Soal Kesiapan Kerja, D-3 dan S-1 Layak Bersaing
BANDUNG, (PR).-
Pemerintah perlu mengkaji ulang penggolongan gaji karyawan lulusan program D-3. Selain betujuan memacu peningkatan jumlah mahasiswa politeknik, kebijakan tersebut juga akan mendorong ketersediaan tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Demikian pendapat Koordinator Koordinasi Perguruan tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV Jawa Barat-Banten Prof. Dr. Rochim Suratman dan Direktur Politeknik LP3I Bandung Adriza di Bandung, Jumat (17/10).
Menurut Rochim peminat program D-3 tidak akan meningkat selama diskriminasi pemberian gaji di dunia kerja antara lulusan diploma dengan S-1 tidak ditinjau ulang. Pasalnya selama ini lulusan SMA/SMK masih cenderung memilih melanjutkan studi ke S-1 dengan harapan saat masuk ke dunia kerja akan mendapat gaji lebih baik ketimbang lulus dari D-3. Padahal dari aspek kesiapan terjun ke dunia kerja, antara lulusan D-3 dan S-1 layak bersaing.
"Sampai sekarang D-3 belum dianggap menjanjikan oleh sebagian besar masyarakat karena dipandang program tanggung. Tamatan perguruan tinggi enggak, lulusan SMK juga enggak. Ketika kerja, gaji awal mereka pun hanya setara golongan 2B atau satu level di atas lulusan SMA (2A). Sementara lulusan S-1 sudah 3A," ujarnya.
Melihat kenyataan tersebut menurut Rochim, sulit bagi pemerintah mengajak masyarakat menggalakkan program kejuruan seperti diploma selama sistem ketenagakerjaannya belum mendukung. "Kalau mau fair, dalam profesi tertentu harusnya tidak perlu ada dikotomi antara D-3 dan S-1. Biarkan kedua lulusan yang berbeda itu bersaing memperebutkan satu tempat," tutur Rochim.
Bila melihat basis kurikulum dan hakikat didirikannya pogram diploma, lulusan D-3 lebih siap bekerja. Sebab perbandingan teori dan praktik selama kuliah adalah 40:60 sehingga mahasiswa D-3 lebih banyak dilatih mengenal berbagai persoalan di lingkungan kerja dibandingkan dengan mahasiswa S-1.
"Saya kira program D-3 sangat tepat untuk menjawab kebutuhan dunia industri karena itulah keunggulan D-3 dibandingkan dengan S-1. Pemerintah pun menyadari sekolah kejuruan dan politeknik adalah solusi mencetak tenaga kerja andal. Tapi kalau tidak didukung kesejahteraan yang baik, orang juga tidak akan tertarik," tuturnya.
Sampai saat ini, dari 300.000 mahasiswa di Jabar Banten, jumlah mahasiswa D-3 kurang lebih 90.000-100.000. Untuk program diploma seperti kebidanan, keperawatan, ekonomi, dan ilmu komputer, pertumbuhannya mencapai 7-12 persen.
Kesamaan hak
Hal senada diungkapkan Adriza. Menurut dia, diskriminasi imbal jasa antara D-3 dan S-1 di dunia kerja menunjukkan bahwa pemerintah kurang serius dalam mendorong kemajuan program kejuruan. Di lain sisi ada keinginan pemerintah mencetak lulusan politeknik yang terampil, namun infrastruktur belum mendukung ke arah tersebut.
"Prospek lulusan D-3 selalu menjanjikan bagi dunia industri karena mahasiswa diploma terlatih sejak di bangku kuliah. Ironisnya terkadang kami melihat ada ketimpangan imbal jasa karena karyawan dari lulusan D-3 yang dibayar lebih rendah dari lulusan S-1 walau bobot kerjanya sama," ujarnya.
Menurut Adriza seharusnya pemerintah perlu melihat fakta di lapangan bahwa lulusan D-3 memiliki kompetensi yang tidak kalah dibandingkan dengan karyawan dari lulusan S-1. Dengan demikian pemerintah bisa mengambil kesimpulan apakah masih pantas lulusan D-3 mendapat gaji jauh lebih rendah dibandingkan dengan lulusan S-1. (CA-166)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar