbagai latar belakang berhak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun yang dibiayai pemerintah, seperti diamanatkan UUD 1945.
"Tetapi, kenapa pemerintah membiarkan terjadi pungutan di sana-sini. Pemerintah gagal membendung terjadinya pungutan karena wajib belajar itu harus gratis 100 persen," kata Soedijarto, Senin (26/12/2011) di Jakarta.
Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menjelaskan, untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun, pemerintah seharusnya mengacu pada negara-negara maju, seperti Amerika dan Jerman. Di negara tersebut, anak usia sekolah mendapatkan pengawasan yang lebih ketat. Jika ada anak usia sekolah yang berkeliaran di luar sekolah pada jam belajar, anak tersebut akan "ditangkap" dan orangtuanya dipanggil.
"Tapi wajib belajar di Indonesia ini lain. Masih banyak anak usia sekolah yang putus atau tidak melanjutkan dan bebas berkeliaran di jalan. Itulah mengapa saya sebut pendidikan kita adalah pendidikan semesta," ungkapnya.
Mengapa bisa terjadi?
Soedijarto berpendapat, semua yang terjadi dipicu karena pemerintah tidak mampu menghitung berapa dana pendidikan yang diperlukan, khususnya untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun. Ia menuding, selama ini pemerintah hanya sebatas melaksanakan UU untuk mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada pendidikan tanpa menghitung berapa yang diperlukan.
Dari alokasi 20 persen itu, kata dia, lebih dari setengahnya habis untuk menggaji guru. Hal itu berimbas pada kurangnya dana pendidikan yang dimiliki pemerintah sehingga pendidikan menjadi tidak gratis dan masyarakat ekonomi lemah tidak sanggup memenuhinya.
"Pemerintah jangan hanya menganggarkan 20 persen tanpa menghitung keperluan untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun," ungkapnya.
Tekan angka putus sekolah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh saat diwawancara Kompas.com, pekan lalu, mengungkapkan, kementerian memang menjadikan persoalan wajib belajar sembilan tahun sebagai hal yang substantif dan harus diselesaikan.
Menurut dia, ada pergeseran paradigma bahwa pada akhir abad ke-20, pembangunan ekonomi berbasis sumber daya kekayaan alam akan bergeser ke pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan, yaitu pendidikan.
"Akhirnya, di situlah mengapa urusan wajar sembilan tahun harus dituntaskan," kata Nuh.
Ke depannya, dengan peningkatan alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), ia mengatakan, tak boleh ada anak tidak mengenyam pendidikan.
"Intinya semua harus sekolah. Oleh karena itu, kita juga persiapkan wajib belajar 12 tahun yang dirintis tahun 2012. Untuk itu, kita siapkan semuanya, baik gurunya, sarana, dan prasarana," ujarnya.
Pada tahun 2012, ada kenaikan unit cost, yaitu bagi siswa SD dari Rp 380.000 menjadi Rp 510.000. Sementara bagi siswa SMP, dari Rp 580.000 menjadi Rp 710.000. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga akan merintis dana BOS bagi siswa SMA pada 2012 mendatang.
Inggried DW, Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary | Selasa, 27 Desember 2011 | 09:41 WIB
M.LATIEF
Ilustrasi
Ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Soedijarto, mengatakan, pendidikan di Indonesia saat ini masih berada pada level pendidikan semesta. Pada level ini, menurut dia, pendidikan hanya untuk golongan mampu. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan wajib belajar sembilan tahun yang bermutu, adil, dan bebas biaya.
Menurut dia, semua siswa berbagai latar belakang berhak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun yang dibiayai pemerintah, seperti diamanatkan UUD 1945.
"Tetapi, kenapa pemerintah membiarkan terjadi pungutan di sana-sini. Pemerintah gagal membendung terjadinya pungutan karena wajib belajar itu harus gratis 100 persen," kata Soedijarto, Senin (26/12/2011) di Jakarta.
Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menjelaskan, untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun, pemerintah seharusnya mengacu pada negara-negara maju, seperti Amerika dan Jerman. Di negara tersebut, anak usia sekolah mendapatkan pengawasan yang lebih ketat. Jika ada anak usia sekolah yang berkeliaran di luar sekolah pada jam belajar, anak tersebut akan "ditangkap" dan orangtuanya dipanggil.
"Tapi wajib belajar di Indonesia ini lain. Masih banyak anak usia sekolah yang putus atau tidak melanjutkan dan bebas berkeliaran di jalan. Itulah mengapa saya sebut pendidikan kita adalah pendidikan semesta," ungkapnya.
Mengapa bisa terjadi?
Soedijarto berpendapat, semua yang terjadi dipicu karena pemerintah tidak mampu menghitung berapa dana pendidikan yang diperlukan, khususnya untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun. Ia menuding, selama ini pemerintah hanya sebatas melaksanakan UU untuk mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada pendidikan tanpa menghitung berapa yang diperlukan.
Dari alokasi 20 persen itu, kata dia, lebih dari setengahnya habis untuk menggaji guru. Hal itu berimbas pada kurangnya dana pendidikan yang dimiliki pemerintah sehingga pendidikan menjadi tidak gratis dan masyarakat ekonomi lemah tidak sanggup memenuhinya.
"Pemerintah jangan hanya menganggarkan 20 persen tanpa menghitung keperluan untuk mewujudkan wajib belajar sembilan tahun," ungkapnya.
Tekan angka putus sekolah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh saat diwawancara Kompas.com, pekan lalu, mengungkapkan, kementerian memang menjadikan persoalan wajib belajar sembilan tahun sebagai hal yang substantif dan harus diselesaikan.
Menurut dia, ada pergeseran paradigma bahwa pada akhir abad ke-20, pembangunan ekonomi berbasis sumber daya kekayaan alam akan bergeser ke pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan, yaitu pendidikan.
"Akhirnya, di situlah mengapa urusan wajar sembilan tahun harus dituntaskan," kata Nuh.
Ke depannya, dengan peningkatan alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), ia mengatakan, tak boleh ada anak tidak mengenyam pendidikan.
"Intinya semua harus sekolah. Oleh karena itu, kita juga persiapkan wajib belajar 12 tahun yang dirintis tahun 2012. Untuk itu, kita siapkan semuanya, baik gurunya, sarana, dan prasarana," ujarnya.
Pada tahun 2012, ada kenaikan unit cost, yaitu bagi siswa SD dari Rp 380.000 menjadi Rp 510.000. Sementara bagi siswa SMP, dari Rp 580.000 menjadi Rp 710.000. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga akan merintis dana BOS bagi siswa SMA pada 2012 mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar