Selasa, 29 April 2008

Latar Politik Dede Yusuf

Oleh ROSIHAN ANWAR
(PR)
TERPILIHNYA Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat dalam Pilgub 13 April 2008 disambut dengan sukacita oleh kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan di negeri kita.

Dede Yusuf, usia 41 tahun, anggota DPR mewakili PAN, sebelumnya aktor laga dan sutradara film, diharapkan bersama Gubernur Ahmad Heryawan dari PKS memenuhi harapan orang banyak. Yaitu membuat kehidupan rakyat sehari-hari cukup nyaman, membuat harga sembako dan BBM terjangkau, membuat biaya pendidikan anak dan perawatan kesehatan tidak mahal, membuat keamanan dan ketertiban terpelihara baik, membuat suasana batin yang mendorong untuk rukun berdamai dengan sesama manusia, untuk bersikap ikhlas dan sabar, untuk tahu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pencipta atas nikmat yang dianugerahkan-Nya.

Wah, semua itu permintaan yang berat sekali. Apakah Dede bisa memenuhinya? Can he deliver? Adakah kemampuan dan kecerdasan pada dirinya mengingat pendidikan formalnya serbaterbatas? Dede bukan sarjana. Dia aktor film yang di negeri ini belum dianggap tergolong jajaran with the best and excellent minds, yang kebanyakan bersifat medioker. Artinya, sedang-sedang, cukup saja. Maka bisakah Dede berkinerja dengan baik? Can he perform?

Saya belum bisa menjawab pertanyaan tadi. Hanya Sang Waktu yang bisa mengatakan. Akan tetapi saya bisa informasikan bahwa Dede Yusuf secara genetik berlatar belakang yang mungkin membantunya dan merupakan aset baginya dalam bertugas sebagai pejabat publik, yaitu latar belakang keluarga politisi.

Tahun 1930
Pada suatu malam sekitar tahun 1930, di Padang, saya dibawa oleh kakak atau Pa Gaek saya bernama Raden Mohamad Yusuf, mantan sep stasiun kereta api S.S. (Staats Spoorwegen) bertandang ke salah satu rumah di Tepi Bandar Olo. Pa Gaek mau mengunjungi Roestam Effendi, seorang guru sekolah dasar swasta HIS (Holland Inlandsche School) Adabiah yang sakit kakinya karena jatuh dari tangga. Ibunda Roestam Effendi berkeluarga dengan Pa Gaek. Sebagaimana Marah Roesli, pengarang novel Siti Nurbaya, adalah kemenakan Raden Mohamad Yusuf, begitu juga Roestam Effendi diperlakukannya sebagai kemenakan.

Selain guru, Roestam Effendi aktif di lapangan sastra kreatif. Bila Muhammad Yamin pada akhir 1920-an bermadah dalam sajak Pulau Andalas (Sumatra) yang indah, Roestam menulis tonil "Bebasari". Keduanya mendukung Sumpah Pemuda.

Roestam berangkat ke Negeri Belanda untuk melanjutkan pelajaran. Dia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang ketuanya ialah mahasiswa ekonomi Mohammad Hatta dan sekretarisnya mahasiswa Sutan Sjahrir. Dia terlibat dalam kehidupan politik warga Belanda dan bergerak dalam lingkungan Partai Komunis Belanda CPN (Communistische Partij Nederland). Bersama mahasiswa kiri lain seperti Setiajit, Abdulmadjid dia melancarkan aksi menentang pimpinan Hatta. Akibatnya, Perhimpunan Indonesia terancam oleh bahaya pecah belah.

Pada masa itu Hatta diisukan akan dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer atau parlemen Belanda oleh sebuah parpol Belanda. Akan tetapi, Hatta yang berjuang untuk Indonesia Merdeka menolak pencalonan. Tersiarnya berita itu membuat Ir. Soekarno di Bandung menulis dengan tajam dan mengritik Hatta. Timbul polemik. Setelah beberapa waktu heboh itu jadi reda.

