Sabtu, 01 November 2008

Merajut Penggunaan Bahasa Sunda

Oleh Cornelius Helmy dan Yulvianus Harjono

Eksistensi bahasa Sunda di kalangan generasi muda kembali dipertanyakan. Bahasa Sunda sering dikatakan kalah populer dibandingkan dengan dialek Betawi yang sering diucapkan artis di televisi. Ada yang mengatakan tidak menggunakan bahasa Sunda karena menghargai teman yang bukan orang Sunda, merasa sulit mengucapkan, atau bahkan malu mengucapkannya.


Mesa Wiguna (18), siswi SMA Yayasan Atikan Sunda, mengaku beruntung bersekolah di tempat yang mayoritas siswa dan metode pengajarannya membiasakan berbahasa Sunda. Dalam percakapan keseharian di kompleks sekolah, ia lebih sering menggunakan bahasa Sunda.

Namun, itu tidak terjadi bila ia sudah berada di luar kompleks sekolah. Ia menggunakan bahasa gaul. Alasannya, menyesuaikan diri dengan teman-temannya. Putri (16), siswi SMAN 2 Kota Bandung, beralasan, bahasa Sunda relatif sulit dipelajari dan dipraktikkan karena memiliki ragam undak usuk.

"Takut-takutnya, nanti malah bicara kasar," ungkapnya. Ada lagi pengalaman Nandi Maulana, mantan wartawan koran berbahasa Sunda di Bandung. Ia mengatakan, di luar kewajiban menulis dalam bahasa Sunda, ketika menulis ada perasaan nyaman karena harus menggunakan bahasa Sunda yang sehari-hari ia gunakan. Ia merasa bangga ikut melestarikan bahasa Sunda.

Dimulai dari rumah

Ruhaliah, Sekretaris Jurusan Bahasa Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia, menuturkan, berkurangnya penggunaan bahasa Sunda disebabkan adanya pergeseran paradigma di kalangan generasi penutur asli saat ini. Masyarakat sering kali merasa gengsi berbahasa ibu (Sunda), dan sebaliknya lebih nyaman jika menggunakan bahasa asing atau serapannya.

"Harusnya, pelestarian bahasa ibu dimulai dari rumah. Sebab, inilah lingkungan yang terdekat. Yang menjadi soal, sering kali si ibu justru enggan atau tidak membiasakan diri mengobrol dengan anak menggunakan bahasa daerahnya," ungkap pengajar bahasa Sunda di UPI ini.

Ironisnya, masyarakat dari negara lain justru tertarik mendalami bahasa ini. Ini terbukti dari banyaknya disertasi atau penelitian mahasiswa asing yang bertopik bahasa dan sastra Sunda. Misalnya, Mikihiro Moriyama dari Jepang yang meneliti bahasa dan kesusastraan Sunda abad ke-19. Kuatnya pengaruh budaya pop yang terfragmen di dalam siaran televisi dan radio kian memperburuk kondisi.

Pupuhu Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda Etty RS menjelaskan, dewasa ini peran keluarga mengajarkan bahasa Sunda mulai jarang dilakukan. Meskipun dalam satu keluarga dan orangtuanya asli Sunda, kebiasaan menuturkan bahasa Sunda semakin jarang dilakukan. Alasan yang paling banyak dilontarkan, mereka takut anaknya kesulitan bergaul di sekolah.

Selain keluarga, pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Jawa Barat, harus bekerja keras. Etty merasa, metode pembelajaran bahasa Sunda jauh dari harapan. Salah satunya, perhatian terhadap sumber daya manusia. Mayoritas guru bahasa Sunda di banyak sekolah bukan berasal dari pendidikan bahasa Sunda. Bahkan, karena dianggap tidak penting, guru Olahraga pun sering kali merangkap guru Bahasa Sunda karena bisa berbicara Sunda.

Selalu ada jalan

Hal lain dikatakan Dadan Sutisna, Redaktur Pelaksana Cupumanik, majalah berbahasa Sunda. Menurut dia, masih banyak perdebatan terhadap minimnya eksistensi bahasa Sunda di kalangan anak-anak muda.

Alasannya, selama ini survei atau metodologi yang dilakukan kebanyakan dilakukan di kota besar, seperti Bandung yang konsentrasi anak muda dalam pengertian duduk di bangku sekolah atau perguruan tinggi hanya sekitar 30 persen. Padahal, bila mau melihat lebih jauh di berbagai daerah pelosok Jabar, bahasa Sunda masih sering digunakan dalam keseharian.

"Jangan sampai terjebak dalam ketakutan. Selalu ada jalan dan kreativitas melestarikan bahasa Sunda. Mengutip Rektor Universitas Padjadjaran Bandung Ganjar Kurnia, bahasa Sunda pernah dikhawatirkan hilang sejak 1920-an, tetapi hingga sekarang tetap langgeng," katanya.  

Anak Muda Jarang "Ngomong" Sunda
Sabtu, 1 November 2008 | 03:00 WIB 

Oleh Indah Surya Wardhani


Provinsi Jawa Barat dihuni hampir 75 persen orang Sunda. Bahasa Sunda masih digunakan dalam percakapan sehari-hari, dari keluarga hingga lingkungan sekolah dan kantor. Namun, kini kaum muda perlahan melupakan bahasa ibunya.

Demikian kesimpulan hasil jajak pendapat Kompas yang menjaring 403 responden di empat kota di Jabar. Sebanyak 79,7 persen responden bisa bertutur menggunakan bahasa Sunda, sedangkan 20,3 persen lainnya tidak bisa berbahasa Sunda.

Menurut lebih dari separuh responden yang bisa bertutur bahasa Sunda, bahasa ibu ini sering mereka pakai dalam pergaulan sehari-hari yang sifatnya informal. Sebanyak 34,6 persen responden lainnya mengaku jarang.

Di lingkungan yang lebih formal, seperti lingkungan kantor dan sekolah, bahasa Sunda masih dipakai oleh 43,6 persen responden. Adapun 43 persen responden mengaku jarang menggunakan bahasa itu di lingkungan formal.

Jika dicermati, mereka yang menggunakan bahasa Sunda di lingkungan formal terutama responden berusia produktif, yakni 29-38 tahun. Di lingkungan kantor atau sekolah, misalnya, 37,5 persen responden di kelompok usia ini mengaku sering ngomong dalam bahasa Sunda. Bahkan, 10 persen lainnya mengaku selalu berbicara dalam bahasa Sunda.

Meski masih menjadi bahasa percakapan sehari-hari, penggunaan bahasa Sunda dinilai berkurang terutama di kalangan remaja. Berkembangnya budaya pop dan merebaknya bahasa gaul di kalangan remaja agaknya memengaruhi kondisi ini.

Menurut sebagian besar responden yang bisa bertutur bahasa Sunda, penggunaan bahasa Sunda di kalangan remaja semakin berkurang dibandingkan dengan lima tahun lalu. Hanya 8,7 persen responden berpendapat, pengguna bahasa Sunda semakin meningkat.

Bandung paling minim

Berkurangnya penggunaan bahasa Sunda di kalangan remaja paling terlihat di Kota Bandung. Sebanyak 74 persen responden di kota itu menilai, penggunaan bahasa Sunda di kalangan remaja semakin berkurang dibandingkan dengan lima tahun lalu.

Penilaian serupa disuarakan responden di Kota Tasikmalaya dan Sukabumi. Menurut lebih dari 70 persen responden di dua kota itu, penggunaan bahasa Sunda semakin berkurang di kalangan remaja. Padahal, di dua kota itu lebih dari 90 persen warganya merupakan suku Sunda. Selain di kalangan remaja, penggunaan bahasa Sunda di masyarakat Jabar juga semakin berkurang. Hal itu setidaknya diakui 62 persen responden yang menilai penggunaan bahasa Sunda semakin berkurang dibandingkan dengan lima tahun lalu. Sementara yang menjawab sebaliknya hanya 15 persen.

Kurikulum

Semakin berkurangnya penggunaan bahasa Sunda di kalangan anak muda dan masyarakat Jabar bukan tidak mungkin bahasa itu kehilangan penuturnya.

Melihat hal itu, pelajaran Bahasa Sunda sebagai muatan lokal perlu dimasukkan dalam kurikum pendidikan sekolah menengah atas dan kejuruan. Hal ini setidaknya diamini mayoritas responden jajak pendapat ini, sementara yang menolak hanya 11,2 persen.

Jika dicermati, persentase tertinggi terhadap bahasa Sunda dimasukkan dalam kurikulum SLTA disuarakan responden yang tinggal di Kota Sukabumi dan Tasikmalaya. Di dua kota itu, lebih dari 90 persen responden setuju jika bahasa Sunda dimasukkan dalam kurikum. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar