Oleh Wientor Rah Mada
Setelah evakuasi selesai, Kedubes AS langsung mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya untuk mengunjungi Indonesia, terutama Bandung. Walaupun wisatawan AS yang masuk ke Bandung secara kuantitas tidak begitu banyak, tetapi hilang sudah potensi penerimaan devisa negara sebesar 292,7 juta dolar dari sekitar 200 ribu wisatawan asal AS.
Keluar kotak
Sebetulnya siapa yang bertanggung jawab terhadap citra Kota Bandung? Sejak dua tahun lalu, Wali Kota Bandung membentuk Badan Pembinaan dan Promosi Pariwisata Kota Bandung (BP3KB) yang bekerja di atas pemasukan biaya retribusi pariwisata. Selain membina pelaku pariwisata, sudah jelas bahwa tujuannya adalah untuk mempromosikan Bandung. Badan ini sangat luar biasa karena diisi orang-orang yang sangat mengerti karakteristik dan kekhasan Kota Bandung, kebanyakan praktisi yang kompeten. Handycap-nya hanya satu, orang-orang yang mengisi organisasi ini semuanya sibuk.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung juga mempunyai bagian promosi pariwisata. Tahun 2007, Disbudpar Kota Bandung membuat banyak terobosan dengan menganalisis pasar wisatawan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Paling tidak, pendekatan market-oriented ini akan dapat menjawab beberapa pertanyaan yang selama ini jamak dan tidak terukur.
Yang berkepentingan terhadap citra Kota Bandung tidak hanya pemkot, tetapi juga Pemprov Jabar. Disbudpar Jabar berusaha keras memeriahkan dengan konsep city branding : Enchanting Bandung. Konsep branding ini menjadi menarik karena Disparda Kota Bandung juga mempunyai sendiri slogannya, yaitu Explore Bandung. Secara resmi memang belum ada pernyataan, baik dari pemprov ataupun pemkot, mengenai slogan yang akan dipakai. Hal penting lainnya adalah sebelum mem-branding, seharusnya ada langkah-langkah panjang yang dilakukan, seperti menganalisis pasar dan kapasitas Bandung itu sendiri.
Jadi siapa yang bertanggung jawab terhadap citra Kota Bandung? Susah sekali menjawab pertanyaan ini. Mari coba kita telusuri sebabnya.
Dalam sebuah organisasi, semua individu di dalamnya harus mempunyai tujuan yang sama. Mimpi akan tujuan ini dituangkan dalam visi. Kota Bandung, secara resmi mempunyai visi untuk menjadi kota jasa yang bermartabat. Skema pencapaian visi ini rupanya sedikit bercampur aduk. Seringkali kita dengar, beberapa pejabat juga menginginkan Kota Bandung menjadi kota seni dan budaya pada 2008, atau menjadi kota yang agamis pada tahun yang sama. Belum lagi sebutan kota pendidikan, kota perdagangan, sampai dengan kota industri kreatif. Sangat membingungkan.
Dalam pandangan berbagai sudut ilmu manajemen, apabila ada dua keinginan dalam satu organisasi akan membahayakan organisasi itu sendiri. Mohon maaf, apabila visi kota Bandung menjadi kota jasa, maka keinginan menjadi kota agamis akan tidak berjalan sejajar. Bukan dalam konteks sebab dan akibat, tetapi lebih kepada upaya pencapaian kota jasa yang dimaksud. Jadi, strategic statement semacam visi dan misi memang harus dipahami betul pembuat keputusan teknis pelaksana di tingkat kedinasan. Konsep pencitraan memang berorientasi jangka panjang. Penciptaannya dapat secara alamiah, atau dengan skenario terencana.
Kondisi saat ini memaksa Kota Bandung harus segera mereposisi dirinya. Berbagai kota di Indonesia telah mendeklarasikan posisinya. Yogjakarta dikenal sebagai kota budaya dengan slogan never ending Asia. Manado berupaya keras menjadi ibu kota wisata bahari dunia. Palembang sudah bergaung dengan Visit Musi 2008, bahkan Solo sudah berbenah merevitaliasi objek wisata dalam kotanya.
Terlepas dari varietas produk di Kota Bandung yang tidak lagi homogen, penanganan citra kota seharusnya menjadi hal yang serius. Produk jasa yang ditawarkan Kota Bandung, termasuk di dalamnya industri kreatif, pariwisata, dan kuliner membutuhkan pencitraan yang baik. Citra ini yang membuat customer, datang untuk membeli produk jasa. Menurut Lovelock (2000), citra ini pulalah yang meminimalkan risiko beli produk jasa.
Hasil penelitian Costra (2008) menunjukkan, awareness pasar wisatawan lokal yang datang ke Kota Bandung sangat mengarah kepada wisata belanja. Wisata ini selama tahun 2007dan 2008, menduduki top of mind wisatawan lokal yang datang ke Kota Bandung. Wisatawan yang datang berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang, yang relatif membutuhkan perjalanan kurang dari 5 jam. Setelah belanja, mayoritas wisatawan baru mencoba aktivitas lain seperti kuliner, budaya, dan alam.
Jadi, sebetulnya keunggulan Kota Bandung sudah terdeteksi sejak lama. Insan pariwisata di kota ini pun sudah mengerti dan paham betul identifikasi keunggulan kompetitif yang dipunyai. Hanya, integrasi proses pencitraan berjalan dengan alot karena berbagai pihak mempunyai kepentingan masing-masing.
Solusinya, mesti ada lembaga yang menjadi leader. Paling tidak mempunyai fungsi koordinasi untuk memunculkan citra Kota Bandung di mata dunia, bukan hanya di wisatawan lokal. Karena citra membutuhkan proses yang lama, lembaga ini harus bergerak bebas dengan semangat kreativitas yang tinggi. Aktivitas yang dilakukan bukan hanya promosi, tetapi pemasaran yang berorientasi jangka panjang.
Terakhir, dibutuhkan komitmen dari pemimpin (baca: wali kota) untuk mewujudkan citra yang apik untuk Kota Bandung. Kalau pemimpin hanya dipenuhi pemikiran meningkatkan PAD dalam waktu singkat, segala upaya yang dibangun tidak akan berjalan mulus. Sejujurnya, kita harus khawatir. Takut apabila pemimpin Kota Bandung selalu berorientasi jangka pendek. Punclut dan Babakan Siliwangi adalah korban nyata. What next?***
Penulis, Direktur Eksekutif Centre of Hospitality & Tourism Strategy (Costra), Bandung.
silahkan klik
BalasHapushttp://mahanagari.multiply.com
itu situs orang yg ACTION cinta Bandung, tanpa bla bla bla sampai konsep tulisan saja.