Dalam pada itu yang beritanya kurang tersebar di Hindia Belanda ialah Roestam Effendi dicalonkan oleh CPN, memang dalam pemilu, dan menjadi anggota Tweede Kamer. Roestam Effendi adalah inlander pertama yang menjadi anggota parlemen Belanda. Posisi ini tidak pernah diduduki oleh putra Indonesia lain mana pun. Dan siapa yang pernah mengalami secara fisik dan mental betapa jahatnya penjajahan di Hindia Belanda dapat memahami bahwa prestasi Roestam Effendi itu luar biasa. Sebagai anggota Tweede Kamer Roestam Effendi dengan lantang menyatakan mendukung Indonesia Merdeka.

Tanggal 10 Mei 1940 Nederland diserang dan diduduki oleh Nazi Jerman. Roestam yang telah menikah dengan perempuan Belanda beruntung tidak dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi oleh Jerman. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, pada akhir 1945 mulailah kembali pulang ke tanah air para mahasiswa Indonesia yang sementara itu telah meraih gelar meester in de rechten atau sarjana hukum. Tahun 1946 tibalah rombongan yang membawa Dr. E.F.E. Douwes Dekker dan Roestam Effendi.

Douwes Dekker disambut mesra oleh Presiden Soekarno di Gedung Negara di Yogyakarta. Pada tahun 1947 dia diangkat sebagai menteri negara. Namanya diubah menjadi Dr. Danudirja Setiabudi.

Roestam Effendi tidak diberi sesuatu kedudukan dalam pemerintah RI. Dia pergi bermukim di Solo. Walaupun dulu anggota Tweede Kamer mewakili Partai Komunis Belanda, sekembalinya di tanah air dia tidak bergabung dengan sayap kiri/FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang setelah kembalinya Musso ditransformasikan menjadi PKI atau Partai Komunis Indonesia.

Dia memilih aktif dalam GRR (Gerakan Rakyat Revolusioner) yang juga merupakan "rumah politik" Ibrahim Datuk Tan Malaka. Pemberontakan PKI 18 September 1948 di Madiun ditentang Roestam Effendi, Tan Malaka, dan GRR.

Roestam Effendi tidak sampai mengalami nasib tragis seperti Tan Malaka. Setelah penyerahan kedaulatan dia pindah ke Jakarta dan tinggal di Jalan Sumenep dekat rumah ayahnya Soeleiman Effendi. Dia tidak lagi aktif di bidang politik, lebih banyak tampil sebagai budayawan, berceramah di TIM. Dia meninggal dunia sebagai the forgotten politician, politikus yang telah dilupakan. Itulah sekelumit cerita tentang Roestam Effendi. Dan Roestam Effendi adalah kakak atau opa Dede Yusuf.

Keluarga Effendi
Ayah Roestam Effendi juga adalah politikus. Soeleiman Effendi di masa muda bekerja sebagai fotograaf (tukang potret) di Sumatra Barat. Dia pindah ke Batavia, jadi pebisnis, pendiri Effendi Bank, dan anggota partai non-koperator yaitu Gerindo. Tatkala pecah perang dengan Jepang, pemerintah Hindia menginternir politisi Indonesia yang dianggapnya berbahaya. Soeleiman Effendi bersama Adam Malik diinternir di Cilacap.

Selain Roestam putra Soeleiman Effendi adalah Bachtiar Effendi, Boes Effendi, dan Deibel Effendi. Bachtiar pernah jadi aktor tonil Bolero di tahun 1930-an dan berperan dalam lakon "Singa Minangkabau". Di zaman RI dia menjabat sebagai atase pers di KBRI Italia. Boes adalah Soekarnois, anggota PNI dan pernah menjabat atase pers di KBRI Mexico, Manila dan Khartoum. Deibel yang memimpin pasukan pemuda Arek Suroboyo tewas dalam pertempuran dengan militer Belanda di Jawa Timur.

Dari data tadi kelihatan betapa latar belakang Dede Yusuf ialah keluarga politisi. Siapa tahu karena itu dia punya perbekalan tertentu yang membuatnya bisa bertugas dengan baik sebagai wagub Jabar. Mudah-mudahan Dede Yusuf "can deliver can perform" untuk kesejahteraan rakyat Jawa Barat. Kita doakan.***

Penulis, wartawan senior.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar