Perlu Kolaborasi Agar Mampu Bertahan
Musisi tradisional tampaknya harus bekerja keras untuk menjaga eksistensinya. Demikian halnya dengan musik tradisional harus berjuang keras bersaing dengan musik pop yang membanjiri jagat hiburan. Melalui kolaborasi dengan berbagai aliran musik, musik etnik mencoba bertahan. Meski telah ditasbihkan sebagai world musics, musik etnik yang telah bermetamorfosis ini masih sepi peminat di negeri sendiri. Tidak salah kalau mereka memilih pentas di negeri orang dibandingkan dengan di negeri sendiri.
Sudah bukan barang baru kalau alat musik tradisional Sunda berkolaborasi dengan musik progresif rock seperti yang pernah ditampilkan oleh grup band Discuss dalam Festival Bambu Nusantara 2 di Bandung beberapa waktu lalu. Atau kelompok Samba Sunda yang mencampurkan musik Sunda dengan instrumen dari India atau Afrika. Kolaborasi semacam ini yang kemudian populer dengan sebutan world musics.
Musik tradisional Sunda tergolong sering berkolaborasi dengan aliran musik lain. Musik Sunda terbilang fleksibel. Dimainkan dengan alat musik apa pun bisa masuk. Seruling bisa dimainkan dengan gitar. Kendang bisa pula masuk dalam instrumen jazz. Tidak heran kalau kemudian kolaborasi musik Sunda tersebut melahirkan banyak genre baru.
"Musik Sunda mempunyai kekuatan untuk go international. Maka, saya berpikir harus membuat model yang bisa diterima masyarakat luas," kata Ismet Ruchimat, pentolan Samba Sunda di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Jln. Buahbatu Kota Bandung, Kamis (13/11).
Begitulah awal pemikirannya menciptakan berbagai kolaborasi. "Terciptanya suatu kolaborasi berasal dari keberanian untuk keluar dari tatanan tradisi selama ini. Tidak mudah memang keluar dari pakem," kata Ismet.
Menurut seniman Sunda Nano Suratno, karakter kerakyatan yang kental dalam musik tradisional Sunda memberi ciri dinamis dan spontan. Sekitar 300 macam kesenian berkembang di masyarakat Sunda. "Jika pintar meramunya, semua kesenian Sunda itu mempunyai potensi yang besar untuk digemari di luar negeri," katanya di kediamannya di Jln. Moh. Toha Bandung, Minggu (16/11).
Dia menjelaskan, tangga nada pelog dan salendro yang dimiliki alat musik Sunda bersifat fleksibel. Itulah yang membuat nada-nada yang dihasilkannya mudah larut dengan nada-nada yang dihasilkan alat musik lain.
Di lain sisi, sifat ini rentan akan kepudaran. "Kolaborasi jangan sekadar embel-embel. Tidak sekadar memberi warna etnik. Alat musik Sunda harus juga diperhitungkan dalam komposisi itu," tutur Nano.
Tidak bisa dimungkiri, musik tradisional sering hanya berperan sebagai pemanis. Dalam banyak situasi, alat musik tradisional hanya bertindak sebagai musik pengiring menyantap hidangan. Artinya, musik tradisional tidak didudukkan sebagai musik yang patut diapresiasi. Ia hanya didengarkan, bukan disimak baik-baik.
Kolaborasi bisa menjadi salah satu cara untuk menempatkan musik tradisional di tempat yang lebih baik dan mendapat perhatian yang seharusnya. Kolaborasi memberikan kemasan baru pada musik tradisional dengan tetap menonjolkan kekhasannya.
Belahan dunia bagian timur dikenal kaya akan musik-musik etnik. India, Jepang, Cina, dan Indonesia merupakan basis eksplorasi musik etnik untuk kemudian dikembangkan dalam berbagai kolaborasi. Selain negara-negara tersebut, Afrika juga dikenal kaya akan musik etnik.
**
KENDATI Indonesia bisa dibilang sebagai salah satu kiblat musik etnik, karena kekayaan musik tradisional yang dimilikinya, aliran musik ini masih sepi peminat. Jumlah penonton pertunjukan musik etnik masih kalah jauh dibandingkan dengan penonton konser band Ungu atau Peterpan, misalnya.
Tidak semua tradisi disukai generasi muda. Untuk itu, kolaborasi merupakan salah satu cara untuk mengonservasi musik Sunda yang mulai kehilangan peminat. Perpaduan alat musik Sunda dengan alat musik lain menghasilkan harmoni baru. Meskipun yang dimainkan tidak melulu lagu Sunda, eksplorasi ritme tetap bisa menghasilkan musik bercita rasa "Sunda". "Tapi cara itu di Indonesia malah nggak laku," ujar Ismet.
Tampaknya usaha yang ia tempuh bersama kelompoknya tidak mendapat antusiasme sebagaimana yang didapat musik pop. Album rekaman Samba Sunda tidak selaris penjualan kaset Peterpan.
Apresiasi tinggi justru didapat Samba Sunda ketika bermain di luar negeri. "Musik tradisional di luar negeri justru mendapat tempat khusus. Hampir tiap minggu ada pertunjukan musik seperti ini," tutur Ismet.
Nano menilai kondisi ini dengan perumpamaan Sunda. "Dukun tara pernah kasohor di lemburna," ujarnya.
Orang Sunda tidak merasa aneh dengan alat musik tradisionalnya. Tidak aneh melihat kecapi atau kendang. Orang asing justru lebih tertarik.
Pergeseran nilai penerimaan kebudayaan juga menjadi penyebab. "Orang kita lebih bangga kalau musiknya ala Michael Jackson atau Mick Jager. Kalau berbau luar negeri justru merasa ada kebanggaan," tutur Nano.
Ia pun mengakui apresiasi orang asing terhadap musik tradisional lebih tinggi. Penonton tidak hanya mendengarkan, tetapi menyimak setiap nadanya. Musik tradisional benar-benar bisa dinikmati. Penonton bahkan bisa membuat analisis dan perbandingan setelah menonton pertunjukan. "Kalau di sini, habis menonton ya sudah begitu saja," katanya.
Sangat wajar jika kemudian seniman tradisional mempunyai jadwal yang lebih banyak di luar negeri ketimbang di negeri sendiri. Selain faktor apresiasi, di luar negeri lebih banyak mempunyai acara-acara khusus musik tradisional. "Saking banyaknya acara, pernah kita dalam sehari manggung di tiga negara. Siang kita main di Belanda dan Belgia, malamnya main di Inggris," kata Ismet.
**
Selain lebih diapresiasi, bermain di luar negeri juga lebih dihargai secara profesional. "Kalau bermain di festival di dalam negeri, musisi tradisional sering bermain sukarela. Ya karena acara seperti itu biasanya minim dana. Di luar negeri, musisi tradisional diperlakukan secara profesional," ujar Ismet.
Kurangnya penghargaan kepada musisi tradisional diakui oleh Nano. "Banyak yang bangga bisa bayar jutaan untuk penyanyi yang hanya menyanyi dua atau tiga lagu. Tapi, untuk pemain kecapi yang main seharian penuh, masih menawar," tutur seniman yang juga kenyang menjelajahi dunia melalui berkesenian itu.
Padahal, kesenian menjadi sumber kehidupan bagi seniman, sehingga seniman dituntut untuk terus berkreasi agar bisa sintas (survive) di tengah persaingan yang semakin ketat.(Catur Ratna Wulandari)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar