Sabtu, 29 November 2008

Belanda Pun Membendung Laut


Netherlands Water Partnership / Kompas Images 
Maeslantkering yang dibangun di muara Nieuwe Waterweg, yaitu kanal yang menjadi gerbang masuk ke Pelabuhan Rotterdam.
 

Sabtu, 29 November 2008 | 03:00 WIB 


Ahmad Arif

Zeeland, provinsi di ujung selatan Belanda, 1 Februari 1953. Musim dingin masih berlangsung ketika malam itu Laut Utara mengamuk dan mengirim badai. Gelombang setinggi 30 meter mengempas pantai, menghancurkan tanggul-tanggul. Air yang hampir membeku menerjang kota, menewaskan 1.835 orang dan memaksa 110.000 warga mengungsi.

Di tanah yang sama, 55 tahun kemudian. Laut Utara masih sesekali mengirim badai. Daratan di Belanda bagian selatan itu masih tetap lebih rendah daripada laut. Bahkan, perbedaan ketinggian muka daratan dibandingkan laut terus bertambah sebagai dampak pemanasan global. Tetapi, jumlah warga yang tinggal di Zeeland makin banyak.

”Warga merasa aman tinggal di kawasan itu. Proyek Delta Plan telah membentengi daratan dari ancaman Laut Utara,” kata Roy Neijland, Project Officer Netherlands Water Partnership (NWP).

Roy tidak membual. Setelah bencana banjir besar tahun 1953 itu, Belanda berjuang keras memenangi pertarungan melawan alam. Tiga belas bendungan raksasa dibangun secara bertahap selama 39 tahun. Bendungan pertama selesai dibangun pada 1958 di Sungai The Hollandse Ijssel, sebelah timur Rotterdam. Kemudian dibangun bendungan The Ooster Dam (The Oosterschelde Stormvloedkering), yang panjangnya hampir mencapai 11 kilometer. Bendungan ini membentengi seluruh daratan Zeeland yang langsung berhadapan dengan bagian Laut Utara.

Dan, bendungan terakhir yang selesai dibangun adalah The Maeslantkering pada 1997. Siang itu matahari terik. Tetapi, suhu yang mencapai 10 derajat celsius pada pertengahan Oktober 2008 mengirim angin yang mencipta gigil. Saya mengerut, baik oleh karena gigil angin maupun karena ketakjuban saat melihat konstruksi Maeslantkering yang dicipta untuk mengantisipasi bencana.

Maeslantkering dibangun di muara Nieuwe Waterweg, yaitu kanal yang menjadi gerbang masuk ke Pelabuhan Rotterdam. Tanggul ini terdiri dari dua bagian lengan yang masing-masing panjangnya 300 meter. Jika diberdirikan, satu lengan setara dengan ketinggian menara Eiffle di Perancis.

Kedua lengan raksasa Maeslantkering ini bisa dibuka-tutup. Komputer secara otomatis akan menutup gerbang ini jika terjadi badai dari Laut Utara mencapai ketinggian di atas tiga meter. Sejak dibangun, dam ini hanya ditutup sekali pada 8 November 2007. Selebihnya, dam ini menjadi obyek wisata dan pendidikan. Tetapi, lebih dari itu, konstruksi ini adalah bukti keseriusan negara dalam memberi rasa aman kepada warganya.

”Air merupakan bagian dari budaya kami. Dan, kami tidak boleh kalah darinya. Air yang bisa memicu banjir harus bisa dikendalikan dan juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih,” ungkap Roy Neijland.

Roy seperti mewakili tekad warga Belanda dalam menyiasati alam, yang sebenarnya tak terlalu bersahabat terhadap mereka karena sepertiga daratan di Belanda lebih rendah dari muka air laut.

Manajemen bencana

Jika Belanda berhasil membendung laut untuk mengatasi bencana, Indonesia seakan tak berdaya menghadapi bencana yang datang bertubi-tubi. Sebut misalnya banjir pasang di pantai utara Jakarta yang rutin datangnya, banjir tahunan yang melanda sejumlah kawasan di Indonesia, terutama di Jakarta, juga tak teratasi, hingga banjir lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlarut-larut tanpa kepastian penanganan.

Bahkan, tsunami yang melanda Aceh dan berpotensi terjadi di daerah lain di Indonesia pun masih disikapi setengah hati. Di Aceh, rumah-rumah tetap dibangun di tempat yang sama yang dulu pernah disapu tsunami tanpa ada penghalang untuk menghadapi laut yang sewaktu-waktu mengancam.

”Di Indonesia, nyawa rakyat seakan tak begitu berharga,” kata Amien Widodo, ahli manajemen bencana dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), yang ditemui di Surabaya, beberapa waktu lalu.

Amien geram melihat pemerintah yang lamban memindahkan warga Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, Sidoarjo, yang sudah dua tahun hidup di daerah rawan bencana. Ribuan warga di Siring Barat selama dua tahun lebih harus hidup menghirup udara beracun dan ancaman amblesnya tanah karena penurunan muka tanah yang nyata.

Menurut Amien, sebagai negara yang rawan bencana, Indonesia tidak memiliki kepekaan untuk mengelola lingkungan. Padahal, kunci untuk mengurangi dampak bencana adalah dengan melakukan mitigasi bencana.

”Antisipasi pemetaan risiko semestinya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Analisa risiko dibuat untuk menggambarkan bencana dan kemungkinan peristiwa susulan,” ujar Amien.

Analisis risiko juga akan menghasilkan kejelasan tugas tiap-tiap pihak jika dampak terus meluas, termasuk prosedur yang harus disiapkan untuk kondisi darurat.

Alam sebenarnya bukan masalah. Tetapi, manusia mesti belajar beradaptasi dengan alam. Dalam hal ini, Belanda adalah contoh negara yang gigih menghadapi tantangan alamnya.

Air adalah problem bagi seluruh Belanda. Nama Netherlands pun sejatinya berasal dari kata Belanda ”neder” yang berarti rendah dan ”land” yang berarti tanah. Karena itu, mereka sudah sejak lama berjuang melawan laut yang terus merangsek ke daratan.

Bendungan pertama dibangun Belanda seribu tahun lalu, danau-danau dikeringkan, polder dibuat, dan ketinggian air dikontrol agar daratan Belanda tetap mengapung. Sebagian dana untuk mengapungkan daratan Belanda itu disedot dari sumber daya alam Nusantara yang dibawa VOC (Perhimpunan Dagang Hindia Belanda) pada abad ke-17 sampai ke-19.

Belanda terus berjuang melawan air hingga kini. ”Saat ini kami berjuang melawan kenaikan muka lautan yang terus bertambah akibat pemanasan global. Kami terus beradaptasi,” ungkap Roy Neijland.

Melalui Komisi Delta, yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, negara ini merancang langkah-langkah teknis guna menghadapi tantangan baru berupa naiknya muka lautan. Program Delta hingga 2050 membutuhkan dana sebesar 1,2 miliar euro sampai 1,6 miliar euro per tahun.

Menurut Roy, salah satu kunci dari penanganan bencana yang diakibatkan air di Belanda adalah konsistensi perencanaan dan keinginan untuk terus mencari solusi terbaik dengan melibatkan semua pihak. Masterplan yang dibuat diaplikasikan. Para ahli dan praktisi diundang untuk mengikuti sayembara guna mencari solusi konstruksi terbaik. Dam Maeslantkering juga dibuat dari desain pemenang sayembara.

Di Indonesia, untuk membuat proyek pengendalian kanal banjir di Jakarta yang sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda pun terseok-seok dan belum selesai hingga sekarang. Sampai kapan kita mau belajar terhadap bencana yang datang bertubi-tubi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar