PEMILIK kuda tunggang berlari mendampingi seorang anak yang berkuda berkeliling Jln. Ganeca dan Jln. Gelapnyawang, Kota Bandung, beberapa waktu lalu. Diperkirakan lebih dari setengah abad kuda tunggang hadir di kota Bandung.* HARRY SURJANA/"PR"
Ganesha atau Ganeca dalam kebudayaan Hindu adalah putra Dewa Syiwa Parwati yang berkepala gajah. Ia merupakan dewa kecerdasan, kebijaksanaan, serta pelindung seni dan ilmu pengetahuan. Namanya sering kali digunakan untuk menandakan tempat atau jalan, termasuk di Kota Bandung.
Jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer ini tepat berada di depan kampus ITB dengan ujung barat berada di Jln. Tamansari (Kebun Binatang) dan ujung timur berada di Jln. Ir. H. Djuanda (Dago). ITB juga menggunakan Dewa Ganesha sebagai lambang civitas-nya.
Akan tetapi, gajah sama sekali tidak terdapat di Jln. Ganeca. Binatang yang banyak dijumpai di sana justru kuda yang keberadaannya dijadikan sarana rekreasi alami andalan Kota Bandung. Setiap akhir pekan, banyak pengunjung terutama dari luar kota yang datang ke kawasan itu untuk merasakan sensasi berkuda atau naik delman.
Lokasinya yang berdekatan dengan kebun binatang dianggap sangat strategis untuk dijadikan lokasi usaha penyewaan kuda. Pertumbuhan aktivitas masyarakat pun terus meningkat di sekitar jalan ini, seperti penjualan makanan dan minuman.
Diperkirakan, lebih dari setengah abad kuda tunggang hadir di Kota Bandung. Menurut Ginda, salah seorang pengurus perkumpulan Kuda Tunggang dan Keretek Jalan Ganesha, hingga kini, sekitar 120 tukang kuda "beroperasi" dengan rute Jln. Ganeca-Tamansari-Gelapnyawang. Meski begitu, tidak semua tukang kuda datang setiap hari karena kebanyakan berdomisili di Lembang, Kab. Bandung Barat.
"Senin hingga Jumat hanya sekitar 50-60 tukang kuda yang datang. Sabtu dan Minggu jumlahnya meningkat. Saat musim liburan, tukang kuda yang datang lebih banyak lagi karena pengunjungnya pun ramai," kata Ginda.
Bisnis wisata kuda di Jln. Ganeca terdiri atas enam bendi (delman beroda empat) dan tujuh keretek (delman beroda dua yang terbuat atas ban mobil) serta sisanya adalah kuda tunggang.
Namun, sejak dekade ’90-an, wisata kuda tidak lagi terpusat di Jln. Ganeca. Di beberapa tempat lain juga mulai bermunculan, seperti di Jln. Cilaki dan sekitar Jln. Dipati Ukur (Monumen Perjuangan Jawa Barat). Akibatnya, sejak 2004, wisata kuda di Jln. Ganeca mengalami penurunan pengunjung.
**
Selain menjadi alternatif kegiatan wisata, keberadaan kuda yang bersinggungan langsung dengan pengguna jalan raya kerap kali membawa masalah. Masih segar dalam ingatan ketika beberapa waktu lalu seorang bocah berusia tiga tahun tewas terseret kuda yang ditungganginya setelah kuda itu ditabrak mobil.
Menurut planolog ITB, Hetifah Sjaifudian Siswanda, adanya wisata kuda menjadi salah satu penyebab semakin semrawutnya lalu lintas di sekitar Jln. Ganeca. "Keberadaan kuda-kuda itu sebenarnya dapat menjadi sarana rekreasi ruang terbuka yang sudah sulit ditemukan di Bandung. Tak hanya itu, dengan bersentuhan dengan binatang (kuda), bisa menjadi sarana edukasi yang baik bagi tumbuh kembang anak," ujarnya.
Akan tetapi, kini kondisinya tidak lagi kondusif. Saat ini, hak pejalan kaki, pengguna sepeda, dan kuda wisata di Jln. Ganeca dan Jln. Tamansari terampas oleh kepentingan pengendara mobil dan motor. Bahkan, aturan dan rambu lalu lintas pun banyak yang dibuat agar meleluasakan para pengemudi kendaraan bermotor.
Jln. Tamansari memang merupakan akses utama bagi sebagian besar masyarakat, mahasiswa, anak sekolah, dan pegawai pemerintahan. Untuk itu, Hetifah menyatakan perlunya dibuat satu aturan mengenai lalu lintas di sekitar Jln. Tamansari agar terhindar dari kemacetan yang parah dan lebih jauh lagi dari kecelakaan yang dialami pengguna jalan lainnya.
"Bukan tidak mungkin jika nanti jalur jalan itu dibebaskan dari angkutan umum ataupun kendaraan bermotor lainnya, khususnya pada akhir pekan. Dengan begitu, pada saat itu, orang tua akan lebih leluasa untuk meng-izinkan anaknya menunggangi kuda karena tak khawatir terserempet mobil. Memang, perlu kerja sama banyak pihak seperti, pemda, komunitas masyarakat (karang taruna), pihak kampus, pihak yang mewakili pengemudi angkot, hingga orang tua dan masyarakat sekitar," katanya.
Selain kecenderungan menambah keruwetan dan konflik kepentingan di jalan raya, keberadaan kuda-kuda di Jln. Ganeca juga sedikit memprihatinkan apabila dilihat dari kacamata kesehatan. Kotoran kuda yang merupakan endemik dari bakteri tetanus (Clostridium tetani) banyak berserakan di kawasan itu. Padahal, di sekitarnya banyak penjual makanan, terutama kaki lima.
Kepala UGD RSHS dr. Tri Wahyu Murni mengatakan, kotoran kuda tidak akan bermasalah bagi manusia selama tidak terdapat infeksi (luka). "Pemakaian celana untuk kotoran kuda pun dapat membantu untuk mengurangi jumlah kotoran di jalanan sehingga memperkecil terjadi penularan bakteri tetanus ke manusia," katanya.
Selain berbahaya bagi manusia, kotoran kuda ternyata juga dapat membahayakan kuda itu sendiri. Menurut Kabag Perawatan Hewan Kebun Binatang Bandung drh. Fathul Bari, jika terisap, kotoran kuda dapat mengiritasi paru-paru karena kandungan amoniaknya yang sangat tinggi. "Memang gejalanya sukar diketahui secara pasti, namun jika mulai parah akan terjadi beberapa gejala, seperti nafsu makan berkurang dan kuda menjadi kurang lincah," ujarnya.
Sementara itu, kuda yang sering bersinggungan dengan kendaraan bermotor berpotensi keracunan timah hitam. Tingginya kadar karbon dioksida di udara serta adanya hujan asam yang sering terjadi belakangan ini juga memberikan dampak negatif terhadap kesehatan kuda. Tidak heran jika dalam jangka lima tahun terakhir banyak kuda yang mati. (Eva Fahas)***
Wah naik kuda ya? Pengen, coba ntar naik kuda kesana. Jangan lupa mampir juga ke http://sebandung.com/2014/11/wisata-atraktif/ untuk tahu lebih banyak info tentang tempat itu.
BalasHapus