Sabtu, 01 November 2008

Bahasa-bahasa yang Sedang Menuju Kematian


TPG Images
ilustrasi


JAKARTA, SABTU - Sebagian besar bahasa daerah di Indonesia terancam punah, karena sudah ditinggalkan oleh penuturnya. Artinya, tidak lagi dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dan tidak pula diajarkan kepada anak-anak. 

   
Gufran Ali Ibrahim dari Universitas Khairun, Ternate mengemukakan, biasanya bahasa-bahasa daerah yang terancam punah tersebut tidak dipakai lagi oleh penuturnya dan situasi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga pada sejumlah bahasa asing yang penuturnya semakin kecil. 
   
Gufran mengemukakan fakta tersebut dalam diskusi panel kebahasaan pada Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta yang berlangsung 28 Oktober hingga 1 November 2008 di Jakarta. 
   
Ia menyitir laporan dari para peneliti, yang menyampaikan bahwa dari 6.809 bahasa di seluruh dunia, 450 di antaranya memiliki jumlah penutur yang sangat sedikit, sudah berusia tua dan cenderung menuju kepunahan. 
   
Beberapa bahasa dunia yang nyaris punah itu pada tahun 1977 dilaporkan adalah bahasa Eyak di Alaska yang hanya memiliki dua orang penutur, juga beberapa bahasa asing lain yang jumlah penuturnya kurang dari sepuluh orang. 
   
Bahasa Latin Klasik (Greek Koine) juga dilaporkan berabad-abad lalu telah "mati" sebagai bahasa yang dituturkan. Pergerakan ke arah kepunahan bahasa itu terutama terjadi di negara berkembang dan miskin, jumlah penuturnya kurang dari 200 orang. 
   
Di Indonesia misalnya, Petrus Poerwadi, ahli bahasa dari Universitas Palangkaraya menyebutkan terdapat dua bahasa etnis Dayak yang punah yaitu bahasa Pangunraun dan bahasa Sangen. 
   
Bahasa-bahasa daerah tersebut menurut Petrus, tidak dipakai lagi oleh para penuturnya yang menganggap bahwa bahasa mereka "kurang bagus", "kasar" atau "kampungan", dibanding bahasa di sekitarnya yang dianggap lebih "modern" dan bergengsi. 
   
Di Kalteng, bahasa Ngaju dan Banjar dipergunakan secara luas selain bahasa lain yang komunitas penuturnya kecil, sehingga bahasa daerah yang lain semakin tertekan. 
   
Para penutur bahasa daerah seperti itu seringkali malu sehingga tidak banyak memakai bahasa ibu mereka dan memilih memakai bahasa daerah yang lebih banyak penuturnya atau memakai bahasa nasional dalam percakapan pergaulan. 
   
Di Kalimantan Tengah, Petrus Poerwadi mengelompokkan kondisi Bahasa Dayak dalam tiga kategori, yaitu bahasa yang sudah punah, berpotensi punah, dan kelompok yang bertahan hidup. 
   
Bahasa Paku di Kalteng kini terancam punah, penuturnya hanya 500 orang katanya. 
   
Gufran juga mengemukakan di Maluku Utara, Bahasa Ibo (Ibu) yang pada tahun ini diketahui terancam punah karena hanya dikuasai oleh lima penutur yang berusia di atas 50 tahun, nyaitu bahasa Waiyoli yang dipakai hanya pada dua desa yaitu Gam Lamo (Kampung Besar) dan Gam Ici (Kampung Kecil) yang letaknya terpisah sejauh 5 kilometer, di Halmahera Barat. 
   
Masyarakat setempat selain menggunakan bahasa etnik masing-masing, juga telah lama memakai bahasa Kesultanan Ternate dan Bahasa Melayu Ternate sebagai "Lingua Franca" atau bahasa lintas etnik. 
   
Keadaan tersebut membuat mereka meninggalkan pemakaian bahasa ibu yang sekarang hanya dipakai oleh lima orang saja yaitu Nenek Hajija, Kakek Ismail (80) Nifu Hamiru (70). Han Noho dan Gani Saleh masing-masing 45 tahun. 
   
  Pemetaan lengkap 
   
Kedua ahli bahasa itu menyampaikan gagasan yang serupa, yaitu perlu segera dilakukan pemetaan bahasa secara lengkap terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan bukan hanya melihat struktur bahasa, melainkan juga melihat aspek budaya. 
   
Melalui pemetaan tersebut akan dapat diketahui bahasa-bahasa mana yang "sehat" atau memiliki banyak penutur yang masih aktif memakainya dalam percakapan sehari-hari, kemudian juga bahasa mana yang berpotensi ditinggalkan dan bahasa yang terancam punah. 
   
Data tersebut akan bermanfaat untuk pengambilan kebijakan selanjutnya, apakah akan mempertahankan, menguatkan atau justru "mengabaikan" bahasa yang sudah mendekati punah. 
   
Pemakaian istilah "mengabaikan" oleh pembicara, mengesankan sikap tidak peduli, sehingga ada peserta kongres yang meminta penjelasan lebih lanjut kepada Petrus Poerwadi. 
   
"Jika penuturnya sudah amat sedikit, dua atau lima orang, tentu akan sia-sia jika kita menghabiskan energi untuk upaya menghidupkannya kembali. Untuk kasus seperti ini yang dapat dilakukan adalah tindakan penelitian dan pendokumentasian. Tetapi untuk bahasa-bahasa yang masih lebih banyak penuturnya, dapat diupayakan penyelamatan," kata Petrus. 
   
Sejumlah bahasa daerah diketahui tidak lagi digunakan untuk percakapan sehari-hari tetapi masih dipakai untuk kepentingan khusus misalnya dalam upacara adat, pertunjukkan dan sastra. 
   
Gufran menegaskan pendapat yang mengemukakan bahwa kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban. Ia mengutip kata-kata antropolog Leslie Whiite: "Remove Speech from culture and what would remain". 
   
Lembaga Bahasa-bahasa langa, Living Toungues Institute for Endangered Languages yang peduli pada penyelamatan bahasa yang terancam punah mengeluarkan moto "Membawa Tuturan ke Masa Depan" dan menyebutkan bahwa bahasa adalah gudang pengetahuan manusia yang sangat luas tentang dunia, alam, tanaman, hewan, ekosistem dan sediaan budaya. Setiap bahasa memuat keseluruhan sejarah umat manusia. 
   
Terhadap bahasa-bahasa yang berpotensi punah dapat dilakukan upaya penyelamatan yaitu dengan membuka kelas-kelas khusus bagi orang dewasa, mengajarkannya kepada anak-anak, seperti yang telah berhasil dilakukan terhadap bahasa Maori di Selandia Baru dan bahasa Waorani di Ekuador. 
   
Pada tahun 1956, bahasa Waorani memiliki penutur 150 orang, setelah dilakukan penelitian linguistik dan membuka kelas bahasa, pendidikan dan pengobatan modern, kini jumlah penuturnya mencapai 900 orang. 
   
Dari 424 bahasa yang ada di Indonesia, 169 di antaranya kini diketahui terancam punah, sehingga perlu segera dilakukan tindakan untuk memetakan dan menyelamatkannya.

ABI 
Sumber : Ant

Tidak ada komentar:

Posting Komentar