Selasa, 07 Oktober 2008

Goyobod Kuno Warisan Tahun 1949


Ema Nur Arifah - detikBandung



Bandung - Meski tidak sepopuler cendol, minuman tradisional ini masih banyak penggemarnya. Pedagangnya yang sedikit mungkin membuat banyak orang masih kurang begitu familiar, padahal untuk kesegaran dan rasa tak kalah dengan si hijau cendol. Bahkan, minuman ini dibuat dari campuran bahan yang lebih banyak sehingga memiliki citarasa yang lain.

Goyobod, namanya memang sama menggelitiknya seperti cendol. Penjual goyobod yang populer saat ini ada di bagian belakang Pasar Baru, Jalan Otto Iskandar Dinata yang konon katanya sudah ada sejak zaman kolonial tepatnya tahun 1949.

Cukup mudah menemukan tempat ini. Tulisan "Goyobod Kuno sejak tahun 1949" di atas kedai langsung menunjukannya. Berada di sebuah tempat sederhana yang bisa disebut warung makan atau kedai. Di tempat ini tidak hanya goyobod juga ada pedagang baso urat dan petis.

Roda baso urat dan petis di luar kedai dan saling membelakangi sedangkan roda goyobod masuk di dalam kedai. Bangku-bangku memanjang menempel ke dinding ruangan berukuran sekitar 5x3 meter tersebut. Terdengar lantunan syair melankolis dari seorang penyanyi di radio.

Yayat Ruhiyat (50) pedagang goyobod tampak sigap melayani pengunjung. Satu per satu pengunjung datang dan pergi memesan goyobod atau didampingi seporsi baso urat.

Adalah Kandi, ayah dari Yayat yang mulai merintis usaha goyobod ini. Jadi bisa dikatakan usaha goyobod ini adalah usaha turun temurun. Kandi dan Yayat sendiri bukanlah warga Bandung asli tapi merantau dari Cibatu, Garut.

Pada masanya, Kandi berjualan goyobod masih di Jalan Pasar Baru Utara. Dengan memanggul dagangannya, Kandi bersama sesama pedagang lainnya merasakan berdagang ketika Bandung masih di bawah kekuasaan Belanda. Peristiwa bersejarah Bandung Lautan Api pun masuk dalam catatan perjalanan usaha Kandi dalam berjualan goyobod.

Ketika tahun 80-an, Yayat pun mulai meneruskan usaha warisan ayahnya ini. Kandi sendiri sekarang lebih memilih tinggal di kampung halaman di Cibatu. Sejak tiga tahun lalu, bersama beberapa pedagang Yayat pun menyewa tempat berjualan di Pasar Batu Barat No 12 sebelah Gang Bombay.

Yayat menuturkan, nama Goyobod Kuno diberikan oleh Kandi sekitar tahun 1975. Yayat sempat berniat mengubah nama goyobod menjadi goyobod buhun, tetapi niat itu tidak terlaksana karena nama Goyobod Kuno dinilainya sebagai hoki.

Kenyataannya memang demikian, karena banyak pelanggan Yayat yang juga datang dari luar kota khususnya Jakarta. "Mereka kadang datang rombongan ke sini," ungkap Yayat.

Satu gelas goyobod Rp 6 ribu. Dalam sehari rata-rata Yayat bisa meraup penghasilan dari Rp 600 ribu - Rp 700 ribu. "Tapi tidak selalu, namanya juga jualan," ujar pria yang memiliki dua anak ini.

Namun, Yayat mengaku usaha turun temurun ini masih belum jelas apakah akan berlanjut atau tidak. Tidak adanya penerus menjadi salah satu yang disayangkan Yayat. Yayat mengeluhkan kedua anaknya enggan untuk meneruskan usaha goyobod ini.

Lagipula, sambung Yayat, Januari 2009 sewa tempat sudah habis dan pemiliknya tidak akan menyewakannya lagi. Belum terpikirkan oleh Yayat akan di mana lagi dia menjual Goyobod Kunonya. "Kalau goyobod ini tidak ada. ke mana lagi orang mencari karena sekarang penjual goyobod susah," ujarnya menutup cerita.(ema/lom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar