MENTERI Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo (kiri) menyerahkan penghargaan kepada para pemenang berbagai lomba dalam menyambut Tahun Bahasa. Penyerahan itu dilakukan pada pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, Selasa (28/10) lalu.* MUHAMMAD KADAPI
BERBAGAI persoalan kebahasaan dan kesastraan dibahas pada Kongres IX Bahasa Indonesia di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, 28 Oktober - 1 November 2008 lalu. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sebagai penyelenggara, tidak hanya menerima masukan dari para ahli bahasa, tetapi juga dari berbagai kalangan, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional milik semua warga negara Indonesia dan pihak-pihak lain yang mencintai bahasa persatuan ini.
Persoalan yang muncul antara lain, perlunya peningkatan metode pengajaran bahasa Indonesia, pelestarian bahasa daerah, perlunya keseragaman dalam penyerapan kata-kata bahasa asing (terutama di media massa), perbaikan bahasa para pejabat, pengutamaan kata-kata bahasa daerah sebagai lema baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penertiban akronim, dan lain-lain.
Tak tertib berbahasa
Salah satu hal yang menjadi sorotan pada Kongres IX Bahasa Indonesia ini adalah tidak tertibnya bahasa yang digunakan para pejabat dan media massa. Kritikan-kritikan pedas terhadap bahasa para pejabat muncul pada pleno hari pertama, seusai acara pembukaan. Sementara kritikan terhadap media massa, khususnya televisi, muncul pada salah satu sesi khusus untuk bahasa yang digunakan media massa.
Seorang peserta yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia mengkritik betapa tidak teraturnya bahasa sebagian pejabat di negeri ini. "Ada pejabat yang bicara panjang sekali, tetapi dalam kalimat yang panjang itu, tidak jelas mana predikatnya. Padahal dalam masyarakat yang paternalistik, pejabat adalah panutan masyarakat," kata guru itu.
Disebutkannya pula, beberapa pejabat sering menyebut kata "merubah". Padahal, kata yang benar adalah "mengubah" karena kata dasarnya ubah. Tidak hanya dalam pengucapan, dalam bahasa surat dinas pun kerancuan berbahasa masih terjadi.
Dengan kesalahan-kesalahan berbahasa yang tergolong mendasar itu, ada yang mengusulkan agar para pejabat itu harus terlebih dahulu mengikuti kursus bahasa Indonesia yang baik dan benar. Konkretnya, muncul pula usulan agar para pejabat di negeri ini harus lulus UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia).
Dalam kongres tersebut, pihak Kementerian Sekretaris Negara sepakat agar para pejabat bisa berbahasa dengan baik. Selain itu, dalam penyusunan undang-undang, ahli bahasa akan dilibatkan.
Sementara itu, bahasa media massa disorot karena belum seragam dalam menggunakan kata-kata serapan dari bahasa asing. Boleh jadi, ketidakseragaman ini karena lambannya Pusat Bahasa meluncurkan kata-kata serapan resmi dari bahasa asing, apalagi KBBI hanya terbit lima tahun sekali, berbarengan dengan pelaksanaan kongres.
Apabila dikaitkan dengan kendala ini, muncul gagasan menarik, bahwa untuk mengimbangi pesatnya perkembangan bahasa, sebaiknya Pusat Bahasa menggunakan KBBI daring (dalam jaringan/online) untuk menyosialisasikan kata-kata serapan baru dari bahasa asing yang memang datang begitu deras.
Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono menyanggah anggapan bahwa lembaganya lamban dalam meluncurkan kata-kata serapan dari bahasa asing. Menurut dia, sudah ada 405.000 ungkapan asing dan kata serapan dalam berbagai bidang ilmu yang sudah dibakukan. Sementara itu, ada 182.000 kata yang masih dalam proses penyelarasan. Namun, menurut dia, kalangan pers jarang menggunakannya.
Akronim kebablasan
Media massa juga dikritik karena terlalu sering menggunakan akronim sehingga sering kali menyulitkan pembaca atau pemirsa. Hal ini antara lain dikeluhkan Ny. Manoppo, seorang dosen senior Universitas Sam Ratulangi Manado.
"Saya selalu membaca koran. Akan tetapi, belakangan ini saya sering tidak bisa menangkap makna karena bahasa koran terlalu banyak akronimnya. Saya pikir ini merusak kebudayaan bangsa. Apakah nantinya kepribadian kita juga dipendek-pendekkan?" katanya menyindir.
Jumlah akronim belakangan ini dinilai sudah kebablasan. Segala sesuatu dibuat akronimnya, tak peduli hal itu akan memusingkan publik atau tidak. Bahkan ada perkiraan, jumlah akronim itu menyamai atau bahkan melebihi jumlah kata-kata baku bahasa Indonesia.
Ada baiknya kalangan pers memerhatikan keluhan publik ini dengan cara membatasi penggunaan akronim dalam pemberitaan atau artikel. Setidaknya, bila akronim itu terpaksa harus dimuat, pada pemunculan pertama hendaknya dicantumkan kalimat atau arti lengkapnya.
Keprihatinan soal membeludaknya penyingkatan-penyingkatan kata juga dikemukakan pakar telematika Roy Suryo yang membahas topik Peran Media Siber dalam Bahasa Indonesia. Dengan kemampuannya, dia menjadi salah seorang pembicara favorit pada kongres tersebut.
Selain mengungkap kemajuan teknologi media dalam kontribusinya terhadap kecerdasan berbahasa Indonesia, pria bernama lengkap K.R.M.T. Roy Suryo Notodiprojo itu juga membahas menyeruaknya bahasa SMS yang diwarnai penyingkatan-penyingkatan ekstrem, misalnya huruf "g" bisa berarti gue (saya) atau gak (enggak/tidak), maksi (makan siang), ataupun samsi (sama siapa). Gejala-gejala seperti ini tentu akan merusak bahasa Indonesia. Roy berjanji, dia akan selalu menulis kata-kata dalam SMS dengan bahasa yang baik.
"Kalau Bapak/Ibu tak sempat bertanya kepada saya dalam forum yang singkat ini, silakan bertanya lewat SMS kepada saya, dan saya akan menjawabnya dengan bahasa yang baik, lengkap, tanpa menyingkat-nyingkat kata seperti itu," kata Roy. (Imam Jahrudin Priyanto/"PR")***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar